Mohon tunggu...
By
By Mohon Tunggu... Penulis - Merakit jadi cerpenis

Ini adalah aku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Harinya yang Selalu Padat

22 Desember 2022   10:33 Diperbarui: 24 Desember 2022   13:02 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara blender membangunkan ku dari tidur panjang di atas kasur yang selalu rapi dan wangi ini. Sudah sangat hapal dengan suara gaduh pagi-pagi buta di luar kamarku ini. Aku yakin saat ini ibuku sedang berdiri di depan kompor, mengaduk ladang rezekinya, sedangkan ayahku duduk di depan blender mengubah kedelai menjadi pundi-pundi rupiahnya itu.

Keluar kamar, dan aku perhatikan mereka. 

Ibuku dengan kantuknya yang kentara, mengaduk cairan berwarna putih itu. 

Ayahku dengan mendendangkan lagu, menunggu setiap butir kedelai dihancurkan oleh mesin penghancur itu. 

Sedangkan adik-adikku dengan begitu sibuknya menyiapkan diri untuk bergegas pergi ke sekolah. 

"Aku berangkat", suara ayahku dengan lantang, siap mengedarkan susu kedelai kepada para pelanggannya. 

Pekerjaan ini telah dilakoni bersama-sama oleh ayah dan ibuku sejak enam tahun lalu. Dan kulihat perekonomian mereka semakin membaik. Aku tersenyum akan hal itu.

Dengan cekatan ibuku membersihkan dapur akibat pergulatannya dengan kedelai-kedelai yang berhasil diubahnya menjadi susu itu. 

Membersihkan kompor, membersihkan perkakas dapur yang kotor, mengepel bekas percikan susu di lantai.

Seperti secepat kilat, dapur telah disulapnya menjadi kinclong tanpa noda. 

"Lalu kemana Ibuku?"

Dengan tergopoh-gopoh ia muncul di depan pintu sambil membawa barang belanjaan, sepertinya ibuku baru saja datang dari warung. 

Ia keluarkan semua isinya, kulihat ada Beras, Sayur Bayam, Ikan Pindang, Tempe, Tahu, dan segala tetek bengek perdapuran yang dibalut kertas putih. 

Dengan segera ia bergulat dengan mereka, membersihkan beras untuk kemudian mendudukkannya di singgasananya, Magicom. Memetik Sayur Bayam untuk kemudian diolahnya menjadi sayur andalan keluarga. Memotong Ikan Pindang, Tempe, Tahu untuk kemudian disulapnya menjadi lauk yang menggiurkan lidah. Tak lupa ia ternyata juga menambahkan sambal. 

Makanan itu telah tertata rapi di atas meja makan, menunggu tuan-tuannya menjamahnya. 

"Namun Ibu, kenapa Ibu tak kunjung makan?"

Ia beralih ke ruang keluarga, ditatapnya kondisi ruangan yang tak semestinya, begitupun ruang tamu. Tanpa banyak berkata-kata, ia mengambil sapu dan alat pel membersihkan ruangan-ruangan itu. 

Meskipun aku tak pernah mendengar keluhan ibu, namun dapat aku lihat guratan lelah di wajahnya. Ibuku yang baik, Ibuku yang hebat. Tanpa pamrih ia memberikan pelayanan terbaik untuk keluarganya. 

"Assalamu'alaikum, Ibu aku lapar" itu suara adikku, sepertinya ia baru saja pulang dari sekolah. 

Malam semakin larut, dengan membawa kain Sprei baru, ibu masuk ke kamarku.

Apakah ibu tidak lelah? Telah melakukan banyak hal dari pagi hingga sore hari, namun masih menyempatkan diri untuk masuk ke kamarku hanya untuk mengganti kain Sprei di kasurku. 

Kasur yang terlihat tak pernah dijamah oleh manusia.

Apakah ibu tau kalau setiap malam aku tidur disini? Meski ibu tidak bisa melihatku? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun