Mohon tunggu...
Febta Fina
Febta Fina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Program Studi Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang

Seorang mahasiswa yang sedang menempuh kuliah jenjang S1 Sosiologi, yang memiliki hobi melakukan hal-hal baru

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menggali Urgensi Artis dalam Partai Politik di Pemilu 2024, Kompetensi Vs Popularitas

4 Desember 2024   13:30 Diperbarui: 11 Desember 2024   09:02 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artis dan tokoh publik yang terjun ke dunia politik untuk Pemilu 2024. (Sumber Gambar: Hasil penelusuran di TikTok, diedit oleh penulis.)

Jika partai politik hanya terobsesi dengan citra mereka, mereka akan terjebak dalam apa yang dikenal sebagai populisme yang bertujuan untuk memenangkan pemilihan dengan mengorbankan pengembangan partai secara keseluruhan.

Dampak Negatif Popularitas Dijadikan Alat Promosi

Partai politik yang mencapai anggota pemilih tingkat menengah cenderung mengambil risiko dan itu adalah dengan menunjuk seorang selebriti di posisi kunci. Beberapa risiko ini termasuk, risiko selebriti tidak kompeten cukup untuk memiliki pengalaman yang diperlukan untuk mengelola pemerintahan. Ini dapat memiliki dampak negatif pada pembuatan kebijakan dan penyediaan beberapa layanan publik.

Dalam konteks politik kepemimpinan lokal, sering terlihat adanya pola penggabungan antara popularitas dan pengalaman. Selebriti kerap ditempatkan pada posisi Wakil Kepala Daerah untuk menarik perhatian pemilih, sementara posisi Kepala Daerah biasanya diisi oleh tokoh politik berpengalaman yang diharapkan mampu menjalankan tugas pemerintahan secara efektif. 

Pendekatan ini mencerminkan strategi partai politik dalam memadukan daya tarik elektoral dengan kompetensi kepemimpinan.

Pendekatan ini memang efektif dalam mendapatkan suara. Namun, ketika kepala daerah menghadapi masalah hukum atau kondisi kesehatan yang mengharuskan mereka untuk mengundurkan diri, tugas-tugas tersebut akan dialihkan kepada wakil kepala daerah. Ketika perwakilan tersebut telah dipanggil seperti seniman dan tidak memiliki kompetensi yang cukup, keberlangsungan pemerintahan dapat terancam.

Sebuah ilustrasi praktis dari situasi ini adalah kasus wakil kepala daerah tanpa pengalaman yang cukup yang gagal menyelesaikan tugas dalam mengalihkan tanggung jawab mereka. Kejadian semacam itu menekankan fakta bahwa harus ada proses yang lebih hati-hati dalam menominasikan wakil gubernur untuk pemilihan. Memang benar bahwa popularitas itu penting, tetapi popularitas yang berlebihan tidak boleh mengorbankan kompetensi dan kualitas kepemimpinan.

Bagaimana Meningkatkan Kualitas Pemilu di Indonesia?

Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas Pemilu di Indonesia. Transparansi dalam proses pencalonan menjadi salah satu elemen utama yang perlu diutamakan. Partai politik harus membuka kriteria dan mekanisme pencalonan secara lebih jelas agar masyarakat dapat memahami alasan di balik pemilihan kandidat tertentu. 

Transparansi ini tidak hanya akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap partai politik, tetapi juga memungkinkan pemilih untuk mengevaluasi kandidat berdasarkan standar yang objektif. Selain itu, investasi dalam kaderisasi harus menjadi prioritas utama partai politik. 

Melalui program pelatihan yang terstruktur dan intensif, partai dapat membentuk calon pemimpin yang kompeten dan memiliki kapasitas memadai untuk memimpin, sehingga ketergantungan pada figur populer dapat diminimalkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun