Keberadaan peternakan kuda di Pulau Sumba ditunjang ketersediaan lahan; sabana atau padang rumput yang luas. Sistem peternakannya masih alami. Kuda-kuda dilepas bebas di sabana. Saat senja menjelang para ”koboi” Sumba menghela hewan ternaknya kembali ke kandang. Oskar Adi Yiwa, sopir mobil rental yang mengantar saya adalah mantan joki kuda pacu. Ia bercerita banyak soal peternakan kuda ini. ”Tiap-tiap kuda sudah diberi cap untuk menandai dengan kuda kepunyaan orang lain,” kata Oskar. Sementara kebanyakan si empunya kuda menjual ternaknya sewaktu-waktu ketika mereka membutuhkan biaya untuk kebutuhan penting, seperti pendidikan anak.
Sebenarnya, roda pembangunan Sumba Timur masih dan akan terus berjalan. Potensi alam dan budayanya cukup besar sebagai modal pembangunan. Hanya saja potensi wisata ini yang belum banyak digali. ”Investasi yang sudah mulai masuk ke Sumba Timur adalah pembukaan perkebunan kapas,” tutur Isak, pegawai Biro Humas Sumba Timur. Investasi dibutuhkan sebagai penggerak roda perekonomian dan penciptaan lapangan pekerjaan.
”Sering pejabat dari Jakarta datang ke Sumba Timur hanya untuk berlibur,” kata Eliazar Ballo, salah seorang jurnalis di Nusa Tenggara Timur. ”Pulangnya mereka minta dibawain susu kuda liar,” lanjut Eli. ”Memang susah cari susu kuda liar, khasiatnya bagus buat kesehatan, bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit,” tutur Eli seraya menyebut nama-nama pejabat yang pernah berlibur ke Sumba Timur.Tak heran, Sumba dengan keindahan alam ini menjadi inspirasi bagi sutradara beken macam Garin Nugroho untuk membuat sebuah filmnya yang berjudul Angin Rumput Savanna. Keindahan alam dan kekayaan budaya ini bisa menjadi modal penting bagi daerah Sumba untuk maju. Kuncinya satu, sejauh mana para penyelenggara pemerintah setempat mampu memanfaatkan potensinya di era desentralisasi dan otonomi daerah ini. Sebuah tantangan berat agar kuda sandelwood dan tenun Sumba tidak punah, atau hanya menjadi barang langka bahkan hikayat yang menjadi perbincangan di masa depan.