Mohon tunggu...
Febry S. L.
Febry S. L. Mohon Tunggu... -

Judge me. :)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ahok: Tunduk Tertindas atau Bangkit Melawan

3 Desember 2016   13:49 Diperbarui: 3 Desember 2016   15:26 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalimat Sakti yang Kembali Lagi

Kalimat ini pernah muncul periode tahun 1997-2000. Di kala perjuangan melawan rezim Orde Baru mencapai puncaknya setelah 32 tahun berjaya dipimpin oleh Soeharto.

Saya memakai kalimat ini pada mosaik Ahok dikarenakan saat ini dia merupakan simbol perlawanan terhadap sisa-sisa rezim yang senang korupsi, manipulasi, tipu-tipu anggaran, pemalas, anti-perubahan, para gerombolan preman dan juga para kaum pendiskriminasi kaum minoritas.

Masih jelas di benak kita kengerian kerusuhan berbau SARA tahun 1998. Bagi yang mengalami, pasti akan berpikir sama seperti saya: sebuah pembelokan revolusi rakyat menjadi kerusuhan sentimen etnis.

Apa yang terjadi 4 November dan 2 Desember merupakan bukti, para sentimen etnis masih berjaya.

Sebagai rakyat Indonesia yang tunduk pada UUD 1945, saya tidak setuju kalau Ahok dianggap penista agama. Saya lebih sepakat, kalau "ada pihak-pihak yang memakai kitab suci sebagai pembenaran kehidupan berbangsa". Karena tidak semua agama bisa dijadikan pembenaran atas agama lainnya. Benar agama adalah yang tertinggi. Tapi tolong, pisahkan antara agama dan politik. Pisahkan antara agama dan hubungan sosial di masyarakat. Kita lahir di satu tanah air, satu bangsa dan satu bendera.

Bisa dibayangkan bagaimana bila para pengusaha minoritas melakukan pembatasan SARA bagi yang mau bekerja di perusahaannya? Bisa dibayangkan kalau amnesti pajak kemarin para minoritas melihat masih ada sentimen SARA hidup (dan dihidupi) di bumi pertiwi ini? Siapa yang mau membawa masuk uang ratusan triliun ke Indonesia kalau untuk keamanan diri dan kerabat para kaum minoritas ini tidak terjamin?

Saya memang berkulit cokelat, ras proto melayu berinduk pada ras melayu mongoloid, berdarah Batak, percaya pada satu agama, sejak lahir bernafas menghirup udara Indonesia.

Apakah saya berhak mendapatkan diskriminasi? Berhak dicacimaki? Tidak! Siapapun tidak berhak mencaci dan mendiskriminasi. Baik itu agama saya, ras saya, golongan saya, suku saya dan kehidupan sosial saya.

Saya, anda, atau siapapun juga, silahkan berkompetisi dengan cerdas dan bijaksana, baik itu di politik, pekerjaan, pendidikan, olahraga dan lainnya. Tanpa diskriminasi SARA.

Apa yang dilakukan mahasiswa UI saat orasi mendiskriminasi kepemimpinan Gubernur DKI yang sah saat itu dengan menggunakan ayat kitab suci, BUKAN tindakan yang pantas.
Saya pun bila ada yang mencoba menjatuhkan karir dan perjuangan saya sebagai pemimpin di tim saya menggunakan ayat kitab suci, pasti saya juga akan berlaku sama dengan Ahok.

Jangan menggunakan agamamu untuk memenuhi hasrat nafsu duniamu. Agamamu ya agamamu. Agamaku ya agamaku. Apa yang kamu percayai dan yakini sebagai kebenaran, simpan saja di dalam hati. Jangan paksa semua orang untuk mempercayainya dan membenarkannya.

Jangan pernah tunduk, Basuki Tjahaja Purnama. Karena sekali engkau tertunduk, maka akan selamanya kita semua akan ditindas atas nama agama mayoritas. Bangkit dan melawanlah! Karena kita semua bangsa dan rakyat Indonesia!

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun