Mungkin kalau telor setengah matang pasti sudah tidak asing lagi di benak kita. Tapi, kalau bangsa setengah kapitalis? Saya yakin hanya segelintir orang yang mengerti.
Saya sebenarnya enggan menulis soal gonjang-ganjing politik negeri ini. Antara mumet, sebal, eneg atau apapun itu yang bikin perut mual, kuping panas, tangan gatal dan efek lainnya yang semua berkorelasi dengan stimulus otak saya.
Mari kita mulai dari awal.
Tahun 2014. Jokowi, seorang walikota di kota di Jawa Tengah tetiba naik jadi gubernur ibukota negara ini. Bahkan, dalam waktu cuma 2 tahun, Jokowi secara mengejutkan berhasil masuk istana. Rakyat kaget. Bagaimana mungkin seorang walikota bisa melompat jadi presiden republik ini dalam waktu sesingkat itu? Tapi, Jokowi memang kalem. Dia seorang politikus tanpa harus terlihat sebagai politikus. Dia menyingkirkan lawannya tanpa suara, senyap, tahu-tahu menang.
Sikap Jokowi yang kalem saat menggeser lawan politiknya ini membuat saya teringat ketika baca di salah satu berita yang mewawancarai Ahok tentang beda Jokowi dengan Ahok (yang waktu itu bersanding sebagai DKI 2). Ahok mengatakan, kalau Ahok mau bunuh kodok, dia langsung tangkap kodoknya dan ditembak sampai mati. Sedangkan Jokowi, dia akan masukkan kodok tersebut ke dalam panci berisi air dingin, ditutup dan dipanaskan di atas kompor. Hasilnya, sama-sama mati (sumber: Tempo). Tahu bedanya kan?
Ahok. Gubernur petahana DKI Jakarta ini sekarang sedang menjadi media darling (dari dulu malah), sekarang mungkin sudah very super media darling. Di dalam dan luar negeri. Tapi sekarang bukan karena prestasinya bikin RPTRA atau ngeruk kali demi mencegah banjir datang lagi. Ini semua berawal dari kekesalannya dengan video seorang mahasiswa berjaket kuning berorasi sendiri di kampus terbesar di negeri ini menggunakan narasi berbau SARA untuk berpolitik praktis. Alhasil, Ahok geram dan menumpahkan kekesalannya dalam sebuah kesempatan dialog dalam sebuah pertemuan dengan warga di Kepulauan Seribu.
Niat hati ingin meluruskan, namun apa daya, kekesalannya atas viralnya video tersebut dipergunakan sebagai 'senjata' lawan politiknya selama ini yang terintimidasi, tersingkirkan, terusir, terpenjara karena ketegasannya dalam memimpin ibukota.
Makin panas, karena presiden Jokowi, dengan pembisik super-nya (termasuk 'sang ibunda' yang sudah malang melintang sejak jaman penindasan Orde Baru) membaca situasi secara cepat. Dengan lugas, presiden kita mengungkap bahwa ada aktor politik yang "bermain api" jelang Pilkada DKI.
Sampai sini, mari kita bagi dua persepsinya:
Pertama, presiden Jokowi bukan satu-dua hari kenal Ahok. Dia pasti sering diskusi dan berdebat dengan Ahok, sehingga seorang Jokowi tentu tahu betul hati, sepak terjang dan karakter mantan pendampingnya itu saat memimpin DKI. Jadi, sebelum dibisikkan oleh para politikus di kanan-kirinya serta intelijen yang jumlahnya ribuan di lapangan, presiden tentu tahu bahwa ada yang ingin melakukan character assasination kepada 'mantan wakilnya' dan ditambah bonus aji mumpung dengan melakukan 'makar' atas kursi pemerintahan negara yang sekarang dijabatnya.
Kedua, Ahok bukanlah orang bodoh. Malah saya bilang, ini orang kebangetan cerdas dan salut atas integritasnya. Tahu integritas kan ya? Apa yang ada di hati, pikiran dan yang keluar dari mulut itu sama. Tidak dibuat-buat, alias apa adanya. Dia bukan politikus sejati. Makanya dia tidak 'berlayar' dengan partai apapun sampai hari ini setelah keluar dari Gerindra. Kenapa sih dia keluar? Saya rasa kita harus dicerahkan sedikit, terserah setuju atau tidak. Ingat saat Prabowo mencalonkan diri sebagai RI-1? Siapa menurut anda yang 'ditumbalkan'? Jawabnya cuma satu: Ahok. Kenapa? Karena untuk mencegah Jokowi naik jadi presiden, Ahok dijadikan tumbal dengan isu jangan sampai DKI punya gubernur non-Muslim, non-pribumi dll. Sudah ingat kan? Lalu demo anti-Ahok muncul sejak Jokowi dimajukan oleh PDI-P sebagai capres hampir tiga tahun lalu. Apakah Ahok merasa sakit hati? Pastinya. Apalagi ketika dia dijadikan korban dan tidak ada satupun warga Gerindra yang membelanya saat dirinya habis-habisan dijadikan bahan caci-maki sentimen SARA.
Ahok akhirnya mundur dari partai dan sadar bahwa ini sudah dilakukan dengan rapi dan terorganisir, seperti saat mantan atasannya (Jokowi) dihina dan dicaci jelang kampanye presiden.
Sekarang, presiden Jokowi tentunya tidak akan tinggal diam. Dengan pengawasan penuh, dia akan terus membaca gerakan lawan politiknya. Kembali lagi, begitu dapat, tentunya akan ada yang 'dimasukkan ke dalam panci air dingin dan direbus perlahan'.
Di tengah hiruk-pikuk politik di ibukota, saya semakin muak ketika melihat agama dijadikan bahan pembenaran sebuah tindakan politik. Tapi, akhirnya saya sadar, ketika saya teringat nabi Daud mengirim anak buahnya ke medan perang demi mendapatkan istri anak buahnya tersebut. Bahwa ternyata, politik itu memang sudah ada dari dulu kala. Bahkan nyawa sekalipun dijadikan taruhannya.
Jadi, siapapun pemenangnya, pasti akan ada yang menjadi korbannya.
Dan jelas sudah, ini semua adalah politik semata.
Dalam sebuah bangsa setengah kapitalis, politik seperti ini memang harus dimaklumi. Karena masih sedikit masyarakat kita yang menjadi kapitalis. Mesin uang para pemilik modal yang punya kepentingan politik terus berputar. Para kapitalis tentunya akan bersorak ketika kembali berhasil 'memperbudak' sebuah bangsa yang katanya sudah merdeka. Sebagian besar yang berhasil diperbudak olehnya, akan bersorak menerima uang hasil perahan dari kelompok budak lainnya.
Pertanyaannya sekarang, siapa sang kapitalis, siapa yang menjadi para budaknya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H