Mohon tunggu...
Alota Warmheart
Alota Warmheart Mohon Tunggu... -

an incessant learner of public health service system

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Media Sumber Bencana

15 Desember 2012   02:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:37 1114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Nama : Rifka Sibarani

NIM : 08/ 267358/ SP/ 22868

ILMU KOMUNIKASI FISIPOL UGM

*sebuah catatan dari bangku kuliah

Bencana erupsi Gunung Merapi (26/11/10) merupakan peristiwa bencana yang paling ramai di beritakan di berbagai media nasional maupun internasional. Media berlomba – lomba mendapatkan gambar – gambar eksklusif dan menarik minat audiens sebanyak – banyaknya, sehingga tidak jarang, hasrat menyiarkan berita ‘tercepat’ tersebut membuat para pekerja media lupa terhadap tanggungjawab sosial mereka. Menyiarkan berita aktual, berdasarkan fakta namun tetap berpegang pada etika pemberitaan. Dalam dunia pemberitaan media massa, terdapat sebuah ungkapan yang kini telah menjadi fundamental nilai – nilai pemberitaan media. Ungkapan tersebut adalah “bad news, is a good news”.

Tidak bisa dipungkiri, berita – berita ‘buruk’ tersebut kerap menyedot perhatian para audiens media. Semakin buruk sebuah peristiwa, semakin mampu peristiwa tersebut menyentuh dan menggerakkan emosi audiens, dinilai semakin sukses lah berita tersebut. Pemberitaan erupsi Gunung Merapi merupakan salah satu contoh nyata buruknya penanganan media untuk memberitakan peristiwa bencana alam. Efek pemberitaan tersebut tidak hanya mengundang kepanikan dari keluarga masyarakat yang berasal di luar Yogyakarta namun juga masyarakat Yogyakarta sendiri. Sebagai contoh konkrit adalah pemberitaan acara SILET yang ditayangkan di RCTI pada tanggal 5 Desember 2010.

Dalam penayangan perihal bencana alam Merapi, Fenny Rose, sebagai pembawa acara mengatakan bahwa “akan terjadi letusan besar pada tanggal 8 Desember yang akan mencapai hingga 600 km dan memusnahkan Yogyakarta dari peradaban”. Kutipan pemberitaan tersebut benar – benar menimbulkan kepanikan, terutama warga pendatang, serta kemarahan dari warga asli Yogyakarta sendiri. Pada tanggal 8 malam Desember, eksodus besar – besara terjadi. Penutupan bandara adisucipto menyebabkan pengalihan keberangkatan tersentralisasi melalui kereta api dan kendaraan darat lainnya. Contoh kasus tersebut merupakan contoh sebagian kecil dari efek buruk dari pengemasan media massa tentang peristwa bencana alam di Indonesia. Menurut beberapa ahli komunikasi, pemberitaan media massa Indonesia berkaitan dengan bencana alam dinilai terlalu di dramatisir, mengabaikan fakta di lapangan bahkan tidak jarang pekerja media di lapangan justru tidak kompetibel dan mengerti istilah yang berkaitan dengan bencana alam tersebut.

A. Ekonomi Politik Media

Media sebagai sebuah institusi ekonomi tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ekonomi sebuah media itu sendiri. Pendekatan ekonomi media merupakan perspektif yang cocok untuk melihat bagaimana hubungan pengemasan media dengan kepentingan ekonomi di dalamnya. B. Jurnalisme Bencana Ahmad Arief (2006), wartawan Kompas sekaligus penulis buku Jurnalisme Bencana Bencana Jurnalisme, memaparkan bahwa dalam peliputannya di lapangan selama ini Arief menemukan bahwa teradapat banyak sekali kesalahan dalam etika peliputan berita serta kurangnya kapabilitas wartawan media di lapangan bencana. Arief juga menyebutka dosa – dosa media akibat pemberitaan bencana alam tersebut. Dosa – dosa tersebut berasal dari rakusnya media sebagai institusi ekonomi menjerat penonton berlama – lama menyantap sajian berita mereka. Hingga mereka kehilangan esensi berita itu sendiri yaitu mendidik audiens media itu sendiri, dalam hal ini audiens tersebut adalah masyarakat Indonesia. Dosa – dosa tersebut antara lain adalah mengeksploitasi korban, menyebabkan trauma pembaca/ penonton serta komodifikasi bencana melalui sumbangan pemirsa.

a) Eksploitasi Korban

Eksploitasi korban yang dimaksud adalah pengambilan gambar dan pemuatan berita mengenai korban tanpa memperhatikan aspek – aspek kemanusiaan yang eprlu diperhatikan. Tidak jarang kita temui seorang wartawan yang meliput korban bencana alam dan mengambil gambar – gambar korban tersebut. Walaupun secara etis kemanusiaan, gambar – gambar tersebbut selayaknya tidak ditampilkan. Dalam pemberitaan wafatnya Mbah Maridjan, ahli kunci Gunung Merapi, tidak sedikit media massa, baik media elektronik maupun portal berita online memuat gambar mayat Mbah Maridjan dalam kondisi terbakar, sebagai bukti pada masyarakat bahwa sosok penjaga Merapi tersebut telah meninggal. Namun pengambilan gambar yang berkali – kali diiringi narasi yang menyentuh emosi justru merupakan bentuk eksploitasi korban. Dimana gambar mayat Mbah Maridjan menjadi sumber pemberitaan yang menarik banyak perhatian audiens.

b) Menyebabkan trauma pada audiens Bukannya mendidik audiens tentang bencana yang sedang dihadapi, para pekerja media justru memberikan berita ditambah lagi gambar – gambar yang seharusnya tidak ditampilkan secara ekspilisit. Dalam pemberitaan mengenai erupsi Merapi, tidak sedikit orangtua yang khawatir akan keberadaan anak mereka yang sedang menempuh pendidikan di universitas di Yogyakarta. Terutama mereka yang tidak memiliki pengetahuan sama sekali mengenai ilmu vulkanologi dan kota Yogyakarta itu sendiri. Ketakutan yang dihasilkan akibat menonton pemberitaan – pemberitaan tersebut malah semakin menumbuhkan ketakutan akan bencana alam bukannya mendapat pendidikan mengenai hal – hal yang berkaitan tentang bencana itu sendiri.

c) Komodifikasi bencana melalui sumbangan pemirsa Setiap pemberitaan bencana alam di Indonesia, pasti kemudian akan tertera : “Sumbangkan Bantuan Kepedulian Anda Ke Rekening ....... Peduli Bencana” yang kemudian akan dilanjutkan dengan penyebutan nomor – nomor rekening bank media tersebut. Bagi para audiens, ketika mereka melihat korban bencana alam tersebut, diiring lagu – lagu yang menyentuh emosi saat itu media berhasil menyentuh sisi kemanusiaan masyarakat dan tidak jarang yang tidak berfikir dua kali untuk menyumbang melalui rekening – rekening tersebut. Padahal menurut etika perusahaan, perusahaan harusnya menyiapkan dana tersendiri sebagai bentuk CSR bagi korban bencana alam. Bukan sekedar mendompleng dana bantuan dari masyarakat lalu menempelkan logo perusahaan mereka di spanduk – spanduk dan kemasaan bantuan. Tidak adanya transparansi masalah bantuan keuangan ini juga selayaknya harus dikritisi. Dalam pantauan penulis tentang penyaluran bantuan pada merapi, tidak semua media memberikan transparansi terhadap aliran dana tersebut. Sayangnya, penyaluran untuk bencana alam malah mengurangi keterlibatan pemerintah dalam pendanaan bencana alam tersebut. Lalu bagaimana harusnya pemberitaan bencana tersebut?

Menurut Iwan Awaluddin Yusuf (2010), dosen Ilmu Komunikasi UII Yogyakarta, Pilihan-pilihan fokus berita tersebut adalah keniscayaan dalam dunia jurnalistik. Penayangan berita mana yang dipilih melibatkan banyak agenda. Mulai kepentingan jurnalistik murni, bisnis (ekonomi) hingga kepentingan lain, seperti kendaraan politik atau sekadar pencitraan diri (image building) lembaga. Fokus berita ( agenda – setting )merupakan penilaian berita yang harus diperhatikan dalam produksi berita media. Menurut LittleJohn (2008 :) agenda setting merupakan bagaimana media sebagai sebuah produsen media mengarahkan audiens mereka pada fokus/ kepentingan tertentu.

C. KESIMPULAN Pekerja media, merupakan profesi dua mata uang. Tidak jarang mereka mendatangkan bencana, namun mereka juga sumber informasi bagi masyarakat terhadap peristiwa yang terjadi di kehidupan masyarakat. Sebagai sebuah profesi, apalagi berhubungan dengan publik, pekerja media memiliki tanggungjawab sosial yang besar. Tidak hanya pada wartawan, tanggungjawab sosial ini berlaku hingga pemilik perusahaan.

REFERENSI Arief Ahmad. 2007. Jurnalisme Bencana Bencana Jurnalisme. Jakarta : Andi Group

(tulisan yang belum selesai, masih butuh banyak perbaikan)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun