Mohon tunggu...
Febroni Purba
Febroni Purba Mohon Tunggu... Konsultan - Bergiat di konservasi ayam asli Indonesia

Nama saya, Febroni Purba. Lahir, di Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Menempuh pendidikan SD hingga SMA di Kota Medan. Melanjutkan kuliah ke jurusan ilmu Peternakan Universitas Andalas. Kini sedang menempuh pendidikan jurusan Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Pernah menjadi jurnalis di majalah Poultry Indonesia selama tiga tahun. Majalah yang berdiri sejak tahun 1970 ini fokus pada isu-isu ekonomi, bisnis, dan teknik perunggasan. Di sana ia berkenalan dengan banyak orang, mengakses beragam informasi seputar perunggasan Tanah Air dan internasional. Samapai kini ia masih rajin menulis, wawancara dan memotret serta berinteraksi dengan banyak pihak di bidang peternakan. Saat ini dia bergabung di salah satu pusat konservasi dan pembibitan peternakan terpadu ayam asli Indonesia. Dia begitu jatuh cinta pada plasma nutfah ayam asli Indonesia. Penulis bisa dihubungi via surel febronipoultry@gmail.com. atau FB: Febroni Purba dan Instagram: febronipurba. (*) Share this:

Selanjutnya

Tutup

Money

Penegakan Hukum di Sektor Peternakan

17 September 2015   17:51 Diperbarui: 17 September 2015   18:04 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BARU-baru ini terungkap adanya 1,5 ton ayam potong yang mengandung formalin dari 7 tempat pemotongan ayam di Tangerang. Praktik ayam berformalin ini terungkap setelah Polda Metro Jaya bersama BPOM Banten melakukan inspeksi ke tempat pemotong ayam.    

Kinerja aparat penegak hukum dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) patut kita apresiasi. Kendati sejumlah pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka, penemuan ini masih menimbulkan kecemasan di masyarakat. Dampak selanjutnya, konsumen enggan membeli atau mengkonsumsi daging ayam sampai mereka merasa aman terhadap formalin. Formalin merupakan senyawa kimia berbahaya yang umumnya digunakan sebagai desinfektan: pembasmi hama, menghilangkan bau serta mengawetkan mayat.

Celakanya, praktik ayam berformarlin tersebut telah diketahui oleh warga di sekitar rumah pemotongan ayam. Seperti diberitakan Kompas.com (14/9/2015), Hartanto (50), warga yang tinggal di Jalan Budi Asih, gang tempat berdirinya rumah pemotongan ayam, mengaku sudah tidak kaget dengan penemuan Polda Metro Jaya dan BPOM Provinsi Banten, beberapa waktu lalu. Sebab, hampir semua warga tahu ayam potong di sana menggunakan formalin sebagai salah satu bahan agar ayam lebih awet setelah dipotong. 

Apa yang dapat kita beri komentar tentang penemuan ayam berformalin itu? Kita bisa mengatakan: masih lemahnya pengawasan terhadap tempat atau rumah pemotong ayam. Di lain pihak, pengawasan terhadap bahan pengawet seperti formalin juga lemah sebab penjualan formalin masih bebas di pasaran.  

Barangkali masih ada banyak tempat atau rumah pemotongan ayam yang melakukan hal serupa. Praktik pemberian formalin atau bahan berbahaya lainnya oleh pedagang dianggap cara paling instan dan murah dalam mengawetkan daging ayam. Akhirnya, kesehatan masyarakat sebagai konsumen daging ayam terancam lantaran lemahnya pencegahan.

Di sinilah pentingnya penegakan hukum terhadap pelaku usaha yang mengelabui konsumen. Praktik ayam berformalin hanya salah satu persoalan di sektor peternakan. Ada persoalan lain yang lebih luas meyangkut produk peternakan—susu, telur, daging ayam, daging sapi, dsb—yang beredar tetapi tidak memenuhi syarat higiene dan sanitasi (kesehatan) yang diatur pemerintah.

Pelanggaran ini sebetulnya marak terjadi di mana-mana namun belum begitu diketahui oleh masyarakat umum. Kesehatan dan keamanan pangan itu amat penting lantaran komoditas pangan yang gampang tercemar oleh bakteri, kuman, dan virus. Sialnya, sejumlah pelaku mencampurkan bahan kimia seperti formalin, arsenik, atau hormon sebagai bahan pengawet.

Sanksi terhadap pelaku pelanggaran

Undang-undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Pasal 58 ayat 4 dengan gamblang menyebutkan bahwa seluruh produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal. Jika unit usaha produk hewan tidak memiliki NKV, maka sanksi adminstratifnya adalah: a) peringatan secara tertulis; b) pengenaan denda; c) penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; d) pencabutan nomor pendaftaran dan penarikan Obat Hewan, Pakan, alat dan mesin, atau produk hewan dari pererdaran; e) pencabutan izin.

Dengan merujuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha bisa dipidanakan paling lama penjara lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 miliar.

Oleh sebab itu, penegakan hukum di sektor peternakan amat mendesak. Jangan sampai masyarakat dirugikan atau dalam hal ini mengalami ganguan kesehatan karena produk pangan yang tidak sehat. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, serta polisi perlu segera melakukan inspeksi dan memberikan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar aturan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun