Mohon tunggu...
Febroni Purba
Febroni Purba Mohon Tunggu... Konsultan - Bergiat di konservasi ayam asli Indonesia

Nama saya, Febroni Purba. Lahir, di Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Menempuh pendidikan SD hingga SMA di Kota Medan. Melanjutkan kuliah ke jurusan ilmu Peternakan Universitas Andalas. Kini sedang menempuh pendidikan jurusan Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Pernah menjadi jurnalis di majalah Poultry Indonesia selama tiga tahun. Majalah yang berdiri sejak tahun 1970 ini fokus pada isu-isu ekonomi, bisnis, dan teknik perunggasan. Di sana ia berkenalan dengan banyak orang, mengakses beragam informasi seputar perunggasan Tanah Air dan internasional. Samapai kini ia masih rajin menulis, wawancara dan memotret serta berinteraksi dengan banyak pihak di bidang peternakan. Saat ini dia bergabung di salah satu pusat konservasi dan pembibitan peternakan terpadu ayam asli Indonesia. Dia begitu jatuh cinta pada plasma nutfah ayam asli Indonesia. Penulis bisa dihubungi via surel febronipoultry@gmail.com. atau FB: Febroni Purba dan Instagram: febronipurba. (*) Share this:

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ironi Nelayan Negeri Maritim

8 April 2014   21:09 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:54 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_302433" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: http://kotatuban.com/pilihan-redaksi/mcl-tak-pedulikan-nasib-nelayan/"][/caption]

Gaung peringatan Hari Nelayan Nasional jatuh pada 6 April nyaris tak terdengar. Tampaknya membahas kampanye partai dan pemilu lebih menarik ketimbang isu-isu nelayan. Padahal nasib nelayan kita dari generasi ke generasi semakin memprihatinkan karena dijerat kemiskinan.

Badan Pusat Statistik mencatat jumlah nelayan miskin di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 7,87 juta orang atau 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional. Upah riil harian yang diterima seorang buruh tani (termasuk buruh nelayan) hanya sebesar Rp 30.449 per hari. Jauh lebih rendah dibandingkan upah harian seorang buruh bangunan biasa (bukan mandor) Rp 48.301 per hari.

Masri (2010) dalam tesisnya menuliskan bahwa pendapatan pokok yang diperoleh masyarakat Kabupaten Pariaman setempat dari hasil penangkapan ikan untuk tiap kepala keluarga (KK) umumnya berkisar Rp 200.000-Rp500.000 per bulan dan Rp 500.000-Rp1.000.000 per bulan. Apalagi bila terjadi cuaca ekstrim maka nelayan tidak bisa melaut dan kebutuhan hidup untuk keluarga tak tercukupi.

Perlindungan jiwa dan sosial

Dari tahun ke tahun Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menaikkan anggaran belanja dan menyiapkan berbagai program untuk nelayan. Tetapi hasilnya tak dirasakan oleh banyak nelayan di semua pesisir Tanah Air. Di sisi lain, pemerintah pun belum maksimal memberikan perlindungan bagi nelayan tradisional yang sering tertindas oleh nelayan berkapal besar dan nelayan asing berkapal canggih.

Perlindungan terhadap nelayan memang diatur dalam Keputusan Presiden No. 10 Tahun 2011 dan Inpres tentang Perlindungan Nelayan. Namun pelaksanaan di lapangan amat kurang mencipatakan rasa aman dan nyaman, meningkatkan kesejahteraan, serta jaminan hidup layak bagi keluarga tradisional. Bahkan tak sedikit jiwa nelayan terancam di lautan oleh gelombang laut dan angin kencang.

Data dan informasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyebutkan pada 2010 tercatat sebanyak 86 nelayan hilang, meninggal di laut. Pada 2011 melonjak sebanyak 149, kemudian 2012 bertambah menjadi 186 nelayan meninggal. Periode Januari-Juli 2013 sedikitnya 147 nelayan tradisional hilang dan meninggal dunia di laut. Februari 2013 menerima laporan sedikitnya 20.726 nelayan tidak bisa melaut di 10 kabupaten di Indonesia tanpa perlindungan dari ancaman bencana (Tempo.co, 7/1/2014). Fakta ini menguatkan kesimpulan bahwa negara lalai melindungi segenap warganya.

Program pemerintah belum memihak terhadap nelayan tradisional. Salah satu contoh masalah yang kerap dihadapi nelayan adalah ketika harga bahan bakar minyak (BBM) naik. Nelayan sangat tergantung terhadap BBM khususnya solar. Untuk ukuran 5-12 PK membutuhkan rata-rata 10 liter sekali melaut. Maka setiap perahu mengeluarkan biaya sebesar Rp 21.000. Sialnya nelayan terpaksa membeli solar Rp 25.000- Rp 27.000 karena sulitnya akses dan berhadapan dengan agen-agen nakal.

Indonesia dijuluki sebagai negeri maritim dengan luas laut 2/3 dari seluruh luas wilayah negara. Ditambah kekayaan bahari melimpah bak surga bagi pelaut dan nelayan yang hidup di Bumi Pertiwi. Tak ada yang membantah bahwa kekayaan laut Indonesia melimpah ruah. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), tahun 2006 Indonesia merupakan produsen ikan terbesar di dunia dengan bobot produksi sekitar 87,1 juta ton. Belum lagi kalau kita perhitungkan taman laut Indonesia terbanyak di dunia. Sungguh amat kayalah bangsa kita. Berbanding terbalik dengan fakta tersebut, tingginya angka kemiskinan justru terjadi pada masyarakat pesisir dan pedesaan.

Buruk kelola potensi laut

Potensi laut kita jadi sia-sia akibat lemahnya tata kelola sumber daya laut. Mubazirlah ketika pemerintah membuka keran impor perikanan. Tahun 2012 lalu pemerintah mengimpor 441.000 ton hasil perikanan dengan nilai sebesar  US$ 1,08 miliar atau setara Rp 1,22 triliun. Jika para pencari keuntungan mengambil untung 10 persen saja maka uang rakyat yang diambil mafia paling tidak Rp 100 juta per tahun. Sudah jadi rahasia umum kalau produk impor menjadi lahan basah bagi pengusaha hitam dan oknum pejabat.

Padahal pasal 36 ayat 1 UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan mengatur, impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Nah, beragam jenis ikan justru dapat diproduksi di dalam (laut) negeri (sendiri) hanya saja pengelolaan buruk. Kalau begitu aturan ini kerap dilanggar oleh pemerintah!

Buruknya pengelolaan kekayaan laut juga berdampak pada kontribusi sektor perikanan yang hanya 3,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan China, Korea dan Jepang dengan luas laut setengah dari luas laut Indonesia mampu memberikan kontribusi sektor perikanan sebesar 35 persen dari PDB (Antarajatim.com, 7/4/2013). Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa kekayaan yang tak dikelola secara maksimal maka semuanya sia-sia.

Tanggung jawab pemerintah

Siapa lagi kalau bukan negara yang berotoritas dan bertanggung jawab penuh memaksimalkan potensi laut di penjuru tanah air. Sayangnya pemerintah terkesan buta/abai/lalai memanfaatkan potensi laut yang besar ini. Nelayan asing justru bebas berkeliaran di perairan Indonesia. Kapal nelayan asing memasang bendera Indonesia untuk masuk wilayah teritorial tanpa izin. Petugas keamaan laut kita juga minim upaya pencegahan dan penindakan terhadap kapal nelayan asing.

Selain itu, pemerintah mesti bertanggung jawab penuh menjamin kehidupan nelayan pada masa paceklik. Rendahnya pendapatan nelayan serta tiada jaminan dari ancaman jiwa di laut. Ironi! Sekitar 90 persen hasil produksi ikan nasional merupakan jerih payah nelayan tradisional. Namun pemerintah terkesan kurang menghargai jerih payah nelayan tradisional. Nelayan bukan saja memberikan penghidupan bagi keluarganya tetapi juga menjaga ketahanan dan kemandirian nasional pada sektor perikanan.

Negara harus bisa pastikan agar nelayan hidup lebih sejahtera. Kalau tidak kita akan kehilangan banyak nelayan dan berakibat anjloknya produksi ikan dalam negeri. Hitungan kasar pada tahun 2004 jumlah nelayan kita sekitar 4 juta. Namun pada tahun 2012 jumlah nelayan kita tinggal 2,2 juta. Celakalah jika negara kehilangan para penangkap dan pembudidaya ikan! Pada saat yang sama bangsa asing mencuri sebebasnya ikan di perairan kita.

Butuh keseriusan, kecintaan, dan pemeliharaan yang bertanggung jawab dari masyarakat khususnya pemerintah untuk memaksimalkan sumber daya laut Indonesia yang telah dianugerahkan Tuhan pada Indonesia. Nelayan hanya berharap lautan masih memberikan penghidupan/harapan bagi mereka yang tinggal di pesisir pantai.

Dalam suasana pemilu tahun ini, pemilih diharapakan jeli memilih calon legislatif dan calon presiden yang telah berjuang mensejahterakan rakyat kecil termasuk nelayan.

Kujungi juga blog saya di http://febronipurba.blogspot.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun