Pentingnya Wisata Astronomi
Dalam mewujudkan sepuluh destinasi wisata prioritas atau yang dikenal sebagai 10 Bali baru, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan tahun 2016-2025 membangun Kawasan Strategis Khusus Pariwisata Pulau Belitung. Ditunjuknya Pulau Belitung sebagai destinasi wisata unggulan Indonesia semakin didukung oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dengan menetapkan Pulau Belitung sebagai GeoPark dimana saat ini dalam status GeoPark Nasional dan sedang berupaya menuju UNESCO Global GeoPark.
Gubernur Kepulauan Babel, Erzaldi Rosman Djohan di sela sela pertemuannya dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Suharso Monoarfa dalam peresmian Pusat Informasi Geologi di Kelapa Kampit Belitung Timur, Sabtu (5/9) mengatakan bahwa dalam mempersiapkan Geopark Belitong menjadi geopark internasional membutuhkan setidaknya 20 geosite, sedangkan hingga saat ini baru sebanyak 17 geosite yang sudah siap [1]. Selain harus memenuhi persyaratan utama ini, kriteria lain yang juga harus terpenuhi adalah pariwisata, sumber daya alam, edukasi, konservasi, dan beberapa kriteria lain yang akan direvalidasi setiap empat tahun sekali.
Sejalan dengan misi GeoPark Belitung menuju pengakuan dunia internasional, maka diperlukan suatu langkah jitu guna mencapai predikat sebagai UNESCO Global GeoPark, salah satunya adalah mengembangkan Wisata Astronomi (Astro Tourism) atau yang kemudian dikenal sebagai AstroWisata. Astrowisata merupakan suatu sinergi antara kepentingan ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan, hiburan, dan kelestarian lingkungan yang berkaitan dengan pemahaman terhadap benda-benda langit. Sejalan dengan potensi pariwisata secara umum dalam mendorong tumbuhnya ekonomi masyarakat, astrowisata pun dapat memberi peran yang sama.
Siapa yang tak tertarik dengan astrowisata. Mari kita kilas balik saat Pulau Belitung mengadakan acara pengamatan fenomena benda langit Gerhana Matahari Total pada 9 Maret 2016 tepatnya di Kota Tanjung Pandan. Fenomena Gerhana Matahari Cincin ini ternyata mampu menaikkan tingkat hunian kamar hotel (Occupancy Rate) dari 33,3 % di bulan Maret 2015 menjadi 46,7 % di bulan Maret 2016 saat puncak gerhana Matahari Total namun di bulan Maret 2017 turun menjadi 41,2% [2].
Senada dengan hal ini, Sansan Arya Lukman Ketua ASITA Bangka Belitung kepada Tempo, Senin, 7 Maret 2016 menjelaskan tercatat 185 wisatawan asing yang datang terdiri dari 79 orang berasal dari Jepang, 68 orang dari Cina, 21 orang dari Belgia, 9 orang dari Amerika, dan 8 orang Singapura. Jumlah ini pun masih bertambah namun ASITA memutuskan menutup penawaran paket wisata gerhana matahari total karena kuota kamar hotel sudah penuh, Kendaraan wisata dan pramuwisata juga sudah habis dipesan [3].
Begitu besarnya animo masyarakat dengan peristiwa benda langit ini. Masih banyak fenomena lain yang bisa kita kaji dan amati seperti fase Bulan, Blood Moon Red Moon, okultasi dan konjungsi planet di tata surya, meteor, pasang surut laut, dan kajian asal muasal Batu Satam dalam perspektif astronomi.
Selain mampu meningkatkan jumlah wisatawan, pengelolaan astrowisata dapat mewujudkan visi Kepulauan Bangka Belitung yakni “SDM Unggul – Indonesia Maju”, menyediakan tenaga terdidik dan terlatih seperti astronom, komunikator sains khususnya astronomi, pemandu wisata, astrofotografer, serta agen wisata khusus serta membuka peluang lapangan kerja baru di area destinasi astrowisata. Usaha masyarakat setempat seperti bisnis penginapan, biro perjalanan, toko souvenir, dan kios kuliner pun turut bermunculan. Berbagai aktivitas ekonomi yang lantas bisa dijalankan pun kian mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, gagasan mengembangkan astrowisata berkelanjutan pun sangat sejalan dengan peningkatan kapasitas dan kualitas GeoPark Belitung.
Polusi Cahaya
Menurut Dr. Chatief Kunjaya, M.Sc. dosen astronomi Institut Teknologi Bandung, ada beberapa kriteria umum dalam membangun astrowisata di suatu daerah diantaranya lahan yang cukup luas, tidak terganggu pohon atau gedung, kemudahan akses transportasi, aman dari kriminalitas, bencana alam, dan binatang berbahaya, serta yang terakhir tingkat polusi cahaya yang rendah [4].
Tingkat polusi cahaya yang rendah merupakan hal utama dalam Astrowisata saat pengamatan malam. International Dark-Sky Association mendefinisikan polusi cahaya sebagai "penggunaan cahaya buatan yang tidak tepat atau berlebihan". Itu bisa terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk silau, atau kecerahan yang berlebihan [5]. Tanpa langit gelap, kita tidak dapat menerima sinyal cahaya redup dari objek jauh di luar angkasa. Langit gelap merupakan sumber ilmiah yang sangat penting untuk memahami misteri alam semesta. Langit gelap juga bagian penting dari kekayaan alam dan budaya dari semua peradaban.
Pengaruh negatif polusi cahaya juga terjadi kepada manusia dimana polusi cahaya mampu mengganggu ritme sirkadian tubuh manusia dengan menghambat aliran normal melatonin (hormon yang muncul saat manusia tidur). Berdasarkan sejumlah penelitian, kadar melatonin yang rendah dan gangguan sirkadian juga dianggap berperan dalam penyakit jantung, diabetes, depresi, dan kanker terutama kanker payudara.
“Fisiologi malam hari tergantung pada gelap. Itu tidak bergantung pada tidur,” kata Richard Stevens, seorang ahli epidemiologi di University of Connecticut yang telah mempelajari hubungan antara polusi cahaya dan kesehatan manusia selama beberapa decade [6]. Ini menegaskan, tidur dalam keadaan gelap lebih baik dibanding membiarkan lampu tetap menyala.
Jika pertempuran melawan polusi cahaya memiliki maskot, mungkin yang paling cocok adalah bayi penyu atau tukik. Efek polusi cahaya yang merusak dari sinar pesisir membuat tukik menjadi tersesat dan mudah diserang oleh predatornya. Di antara alat bantu navigasi lainnya, tukik penyu menggunakan cahaya bulan yang dipantulkan dari puncak gelombang sebagai panduan menuju laut.
Selain itu, seperti yang kita ketahui induk penyu yang bertelur juga sangat sensitif terhadap keberadaan cahaya [7]. Kepedulian kita terhadap keberadaan satwa ini seiring dukungan terhadap Pulau Belitung merupakan sentra konservasi penyu tepatnya di Pulau Kepayang.
Oleh karena itu, konsep astrowisata tidak semestinya hanya berkutat pada potensi ekonomi saja. Sebagaimana telah disinggung, perlindungan terhadap lingkungan, khususnya langit gelap harus senantiasa terpelihara. Tidak hanya pengamatan astronomi yang diuntungkan dengan keberadaan langit gelap, kesehatan maupun keselamatan manusia, penghematan energi, dan kelestarian beraneka ragam hayati juga turut memperoleh dampak positifnya.
Mengurangi Polusi Cahaya
Salah satu solusi yang direkomendasikan untuk meminimalkan pendar langit malam dan perlunya sosialisasi kepada masyarakat adalah menudungi bola-bola lampu secara penuh hingga jejaknya di permukaan tanah terlihat dari kejauhan tapi sumber cahayanya tidak.
Dalam penelitiannya, International Dark-Sky Association memperkirakan setidaknya tiga puluh persen pencahayaan luar di negara Amerika Serikat yang terbuang sia-sia berasal dari bola lampu yang tidak ditudungi. Cahaya yang tidak ditudungi, bersinar ke angkasa bisa diamati dari antariksa. Untuk pencahayaan sebaiknya menggunakan warna amber atau kuning, dengan rentang energi sekecil mungkin bukan cahaya biru putih yang justru menyilaukan dan tidak baik untuk kesehatan.
Strategi lain adalah memilih lokasi khusus untuk menempatkan pencahayaan di luar ruangan, lampu hemat daya, dan gunakan lampu hanya saat dibutuhkan. Penanaman pohon diantara sumber lampu juga membantu mengatasi pantulan cahaya sekunder yang mengarah ke langit. Solusi ini bisa mengurangi efek cahaya menyilaukan. Sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya astrowisata dan menggugah kepedulian masyarakat dalam pencegahan polusi cahaya sangat diharapkan di masa depan. (FZ)
Sumber Pendukung :
[1] Nidia Zuraya. (2020). Indonesia ajukan Geopark Belitung jadi GeoPark Internasional dalam https://republika.co.id/berita/qg6gkm383/indonesia-ajukan-geopark-belitung-jadi-geopark-internasional. Diakses 15 September 2020 Pukul 10.30 WIB.
[2] Kunjaya, C. et al. (2019). Possibility of astronomical phenomena to be used to support tourism industry. J. Phys.: Conf. Ser. 1231 012025. hlm. 6.
[3] Maranda, Servio. (2016). Gerhana Matahari di Bangka Belitung, Turis Jepang Terbanyak dalam https://nasional.tempo.co/read/751499/gerhana-matahari-di-bangka-belitung-turis-jepang-terbanyak/full&view=ok. Diakses 14 September 2020 Pukul 09.30 WIB.
[4] Kunjaya, C. et al, op cit. hlm. 7.
[5] IAU. (2018). Light Pollution dalam https://www.iau.org/static/archives/images/pdf/light-pollution-brochure.pdf. Diakses 14 September 2020 Pukul 09.30 WIB. hlm.
[6] Ibid., hlm. 4
[7] Ibid, hlm. 10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H