Mohon tunggu...
Febriyant Jalu Prakosa
Febriyant Jalu Prakosa Mohon Tunggu... Guru - Buruh Pengajar

Seorang pembelajar yang mencoba terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Film

Saga "The GOAT"

19 November 2020   09:10 Diperbarui: 19 November 2020   09:14 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan hewan, the GOAT kali ini adalah sebuah akronim yang berarti the Greatest of All Time -- yang terbaik sepanjang masa; ungkapan yang akhirnya kerap digunakan para penggemar olahraga untuk menyanjung satu sosok yang mereka rasa layak menerimanya. 

Banyak perdebatan dalam tiap olahraga mengenai siapa sesungguhnya the GOAT untuk olahraga tersebut, seperti dalam sepak bola, banyak orang memperdebatkan apakah Cristiano Ronaldo atau Lionel Messi yang merupakan the GOAT sejati. 

Sementara, untuk olahraga basket era modern, hampir semua penggila basket sepaham bahwa the GOAT adalah mutlak Michael Jordan. Dengan 5 gelar Most Valuable Player (MVP) dan 6 gelar juara National Basketball Association (NBA), sangatlah sulit untuk menyangkal bahwa MJ, sapaan akrab Michael, adalah yang terbaik dari para bintang NBA yang pernah ada; LeBron James, peraih 4 gelar MVP dan 4 gelar juara NBA dengan julukan King James, mungkin adalah satu-satunya pemain bintang NBA era modern yang paling layak diperdebatkan sebagai the GOAT di samping MJ.

Bicara lebih dalam mengenai MJ dan pencapaiannya yang tiada duanya (khususnya di dekade 90-an), sebuah serial dokumenter bertajuk The Last Dance tentunya tidak dapat kita lewatkan. 

Sebuah serial dokumenter yang cukup sensasional di kalangan penggemar basket, karena mengungkap berbagai cerita di balik perjuangan (dan kontroversi) MJ dalam meraih 6 gelar NBA bersama Chicago Bulls, khususnya tahun terakhirnya bermain di sana. 

Seorang rekan saya yang selama ini tidak pernah sekalipun menampakkan ketertarikannya terhadap olahraga basket, tiba-tiba dengan cukup antusias bercerita menanggapi serial ini bak analis basket senior; membuktikan betapa berdampak dan besarnya serial ini, dan tentunya, brand MJ.

Serial ini secara luar biasa tidak hanya mengajak rekan-rekan MJ di Bulls era 90-an, tetapi juga para rivalnya dahulu untuk turut menuturkan perspektif mereka mengenai era keemasan MJ; rival yang tampil pun bukan sekedar rival biasa seperti Reggie Miller atau Gary Payton tetapi bahkan Isiah Thomas (bukan Isaiah Thomas) sang pesaing sengit MJ pun ikut serta. 

Hal yang menarik mengenai kehadiran para rival ini adalah meskipun mereka mengakui keagungan MJ, mereka selalu terkesan tidak ingin kalah dari MJ. Seakan tak cukup, kreator serial pun menunjukkan rekamannya pada MJ sendiri dan the GOAT pun selalu memiliki reaksi-reaksi unik dan kisah-kisah tersendiri untuk membalas penuturan para rival; persaingan yang sempat redup pun hidup kembali, seru kan?

Di luar persaingan di atas, serial ini juga menguak sejumlah fakta dan peristiwa penting di dalam tim Chicago Bulls era 90-an sendiri, seperti kebiasaan dan perilaku nyentrik Dennis Rodman, kenyataan pahit di balik kontrak Scottie Pippen, pensiun dan kembalinya MJ di tengah kejayaan Bulls, hingga tiba ke visi almarhum Jerry Krause (General Manager Chicago Bulls saat itu) untuk membangun kembali Chicago Bulls tanpa para pemain bintangnya termasuk MJ; poin terakhirlah yang mendorong MJ dan sejumlah pemain lain untuk pergi meninggalkan Bulls di puncak kejayaan mereka medio akhir 90-an. Sadar bahwa ini adalah kesempatan terakhir mereka untuk berjuang bersama di Bulls, Phil Jackson (pelatih utama Bulls era 90-an) menyerukan semangat bernama, tak lain dan tak bukan, The Last Dance.

Sebagai hiburan murni, serial ini menawarkan dinamika dan sudut pandang yang unik dari sebuah perjalanan seorang atlet terbaik di olahraganya, beserta nilai-nilai yang bisa dipelajari dari setiap jengkal kisahnya. Hanya saja, satu hal yang paling menempel dalam benak saya, yaitu bahwa mega bintang seperti MJ pun adalah manusia biasa yang butuh media curhat, butuh didengar...oleh semua orang di dunia. Betapa beratnya kilauan emas the GOAT.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun