Mohon tunggu...
febriyanti intan hendrayani
febriyanti intan hendrayani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswi Fakultas Hukum yang memiliki minat kuat terhadap isu-isu hukum, keadilan, dan hak asasi manusia. Saat ini, saya tengah menempuh pendidikan semester 5 di Universitas Singaperbangsa Karawang, dengan fokus studi pada hukum pidana.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gratifikasi: Kado Maut yang Menghancurkan Integritas

23 September 2024   14:07 Diperbarui: 23 September 2024   14:07 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/

Indonesia telah mengatur gratifikasi dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu: "Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik". Secara keseluruhan gratifikasi tidak langsung dilarang atau bukanlah suatu pelanggaran, semua ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Ada dua situasi di mana gratifikasi dapat menjadi salah. Meskipun hal yang diberikan mungkin terlihat menarik pada awalnya, hal ini pada akhirnya dapat merusak integritas seseorang. Dari perspektif ini, sangat penting bagi semua orang untuk memahami arti gratifikasi, terutama bagi mereka yang bekerja sebagai pejabat negara atau penyelenggara negara.

Untuk menjaga integritas dan transparansi, hukum Indonesia mengamanatkan kewajiban bagi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dalam menghadapi gratifikasi. Pasal 3 ayat (2) PMK Nomor 227/PMK 09/2021 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Keuangan menguraikan tiga kewajiban utama, yaitu

  • menolak Gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan/atau berlawanan dengan kewajiban atau tugas yang bersangkutan;
  • melaporkan penolakan atau penerimaan Gratifikasi melalui UPG atau secara langsung kepada KPK; dan/atau
  • melaporkan penerimaan Gratifikasi yang tidak dapat ditolak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau penetapan KPK, melalui UPG atau secara langsung kepada KPK.

Di Indonesia adanya lembaga penegak hukum memiliki tujuan untuk menciptakan ketertiban, keamanan, dan ketentraman dalam masyarakat dan dapat memberikan dampak preventif dan represif, seperti mencegah, memberantas kejahatan, dan memulai tindakan tindak lanjut. Lalu bagaimana apabila seorang penegak hukum terjerat salah satu tindakan korupsi, yakni tertangkap basah menerima gratifikasi. Menurut Pasal 12B dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, gratifikasi yang diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara hanya dapat dianggap sebagai suap apabila berhubungan dengan jabatan atau berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Tidak main-main, penerima gratifikasi diancam hukuman penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dengan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Istilah sekstorsi mungkin juga masih asing di telinga orang Indonesia. Bahkan, Indonesia sendiri menduduki peringkat pertama jumlah kasus sekstorsi tertinggi di Asia, yakni mencapai 18% pada tahun 2020 menurut Global Corruption Barometer. Sekstorsi atau dalam bahasa Inggris disebut sextortion adalah istilah untuk menggambarkan suatu jenis penyalahgunaan wewenang dengan seks sebagai sarana korupsi. Sebelumnya, tindak pidana korupsi banyak dilakukan dengan menggunakan uang, barang, voucher, benda, dan harta benda materi lainnya (gratifikasi), saat ini layanan seksual sudah menjadi salah satu bagian dari gratifikasi. Layanan seksual dapat digolongkan sebagai suap jika diberikan kepada pejabat pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Jadi, jika layanan seksual ditawarkan tanpa tujuan atau kepentingan tertentu, maka itu akan tergolong gratifikasi.

Fenomena sekstorsi masih asing bagi masyarakat Indonesia karena tiga alasan. Pertama, konsep seks masih amat sangat tabu dibicarakan di ruang publik. Kedua, penyalahgunaan dapat dilihat pada kasus-kasus korupsi yang melibatkan orang-orang yang memiliki kekuasaan dan wewenang, seperti pegawai negeri sipil, penegak hukum, atau bahkan di sektor pendidikan seperti guru dan dosen. Ketiga, gratifikasi seksual tidak mempunyai nilai yang bisa diukur dengan angka, melainkan berupa sebuah pengalaman dan kesenangan. Sedangkan dalam hukum Indonesia berdasarkan Pasal 12B dan 12C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, tindakan gratifikasi dibatasi pada benda yang dapat diukur dalam rupiah saja. Sejauh ini, sekstorsi masih dianggap sebagai tindakan pelecehan seksual dan bukan merupakan tindak pidana korupsi menurut hukum Indonesia. Maka, tidak heran jika istilah sekstorsi masih asing di telinga orang Indonesia.

Hal ini mungkin bisa kita lihat pada kasus sekstorsi tahun 2013 yang melibatkan Setyabudi Tejocahyono. Setyabudi merupakan anggota majelis hakim yang ditangkap dalam kasus korupsi dana kesejahteraan Pemkot Bandung sebesar Rp 4,2 miliar dari Toto Hutagalung. Selain itu, menurut keterangan Johnson Siregar, kuasa hukum Toto Hutagalung, Setyabudi kerap meminta layanan seksual setiap hari Jumat. Setyabudi kemudian divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 200 juta karena menerima suap, namun tidak untuk layanan seksual yang diterimanya. Pengadilan tidak mengusut lebih jauh klaim Setyabudi atas layanan seksual, meski Johnson Siregar sudah membeberkannya.

Salah satu alasan Setyabudi bisa lolos dari dugaan Tindakan sekstorsi seksual tersebut adalah karena layanan seksual tersebut tidak bisa dalam mata uang rupiah untuk digolongkan sebagai tindakan gratifikasi dan korupsi. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 pasal 12B ayat (1), jenis gratifikasi yang dapat dipidana antara lain hadiah uang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, akomodasi di fasilitas perjalanan, perjalanan wisata, bebas perawatan medis. dan objek/fasilitas lainnya. Ini sebenarnya adalah tawaran layanan gender secara implisit dapat dikategorikan dalam istilah "fasilitas lain", dalam arti gender memfasilitasi fungsi kepentingan politik. Namun dalam praktiknya, ketidakjelasan definisi dan konsep layanan seksual sebagai bagian dari korupsi menimbulkan penafsiran dan ambiguitas yang berbeda-beda. Adanya ambiguitas akan mengurangi efektivitas implementasi Undang-Undang Tipikor dalam mengkriminalisasi pelaku gratifikasi atau suap jasa seksual sebagai tindak pidana korupsi.

Kasus Setyabudi menunjukkan, layanan seksual hanya sebagian kecil dari total suap yang diterimanya. Bagaimana dengan pejabat pemerintah lainnya yang mungkin hanya menerima imbalan atau suap dalam bentuk layanan seksual? Bagaimana penegakan hukum di Indonesia akan menghukum kasus-kasus seperti ini? Belum lagi perlunya membedakan sanksi antar pelaku sekstorsi. Misalnya hukumannya harus dibedakan antara pelaku yang memberikan secara langsung, menawarkan atau meminta seks dengan pelaku yang tidak terlibat langsung dalam layanan seks, namun menawarkan dan membayar pekerja seks untuk kemudian diberikan kepada pejabat negara. Oleh karena itu, gratifikasi dan suap dalam bentuk layanan seksual hanya dapat dianggap sebagai tindak pidana pelecehan seksual. Berisi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan perjanjian yang merugikan masyarakat Indonesia secara keseluruhan, baik langsung maupun tidak langsung.

Menurut Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Zulkarnaen, gratifikasi seksual merupakan sesuatu yang melampaui batas kewajaran. Namun ia yakin isu gratifikasi seksual sudah terlalu jauh untuk dimasukkan dalam gugatan. Memberantas seks bukanlah tugas yang mudah bagi Indonesia. Namun bukan berarti tidak mungkin. Berkaca pada kasus korupsi Setyabudi yang dalam proses hukumnya tidak memasukkan sekstorsi seksual dalam gratifikasi yang diterima pelaku, kita melihat hukum Indonesia yang berlaku masih terdapat adanya kekurangan.

Harus adanya definisi yang jelas dalam undang-undang Tipikor mengenai layanan seksual seperti gratifikasi dan suap, agar tindak pidana gratifikasi seks dapat diatur. Tampaknya pembahasan mengenai RUU sekstorsi diperkirakan akan berlanjut pada tahap legislatif dan kemudian diratifikasi berdasarkan undang-undang korupsi di Indonesia. Selain itu, sosialisasi konsep sekstorsi di masyarakat juga sangat penting. Integrasi gagasan sekstorsi dalam definisi umum korupsi sangat diharapkan agar masyarakat dapat memahami dan berpartisipasi dalam mengurangi seks. Dengan kata lain, upaya mewujudkan Indonesia yang antikorupsi tidak hanya dilakukan oleh kalangan atas (top-down) saja, namun juga dilakukan oleh kalangan bawah (bottom-up).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun