Mohon tunggu...
febri w. p.
febri w. p. Mohon Tunggu... -

Mahasiswa angkatan tua dan pegiat anti glamor.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Gunung Naik Kelas

5 September 2015   03:49 Diperbarui: 5 September 2015   04:09 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption=][/caption] 

Betapa hebatnya gunung-gunung di Indonesia saat ini, pamornya mencuat, naik drastis tak terkendali, bak nilai dollar, bahkan lebih. Kebanyakan kaum muda jadi melirik wisata alam yang satu ini. Dahulu, gunung hanya dijajaki oleh orang-orang yang memang punya jiwa adventure tinggi. Atau paling tidak, mereka-mereka yang naik ke atas berbekal attitude, berniat menikmati alam tanpa harus merusak lingkungan. Dulu gunung bukanlah destinasi wisata kaum-kaum kurang piknik, bahkan dalam daftar agenda piknik pun tidak ditulis. Paling banter hanya pantai. Selebihnya piknik di foodcourt mall-mall terdekat.

Tapi itu dulu, sebelum negara api menyerang. Sekarang sudah lain cerita. Puncak gunung jadi primadona bagi sebagian pemuja piknik yang berslogan ‘Mak Crit, My Adventure’. Puncak gunung yang dulunya sepi, hanya segelintir orang yang menikmati, sekarang sudah ramai, seperti pasar malam. Terlebih untuk gunung dengan ketinggian sedang. Gunungpun jadi bahan obrolan yang manis dan ramai di perbincangkan. Baik kaum adam atau kaum hawa, mulai dari yang duduk dimeja angkringan sampai meja café. Semua seakan berlomba-lomba untuk ambil bagian menjadi saksi kehebatan gunung yang sedang naik daun. 

Lalu apa yang menyebabkan gunung menjadi begitu booming? Padahal gunung tidak membuat video lipsync di situs Youtube, tidak mengunggah video Dubsmash ke akun instagram. Gunung juga masih seperti itu bentuknya, dipenuhi pepohonan hijau nan rindang. Malahan hijaunya gunung yang tersebar dimana-mana, termasuk linimasa situs-situs jejaring sosial seperti Facebook, Instagram, dan Path. Seakan berlomba-lomba untuk memamerkan foto terbaiknya. Barangkali itu yang menyebabkan gunung naik pangkat, dari ketua RT jadi Presiden. Blow up besar-besaran melalui jejaring sosial. Seperti air bensin tersulut api. Semakin di upload semakin menjadi. Seakan terhipnotis dengan gambar orang naik gunung, kemudian berduyun-duyun mendaki gunung, tak lupa membuat sesobek kertas bertuliskan ‘kamu kapan naik gunung’. Oh iya, satu lagi ritual yang tak kalah penting, selfie secara membabi buta, jepret sana-sini, yang kalau sampai rumah akan dipilih-pilih lagi mana foto yang terbaik, kemudian di upload. 

Banyak alasan memang para pendaki dadakan menjajal ekstrimnya medan gunung. Salah satunya coba-coba, agar bahagia, yang secara harfiah berarti keadaan atau perasaan senang dan tentram. Tidak ada yang salah memang dengan pilihan naik gunung, semua kembali ke pribadi masing-masing. Yang pasti, naik gunung bukanlah ajang pamer diri. Jika kebahagiaan mendaki gunung datang setelah di puji, gunung bukan lagi tampat mengais bahagia.

Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun