"Tolong bedakan antara kehidupan anak di rumah dengan di luar. Anak berantem dengan teman-temannya itu wajar. Itu kehidupan sosialnya. Biarkan saja!"
Pernah tidak mendengar kalimat seperti itu? Sebagian dari pembaca kemungkinan pernah mendengar langsung atau membaca ulasan bergaya kurang lebih seperti itu. Pernahkah terpikirkan dalam benak kita apakah konsep seperti itu benar. Atau paling tidak mencernanya sambil sedikit merasa-rasakan apakah enak untuk dimakan ataukah perlu sebagian disisakan untuk tak dimakan?
Sepertinya ada beberapa jalur pemikiran yang mendukung cara pandang seperti itu. Selain dari jalur "latah" mengenyam informasi dan pendapat, ada jalur lain lagi yang lebih saintifik, yakni kumpulan orang yang mengambil sikap dan tindakan atas dasar penelitian. Penelitian apa? Penelitian tentang otak misalnya.Â
Kompas (2020) juga memberitakan bahwa membentak dan memarahi anak dapat mematikan pertumbuhan sel otak. Tak tanggung-tanggung, sumber yang diliput mengilustrasikan bahwa miliaran sel otak dapat berantakan dan mati. Kejadian tersebut tentu menjadi momok bagi pembaca yang berstatus sebagai orang tua.Â
Tak jarang kita temui orang tua -bahkan mungkin salah satunya adalah pembaca- lantas mengambil sikap untuk tidak memarahi anak. Harapannya satu, yaitu tumbuh kembang otak anak akan maksimal dan tidak ada "sampah sel" di dalam otaknya.Â
Akhirnya, apapun yang dilakukan anak akan dimaklumi. Tidak kah kita berpikir bahwa "pembiaran" yang kita lakukan itu justru membahayakan mereka?
Beberapa saat lalu penulis menyimak sebuah reel di media sosial yang menyampaikan pesan seorang terpidana mati perampokan disertai pembunuhan -kalau tidak salah-.
 Video pendek tersebut memuat kalimat yang kurang lebih "menuntut" kenapa sang ibu tidak menemani di saat-saat terakhir sebelum dieksekusi. Lebih dalam lagi, sang anak mempertanyakan kenapa sang orang tua tidak ikut divonis.Â
Sementara, keberanian sang terpidana kala melakukan perbuatan kriminal itu dimulai dari keberanian saat kecil yang selalu dibela sang bunda. Pernah ia mencuri dan berkelahi di masa kanak-kanaknya dan ia mendapat pembelaan dari orang tua.Â
Kenapa sekarang anak yang sudah dewasa tersebut harus dihukum ketika melakukan suatu perbuatan yang mirip yang dulu dilakukannya. Cara berpikir sang anak ini perlu kita cermati!
Mungkin ada pembaca muslim yang berpedoman bahwa dulu Rasulullah pernah mengimami salat berjamaah dan salah satu gerakan ibadah terhenti. Kenapa?Â
Karena salah satu cucu Beliau menaiki punggung Nabi. Rasulullah membiarkan "aktivitas" sang cucu sampai cucu tersebut turun dari punggung beliau. Mungkin ini dijadikan salah satu dalil penguat bahwa manusia terbaik pun mengajari hal yang sama: membiarkan anak-anak dengan aktivitasnya. Namun, pernahkah sampai riwayat tentang Rasulullah yang berjuang mengeluarkan sebutir kurma yang ditelan Hasan, sang cucu yang sangat Beliau sayangi? Kala itu Hasan menelan sebutir kurma zakat. Tindakan seorang anak memakan sesuatu tentu bukanlah hal yang salah. Tetapi, apa yang dimakan adalah sesuatu yang "salah" untuk dimakan. Keluarga Nabi haram memakan zakat. Itulah sebabnya Nabi Muhammad "membuat" cucunya memuntahkan apa yang baru saja ditelannya. Mungkin ada juga yang berpendapat, tindakan Nabi yang kedua tersebut jelas memang sudah seharusnya. Sebab, apa yang dihadapi adalah sesuatu yang haram. Sementara, perkara berantem atau berkelahi bukanlah sesuatu yang haram. Benarkah?
Penulis tidak akan masuk pada pembahasan fiqih tentang halal dan haram tersebut. Toh, seandainya dibahas dengan menyebut sumber yang detil pun belum tentu diterima pembaca yang kontra. Pengalaman penulis ketika menasehati sesuatu, sering muncul respon: "lebih baik bertanya kepada ulama". Kita ambil pelajaran dari apa yang pernah dicontohkan oleh Imam Bukhori. Suatu ketika, Imam Bukhori berburu dengan cara memanah. Namun, tiba-tiba Beliau menghentikan kegiatan tersebut. Kenapa? Salah satu anak panah meleset dan mengenai pagar tetangga. Dinding pembatas tersebut cuil sedikit. Imam Bukhori gelisah dan meminta maaf kepada sang pemilik tanah. Kenapa? Kali ini jangan membawa pembahasan halal haram. Imam Bukhori sangat memahami bahwa "dosa" itu ada yang lahirnya dari urusan sang makhluk langsung dengan Allah dan ada pula yang lahirnya dari urusan manusia dengan manusia. Cuilnya tembok tetangga tersebut tentu menjadi "bekas" urusan Imam Bukhori dengan sang tetangga. Imam Bukhori khawatir masalah tersebut akan menjadi celah bagi sang tetangga untuk menagihnya kelak di akherat. Melalui Al Quran, Allah memberitakan bahwa kelak ketika hari penghitungan ditegakkan, manusia akan ditimpa ketakutan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Manusia sekelas Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isa pun pada saat itu akan diliputi kekhawatiran atas apa yang pernah dilakukan selama hidup. Bagaimana dengan manusia biasa akhir jaman yang sama sekali tidak mendapat jaminan masuk surga. Jaminan pasti "diampuni" segala dosanya pun tidak ada. Kisah Imam Bukhori tersebut tentu harus kita -orang tua- jadikan pelajaran.Â
Bagaimana pun, Allah menitipkan anak kepada kita untuk dididik. Dididik apa? Dididik perkara agama tentunya. Mungkin akan ada yang menyela: "Nah kan, kewajibannya adalah mendidik perkara agama. Sementara kehidupan anak di dunia sosialnya biarlah berkembang.". Akhi, agama Islam mengatur manusia sejak lahir hingga meninggal, sedari bangun tidur sampai terlelap lagi. Sepanjang waktu manusia "ditempeli" dua malaikat. Kedua malaikat tersebut mencatat semua perbuatan manusia baik yang baik maupun buruk. Ingat, sepanjang waktu dicatat! Malaikat tidak hanya mencatat perbuatan yang dilakukan di dalam masjid atau majelis-majelis agama. Dimana pun manusia berada, "billing" catatan amal terus di-update. Ketika anak kita menyakiti temannya, boleh jadi itu akan menjadi investasi "cari masalah" kita terhadap orang yang tersakiti tadi kelak di hari pembalasan. Bayangkan kelak anak yang tersakiti tersebut -dan juga orang tuanya- akan menuntut anak kita. Anak kita pun akan menuntut kita karena tak membinanya sewaktu masa pendidikan. Naudzubillah, itu akan menjadi celah kebangkrutan amal di akherat.
Berpendapat bahwa orang tua harus membedakan situasi antara anak berada di rumah dengan anak berada di masyarakat seyogyanya perlu dikritisi. Memukul seorang teman di luar rumah sejatinya sama dengan memukul adik sendiri di rumah. Jangan kemudian kita pilah pilih situasi sehingga permisif dengan kelakuan anak ketika di luar rumah dan ketat dengan anak ketika di rumah. Mungkin, ada di antara kita yang menjadikan rumah semacam madrasah kehidupan yang membuatnya harus perfect. Di sisi lain, dunia luar adalah dunia realita yang mungkin dianggap sebagai media trial and error untuk mengejawantahkan apa yang telah dipelajari di madrasah tersebut. Apabila ada yang kurang pas, pembenahannya dilakukan di madrasah lagi. Apakah begitu? Kalau anak kita berantem dengan temannya di luar rumah, sebaiknya orang tua berperan aktif menghukumnya. Tentu tingkatan hukumannya disesuaikan. Jangan salah loh, Rasulullah mengikrarkan pada sahabat bahwa kalau sampai ada keturunan Rasul didapati mencuri maka jangan ragu silakan dipotong tangannya. Rasul tidak memberi batasan tindakan mencuri tersebut dilakukan di dalam rumah atau di luar rumah!Â
Bagi orang tua yang mendapatkan teguran dari orang tua lain dikarenakan perilaku ananda yang kurang baik, sebaiknya menerima dan jangan serta merta keberatan. Justru teguran tersebut adalah bentuk cinta orang tersebut kepada kita agar kita dan anak kita dapat memperbaiki diri. Dan tentu, dengan adanya protes semacam itu, pintu untuk meminta maaf menjadi terbuka. Bayangkan jika tidak ada protes dan teguran ketika anak kita atau kita melakukan kesalahan, sangat dimungkinkan klaimnya akan dilayangkan kelak ketika hari kebangkitan. Di hari itu, kita tak lagi dapat mengatakan: "Itu adalah kehidupan sosial!". Mulut kita saja pada saat itu akan terkunci, tidak lah mungkin kita mengatakan demikian. Terlebih mengatakan kalimat tersebut kepada Sang Pencipta kita yang Maha Berilmu.Â
Jangan sampai kejadian perundungan anak di Tasikmalaya terulang kembali. Jangan sampai tindakan bullying seperti itu dianggap biasa sebagai fenomena sosial anak. Lantas, bagaimana kalau sampai miliaran sel otak anak rusak? Apabila pertanyaan ini masih saja menggelayut di pikiran kita, sebaiknya kita sejenak belajar dari doa-doa kita. Seringkali doa-doa kita untuk meminta "kemelimpahan" tidak kunjung dikabulkan oleh Allah. Doa meminta rejeki berlipat, meminta mobil, meminta rumah, atau bahkan jabatan tidak jarang tidak serta merta diwujudkan oleh Allah. Kenapa? Allah lebih tahu porsi terbaik untuk kita. Boleh jadi, situasi berkelimpahan akan merubah jatidiri kita, merubah mental kita. Kita yang awalnya santun dengan sepeda kayuh, mendadak menjadi angkuh dengan tunggangan roda empat barunya. Boleh jadi adanya banyak sel otak yang mati tersebut juga baik untuk anak kita. Mungkin kalau semua sel aktif, malah akan menjadikan ananda kelewat cerdas dan akhirnya terlalu kreatif. Apabila goal kita sudah sama yaitu menuju kehidupan akherat yang baik, tentu bukan masalah sel otak yang kita hiraukan. Ingat, Allah adalah Dzat yang Maha Baik. Allah hanya menyukai yang baik-baik. Apakah berantem -meskipun dilakukan anak- adalah hal yang baik?
Silakan share link tulisan ini apabila bermanfaat. Semoga menjadi amal jariyah kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H