Mohon tunggu...
Febri C
Febri C Mohon Tunggu... -

Melihat dan mendengar dengan hati

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

“Lawang Sewu (Pintu Seribu) Seru”

31 Maret 2013   07:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:58 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jam sudah menunjukkan pukul 8.30 malam, selepas kami menghabiskan makan malam kami di Kampung Laut daerah Tanjung Mas, Kota Semarang. Kami segera bergegas menuju Bangunan Tua Lawang Sewu yang terletak di tengah Kota. Kemarin malam kami gagal mengunjungi karena bangunan tua tersebut ternyata tutup pada pukul 10 malam. Kali ini kami rasa masih sempat untuk mencoba memasuki bangunan tersebut lagi.

Entah kebetulan atau bukan, saat itu bertepatan dengan acara Earth Hour dimana seluruh Kota di dunia di himbau untuk mematikan lampu dalam durasi 60 menit saja, sehingga setiba disana beberapa bangunan yang merayakan juga memadamkan lampunya. Tersisa hanya sekumpulan pemuda yang tergabung dalam klub sepeda yang berkumpul di Bundaran Tugu Muda, tepat di depan bangunan Lawang Sewu dengan membawa beberapa senter kecilnya.

Kami tiba tepat pukul 9 malam. Di depan bangunan ada sebuah mobil polisi yang menyalakan lampu sirenenya. Wah.. pembukaan acara yang cukup sejalan dengan tujuan wisata malam kami kali ini: “Uji Nyali”. Alhamdullilah pembelian tiket (Hanya Rp.10.000/orang) masih dibuka dan kami masih mendapatkan satu orang Tour Guide yang akan menemani selama waktu tour di dalam bangunan tersebut. Kami yang awalnya berenam ternyata tinggal bertiga yang mampu melewati pagar bangunan, ketiga orang lainnya sudah melambaikan tangan (red: tanda menyerah dan kembali ke hotel). OK fine, meskipun kami hanya bertiga, karena gugurnya setengah dari rombongan awal yang cukup mengikis rasa kepercayaan diri, demi sebuah cerita seru yang akan kami bawa kembali ke Jakarta maka kami berkeyakinan pantang untuk mundur.

Berbekal dengan tuntunan dari sang guide yang hanya membawa satu buah lampu senter kecil, kami memulai perjalanan wisata malam di bangunan Lawang Sewu. Bangunan Lawang Sewu ini didirikan pada 27 Februari tahun 1904 dan selesai pada tahun 1907 dengan tujuan sebagai kantor Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS. Setelah kemerdekaan digunakan sebagai kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI) atau sekarang PT Kereta Api Indonesia. Selain itu pernah dipakai sebagai Kantor Badan Prasarana Komando Daerah Militer (Kodam IV/Diponegoro) dan Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Perhubungan Jawa Tengah. Bangunan ini disebut sebagai Lawang Sewu dengan arti “Pintu Seribu” oleh masyarakat setempat karena meskipun tidak memiliki seribu pintu namun bangunan ini memiliki banyak sekali jendela yang besar yang juga bisa di anggap sebagai pintu (lawang).

Disambut dengan bangunan kecil, masih di area depan yaitu sumur dengan kedalamam 1.000 meter yang digunakan sebagai saluran pembuangan air. Kami sempat berfoto sebentar lalu kami melanjutkan ke bagian tengah area yang luas tersebut. Berjalan dari sisi samping bangunan dan disambut dengan pohon besar yang semula kami pikir adalah pohon beringin. Sang guide menjelaskan atas bangunan di sebelah kanan kami yang masih digunakan sebagai kantor pengelola Lawang Sewu.

Setelah melewati pohon besar tersebut sampailah kami ke bangunan yang panjang menyamping dalam kondisi gelap gulita. Sempat saya melemparkan pertanyaan kenapa lampu semua benar-benar dipadamkan dan dijawab dengan santai oleh sang guide “kalau terang itu namanya mall mbak”. Ahh.. mau protes tapi kok ya alasannya benar juga, lagipula sekarang sedang Earth Hour, lalu saya memilih diam dan mengikuti arahan sang guide menuju bangunan di depan pohon besar tersebut.

Memasuki pintu utama dan langsung ke dalam ruangan utama yang ternyata terdapat maket bangunan dan area Lawang Sewu ini. Wangi.. itu yang langsung tercium oleh hidung ku, ohh rupanya mereka membakar wewangian atau kemenyan, mungkin untuk membuat suasana lebih hidup. Oh baiklah, let’s play along. Sang guide pun berdiri di depan maket bangunan sambil menerangkan bangunan apa saja yang dapat kami lihat nanti. Masih dengan temaram sinar senter yang kecil sang guide menerangkan bahwa tepat di bawah kaki kami berdiri adalah ruang bawah tanah yang memiliki ceritanya sendiri dan apabila kami tertarik untuk mengunjungi, ada paket tour yang terpisah. Kami nyatakan tertarik meski ada sedikit ragu dalam hati.

Kami melanjutkkan perjalanan memasuki bagian bangunan lebih dalam dan menemukan kami ternyata berdiri di lorong yang panjang nan gelap, kami berbelok ke kiri dan terus berjalan. Aroma wangi masih tercium di hidung saya. Sang guide menghentikan langkahnya dan kami dihadapkan ke tangga menuju lantai dua, Nah disini suasananya mirip salah satu adegan di film Omen. Dimana tangga kuno putih terbentang siap untuk kami naiki sementara lorong gelap memanjang ada di belakang punggung kami. Terbesit sekilas untuk berlari kembali ke pagar depan, namun artinya saya harus melewati lorong tersebut lagi sendiri, memasuki ruangan depan dan melewati pohon besar di tengah area bangunan besar nan gelap tanpa senter, ohh Tuhan ... rasanya menjadi ide yang lebih buruk dibandingkan mengikuti arahan sang guide untuk menaiki tangga tersebut.

Pasrah kami menaiki lantai dua, ternyata menuju balkon samping luar bangunan, kami menyusuri balkon samping tersebut menuju balkon depan. Saya kembali teringat dengan salah satu adegan film Dracula dimana sang korban yang menggunakan gaun putih panjang sedang menyusuri kastil dibawah intaian  dracula dari balik jendela. Ah.. seram. Sampai tiba lah kami di balkon depan dimana pemandangan utamanya adalah pohon besar yang tadi kami lewati. Kami berhenti sebentar untuk mendengarkan sang guide bercerita mengenai pohon tersebut. Pohon yang semua kami pikir pohon beringin itu ternyata adalah pohon mangga!. Karena ukurannya yang luar biasa besarnya maka pengunjung seperti kami sering terkecoh (ditambah dalam kondisi gelap gulita juga sih). Pohon tersebut masih berbuah dan kata sang guide rasanya sangatlah manis. Buah mangga tersebut juga sering disebut “Ilong Jiwo” artinya jiwa yang hilang dimana diumpamakan jika kita memakan buah mangga yang manis tersebut maka kita akan kehilangan jiwa karena teramat manisnya. Sayangnya saat kami datang belum musimnya pohon mangga tersebut berbuah. Sempat terpikir apakah jika saya memakan buah tersebut maka saya akan kehilangan jiwa? Ah.. sebaiknya tidak. Sejenak sang guide juga sempat menerangkan mengenai jendela yang ada pada bangunan tersebut. Pemasangannya sedikit berbeda dibandingkan dengan pemasangan jendela pada umumnya. Kaca jendela yang bergelombang menandakan bahwa kaca tersebut masih didatangkan langsung dari Eropa dan pemasangan jendela yang terbalik dimana sisi yang dibuka adalah di bagian atas jendela merupakan konsep yang benar karena sirkulasi udara menjadi lebih lancar dan membuang udara panas dari dalam ruangan serta tidak membahayakan anak-anak kecil yang memiliki resiko terkena ujung kayu jendela yang tajam.

Lanjut kembali kami memasuki bangunan dalam lantai dua, cukup terkejut karena ternyata satu kamar besar di sisi kiri pernah digunakan sebagai kamar rumah sakit dalam film “Ayat-Ayat Cinta”. Pada saat pembuatan hanya menambahkan wall paper pada dindingnya sehingga tidak merusak bangunan aslinya. Jadi teringat cerita cinta segitiganya Fahri.. oh.. Fahri. Lalu teringat cerita cinta diri sendiri, ah tidak perlu dibahas, ini cerita tentang uji nyali bukan drama romantika picisan. hmm maaf, saya akan lanjutkan.

Memasuki bagian lebih dalam dengan berdiri ditengah-tengah pintu dan menghadap ke samping kanan, kami melihat puluhan pintu lurus dengan kondisi gelap, namun luar biasa mempesona. Sang guide bercerita bahwa bangunan ini digunakan sebagai kantor jaman penjajahan belanda, dan lucunya antar ruangan dihubungkan dengan pintu yang selalu ada dan terletak satu garis lurus. Masih terkagum dengan kondisi tersebut, teman saya mengingatkan sang guide untuk meneruskan tour kami ke lantai tiga. Hayuk lah...

Tangga menuju lantai tiga cukup sempit dan terjal. Kami menaiki anak tangga tersebut setapak demi setapak dan sampailah kami di lantai tiga dan tentu saja masih dalam kondisi gelap. Ruangan tersebut besar sekali dan tanpa sekat. Atapnya juga terlihat langsung tanpa plafon. Sang guide mulai bercerita bahwa tempat ini dijadikan tempat interogasi para pejuang kita saat penjajahan dan juga telah dijadikan sebagai tempat latihan bulutangkis oleh tentara kita saat jaman kemerdekaan. Nah.. aktifitas yang jauh positif dan menyehatkan. Kami jalan menyusuri ujung ruangan dan terdapat tangga lagi menuju ke atap yang kata sang guide biasa digunakan oleh para penembak sniper untuk mengintai sasarannya dari atas atap.

Kembali kami menuju lantai dua dengan menyusuri balkon samping dari arah yang berbeda, dimana kami dapat melihat sungai kecil yang berada di samping bangunan. Sang guide pun bercerita kembali bahwa sungai tersebut dijadikan tempat pembuangan mayat para pejuang setelah mereka di eksekusi di bangunan bawah tanah. Tidak terbayangkan bagaimana kondisi sungai saat itu terjadi.

Kami tertarik untuk melihat kondisi bangunan bawah tanah tersebut, sehingga kami bergegas untuk menuju ke pintu masuknya. Untuk tour tambahan ini kami dikenakan biaya tiket Rp.10.000/orang lagi. Di depan pintu banyak sekali berbaris sepatu bot yang disediakan, oh ternyata kami harus menukarkan sepatu kami dengan bot yang ada untuk memasuki ruang bawah tanah tersebut. Kenapa? Karena disana terdapat air semata kaki dan sebetis. What the? Oh well.. lanjutkan saja terus perjalanan ini. Ruang bawah tanah tersebut tentunya merupakan klimaks dari keseluruhan rangkaian cerita bangunan Lawang Sewu ini.

Sebelum turun, sang guide pun memberikan kami beberapa wejangan salah satunya adalah: “Tolong, apapun yang terjadi dan apapun yang kalian lihat, tolong, jangan lari”. Kaget kami serentak bertanya: “Kenapa?”, sang guide pun membalas:  “karena kalau kalian lari, saya juga lari...”... ha-ha.. lucu sekali sang guide kami, namun tidak ada senyuman yang terlihat dari bibir kami karena perasaan yang bercampur aduk antara penasaran dan khawatir atas apa yang akan kami temukan dibawah sana.

Sepatu bot yang saya gunakan terlalu besar dan sedikit menyusahkan saat menuruni tangga yang terjal. Dengan hati-hati dan perlahan, setapak demi setapak kami menuruninya. Sampai ke lantai dasar yang memang tergenang air semata kaki, kekhawatiran atas ruangan yang pengap dan panas tidak menjadi kenyataan. Ruangan bawah tanah dingin dan masih terdapat udara yang cukup segar.

Saya tidak tahan untuk tidak menanyakan kenapa ada air di ruangan bawah tanah ini. Sang Guide menjelaskan bahwa air yang berada di ruangan bawah tanah sebenarnya digunakan saat jaman penjajahan Belanda sebagai pendingin ruangan, semacam AC alam. Air tersebut akan memberikan udara yang lebih dingin ke udara di bangunan atas. Wow, teknologi alam yang menarik dan ramah lingkungan bukan?.

Lanjut menuju ruangan yang berair namun remang-remang karena masih terdapat beberapa lampu tempel di dinding yang baru di pasang dua tahun yang lalu. Sang guide juga menanyakan apakah kami akan menempuh jalur ekstrem atau biasa? Kami memilih jalur biasa. Bedanya dengan Jalur ekstrem adalah: harus melalui perjalanan dengan masuki pintu-pintu kotak yang hanya sebesar jendela sehingga akan banyak kegiatan membungkuk dan nyangkut bagi pengunjung yang bertubuh “Large”. Dengan menggunakan jalur normal kami melewati ruangan “Penjara Jongkok” dimana pada ruangan terdiri dari kotak-kotak berdinding dengan ukuran sepinggang dimana setiap kotak yang hanya berukuran 1x3m tersebut di isi oleh tahanan sampai dengan lima orang. Mereka harus jongkok atau duduk dengan kondisi air tergenang semata kaki. Terkadang air juga naik karena di samping bangunan ada sungai yang airnya mengalir kedalam jika meluap. Miris hati ini mendengar hal itu (segera mengirimkan doa untuk para pejuang yang gugur di sana). Penjara berikutnya adalah “Penjara Berdiri” dimana hanya terdiri dari sekat-sekat sempit yang hanya muat dua orang dari kami dan saat dahulu diisi sampai dengan empat orang tahanan. Saya sempat bertanya mengapa cara eksekusi tahanan sedemikian tidak praktis dan tidak manusiawi? sang guide berkata: ”Karena harga sebuah peluru jauh lebih mahal dibandingkan dengan nyawa seorang pejuang”, terdiam saya mendengarnya. Kami meneruskan ke lorong berikutnya dimana genangan air menjadi lebih dalam. Sang guide menunjukkan tempat yang dahulu digunakan sebagai pembuangan mayat ke sungai samping bangunan. Ditambahkan informasi mengenai adanya penampakan di pintu lorong tempat kami berdiri saat shooting acara salah satu reality show edisi Lawang Sewu di sebuah TV Lokal. (terimakasih informasi tambahannya yang penting itu ya mas...). Kami kembali menyusuri lorong tadi untuk kembali naik ke atas.

Di lantai dasar kami menyempatkan diri untuk photo-photo sebagai tanda kelulusan kami dalam menjalani wisata uji nyali kali ini. Tidak lupa kami mampir terlebih dahulu di rest room nya yang sangat mirip dengan rest room di film Harry Porter. Kami kembali berphoto-photo di depan bangunan dan mengucapkan terimakasih serta selamat tinggal ke sang guide kami yang lucu dan informatif.

Pada hasil photo-photo kami pun banyak terlihat bulatan-bulatan putih kecil, yang banyak dianggap sebagai “penampakan” hantu bagi masyarakat pada umumnya. Namun jika dilihat dari sisi ilmiah hal tersebut dikatakan sebagai “Orbs” yaitu partikel debu, uap dan tetesan air yang tidak sengaja tertangkap kamera apalagi jika menggunakan lampu Flash.

Kami kembali ke hotel untuk mandi dan keluar kembali untuk sekedar mencari makanan ringan di simpang lima, pisang dan roti bakar sambil berbincang-bincang sampai dini hari. Disitulah saya baru mengetahui bahwa ternyata kedua teman saya sama sekali tidak mencium wewangian yang saya cium saat di gedung utama lawang sewu tadi. Tampaknya hanya saya sendiri yang mencium harum tersebut. Artinya apa ya?. Sekembali kami ke kamar hotel saya masih dapat merasakan wangi tersebut (oh tidak, apakah?...), namun saya memilih untuk mendoakan semua pejuang-pejuang kita yang gugur di gedung itu saja dan menarik selimut untuk bergegas tidur. Dengan segala pengetahuan sejarah tambahan yang terdapat pada wisata malam kali ini, pengalaman ini tentu saja tidak akan terlupakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun