Mohon tunggu...
Febrina
Febrina Mohon Tunggu... -

I do not try to be better than anyone else I only try to be BETTER THAN MYSELF

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

21 And Still Counting

20 Desember 2016   15:53 Diperbarui: 22 Desember 2016   09:17 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"21... 21... 21... 21... 21..." 

Honma, gadis berusia enam belas tahun yang masih duduk di bangku SMA terus berhitung di angka yang sama. Kedua matanya menatap lurus ke depan tanpa berkedip, seolah ada tontonan menarik di depan sana. 

"21... 21... 21... 21..." 

Sudut bibirnya perlahan tertarik ke atas, membentuk senyum tipis yang nyaris tak terlihat. Lidahnya tak pernah kelu mengucapkan angka yang sama. Beberapa orang yang melintas hanya bergidik ngeri saat tak sengaja bertatapan dengan gadis yang masih mengenakan seragam sekolahnya itu. Penampilannya yang lusuh membuatnya terlihat seperti seorang pasien rumah sakit jiwa yang baru saja kabur. 

Angin yang berhembus kencang menerpa wajahnya, membuat helaian surai berwarna cokelat miliknya berantakan. Anehnya, senyuman Honma justru semakin melebar, menampilkan deretan gigi putihnya. 

"Permisi nona, apa anda tidak kedinginan?" Tanya salah satu penjaga stasiun yang sedari tadi memperhatikannya. 

"21... 21... 21... 21... 21... 21... 21..." 

Tidak ada jawaban, Honma terus saja berhitung. Penjaga stasiun tersebut hanya bisa menghela napas kasar, selama ia bertugas belum pernah ada orang yang kuat duduk selama berjam-jam tanpa menggunakan mantel ataupun baju hangat di tengah musim dingin. 

"21... 21... 21... 21... 21... 21... 21..."

"Apa kau sedang menunggu seseorang?" Tanyanya sekali lagi. 

 Hitungannya terhenti, detik berikutnya ia menunjuk seorang gadis berkaus hitam yang baru saja sampai di stasiun. Gadis itu melompat ke rel kereta, membuat orang-orang di sekitarnya berteriak histeris. Pandangannya yang kosong seolah mengakatakan bahwa tidak ada satu orang pun yang bisa menolongnya keluar dari rasa putus asa. 

Suara klakson kereta api yang memekakkan telinga terus berbunyi, meminta sang gadis untuk menyingkir. Satu detik, dua detik, tiga detik, dan akhirnya...

BRAK.

Tubuh gadis itu hancur lebur karena terlindas kereta. Baju beberapa pengunjung dipenuhi oleh bercak merah yang berasal dari darah gadis tersebut. Dia tewas. 

Honma menyembunyikan tangannya di balik tas sekolahnya, lalu kembali berhitung. Ekspresinya kembali datar, seolah tak ada yang terjadi. 

"22... 22... 22..."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun