"21... 21... 21... 21... 21..."Â
Honma, gadis berusia enam belas tahun yang masih duduk di bangku SMA terus berhitung di angka yang sama. Kedua matanya menatap lurus ke depan tanpa berkedip, seolah ada tontonan menarik di depan sana.Â
"21... 21... 21... 21..."Â
Sudut bibirnya perlahan tertarik ke atas, membentuk senyum tipis yang nyaris tak terlihat. Lidahnya tak pernah kelu mengucapkan angka yang sama. Beberapa orang yang melintas hanya bergidik ngeri saat tak sengaja bertatapan dengan gadis yang masih mengenakan seragam sekolahnya itu. Penampilannya yang lusuh membuatnya terlihat seperti seorang pasien rumah sakit jiwa yang baru saja kabur.Â
Angin yang berhembus kencang menerpa wajahnya, membuat helaian surai berwarna cokelat miliknya berantakan. Anehnya, senyuman Honma justru semakin melebar, menampilkan deretan gigi putihnya.Â
"Permisi nona, apa anda tidak kedinginan?" Tanya salah satu penjaga stasiun yang sedari tadi memperhatikannya.Â
"21... 21... 21... 21... 21... 21... 21..."Â
Tidak ada jawaban, Honma terus saja berhitung. Penjaga stasiun tersebut hanya bisa menghela napas kasar, selama ia bertugas belum pernah ada orang yang kuat duduk selama berjam-jam tanpa menggunakan mantel ataupun baju hangat di tengah musim dingin.Â
"21... 21... 21... 21... 21... 21... 21..."
"Apa kau sedang menunggu seseorang?" Tanyanya sekali lagi.Â
 Hitungannya terhenti, detik berikutnya ia menunjuk seorang gadis berkaus hitam yang baru saja sampai di stasiun. Gadis itu melompat ke rel kereta, membuat orang-orang di sekitarnya berteriak histeris. Pandangannya yang kosong seolah mengakatakan bahwa tidak ada satu orang pun yang bisa menolongnya keluar dari rasa putus asa.Â
Suara klakson kereta api yang memekakkan telinga terus berbunyi, meminta sang gadis untuk menyingkir. Satu detik, dua detik, tiga detik, dan akhirnya...
BRAK.
Tubuh gadis itu hancur lebur karena terlindas kereta. Baju beberapa pengunjung dipenuhi oleh bercak merah yang berasal dari darah gadis tersebut. Dia tewas.Â
Honma menyembunyikan tangannya di balik tas sekolahnya, lalu kembali berhitung. Ekspresinya kembali datar, seolah tak ada yang terjadi.Â
"22... 22... 22..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H