Pangsa pasar TI merupakan pangsa pasar yang sarat perubahan. Khususnya perubahan dari sisi teknologi yang luar biasa berkembang dan dari sisi user. Industri TI dikenal dengan turnover SDM yang paling cepat, dan hal ini menjadikan Microsoft Indonesia merekrut orang yang sama sekali berbeda dari biasanya, yakni Sutanto Hartono.
Sutanto Hartono, pernah terpilih sebagai Best CEO versi SWA dengan pengalaman bisnis di bidang entertainment (CEO Sony Music Indonesia) dan Multimedia (CEO RCTI), sebenarnya dunia TI cukup jauh darinya, namun pemegang saham Microsot punya pendapat lain demi meningkatkan strategi bisnis upscaling (menaikkan omset level). Mereka 'nekat' untuk menarik orang dari luar industri TI untuk mengembangkan usaha bisnis mereka saat ini. Apa yang dilakukan Sutanto dalam menghadapi hal yang sama sekali baru baginya?
Pemegang saham melihat lelaki berkacamata ini cocok untuk menjalankan strategi upscaling itu, karena sebelumnya walau datang dari industri berbeda, ia pernah memimpin bisnis dengan skala yang lebih besar. Sebagai CEO RCTI misalnya, ia memimpin stasiun televisi ini menjadi market leader di bisnis yang kompleks.
Dia juga sukses melakukan change management karena waktu itu RCTI sempat dipepet Indosiar yang sedang meroket karena kuatnya pamor Akademi Fantasi Indosiar. Plus menguatnya kuda hitam Trans TV dan SCTV yang juga inovatif. Microsoft pun tertarik karena Sutanto mampu men-set up bisnis Sony Music di Indonesia dari nol yang kemudian sukses memberi warna baru di industri musik. Hal itulah yang menjadi pertimbangan sehingga dia dinilai cocok membawa jagoan peranti lunak ini dalam skala bisnis yang lebih kompleks.
Sutanto sendiri melihat tantangan yang dihadapinya sebagai CEO MI memang tak mudah. Dia harus mendalami dunia yang menuntut pemahaman product knowledge yang canggih. Banyak produk teknikal seperti ERP, virtualisasi, dan lain-lain yang tak bisa dipelajari hanya dengan common sense. Belum lagi portofolio bisnis Microsoft juga sangat lengkap. Dari aplikasi enterprise solution yang paling canggih, hingga aplikasi sederhana yang sehari-hari dipakai seperti Windows, Explorer, dan lainnya. Dari sisi organisasi pun cukup kompleks karena punya organisasi matriks, selain kebakuan prosedur.
Langkah pertama yang ia lakukan adalah mengisi dan mencari SDM yang dibutuhkan. Dalam mengambil orang baru, dia mencari orang yang bisa mengelola size bisnis yang lebih besar, dia banyak melakukan komunikasi untuk menjelaskan arah perubahan. Tiap bulan sekali Sutanto mengumpulkan semua karyawan guna sharing perkembangan perusahaan, misalnya bagaimana angka-angka pencapaian perusahaan, sekaligus menampung saran yang masuk. Pada forum itu semua staf yang jumlahnya 150 orang ikut masuk di ruangan rapat. Ini juga ditambah pertemuan personal. "Saya punya kegemaran mendengarkan unek-unek bawahan." Pada pertemuan itu dia menjelaskan pula agenda perubahan. "Saya komunikasikan bahwa saya punya agenda apa saja dan menjelaskan program perusahaan apa saja."
Yang lebih penting, juga menjelaskan pergantian model bisnis dan arah pengembangan yang mesti dilakukan. Sutanto merinci, masa depan bisnis Microsoft itu ada pada cloud computing (komputasi awan). "Ini bukan hanya teknologinya yang baru, tapi juga akan membawa perubahan model bisnis Microsoft," katanya.
Kalau saat ini model bisnis Microsot lebih banyak menawarkan office license untuk Windows, misalnya, dengan tarif sekian dikalikan jumlah komputer dan bisa dipakai sampai kapan pun, maka model bisnis itu mulai bergeser dan mengarah ke model subskripsi (langganan). "Misalnya tiap PC membayar langganan sekian dolar, nanti kalau ada software update baru, langsung otomatis di-update tanpa bayar lagi. Kalau dulu hanya jualan software sekarang juga jualan infrastruktur, sehingga klien tak perlu lagi punya server. Semua infrastruktur dari kami. Termasuk di dalam paket harga. Analoginya, kalau dulu jualan handset HP, sekarang seperti jualan BlackBerry yang perlu subskripsi," Sutanto menguraikan.
Di bidang pemasaran, dia juga mengajak tim pemasaran berbicara ke pasar dalam bahasa yang lebih ngepop, kecuali menghadapi orang teknis. "Waktu masuk saya bilang ke tim, 'kalian kalau jualan jangan njlimet karena kebanyakan klien itu awam seperti saya'. Makanya saya mengajak mereka untuk bicara benefit dan fitur ke pelanggan ketimbang bicara spesifikasi produknya. Jadi justru kurang teknikal."
Bagaimana hasilnya dalam setahun ini? "Saat ini arahnya sudah menuju ke posisi yang diinginkan, sudah jelas positif. Walau dari sisi pencapaian belum mencapai titik ideal," ujarnya mengklaim. Sutanto yakin bisnis MI mampu tumbuh dua digit dalam beberapa tahun ke depan. "Kami diharapkan tumbuh high growth dan diharapkan dobel dalam beberapa tahun. Nggak sampai empat tahun," Sutanto menerangkan tanpa menyebut angka pastinya. Selama ini di Indonesia, Microsoft sudah punya empat segmen bisnis yang kontribusinya merata: enterprise, small medium business, sektor publik dan edukasi, serta OEM (manufaktur). "Ke depan MI akan meningkatkan fokusnya dalam menggarap segmen produk level berikutnya, seperti platform dan produk kolaborasi seperti produk Lync yang belum lama diluncurkan atau produk aplikasi sekelas business intelligence."
Sudimin Mina, Manajer Bisnis MI punya penilaian atas Sutanto. "Beliau datang dari industri yang berbeda, dari end user sehingga tahu suka-dukanya pelanggan. Kami banyak belajar dari beliau. Misalnya masalah pembajakan. Beliau banyak strategi di konsumer dan ritel. Apalagi nantinya teknologi yang akan diluncurkan Microsoft banyak mengarah ke ritel," tuturnya. "Pak Sutanto memiliki high standar untuk performa, ingin segala sesuatunya lebih baik dan cepat."
Budi W. Soetjipto, Direktur Sekolah Bisnis IPMI, melihat cara yang dilakukan Microsoft dengan merekrut orang luar industri sebagai CEO untuk menjalankan strategi upscaling sangat tepat. "Kalau dari orang dalam, nanti cuma muter-muter di skala bisnis itu saja," ucapnya. Toh dia juga melihat bukan tak mungkin ini ada kaitannya dengan pasar ceruk (niche market) di mana Microsoft akan masuk. "Mungkin saja Microsoft mau masuk di konsumer atau ritel seperti Apple dengan iPhone dan iPad yang sukses itu. Jadi mereka butuh orang yang mengerti multimedia dan ritel. Karena itu mereka nggak merekrut CEO dari perbankan, misalnya. Mereka akan masuk di wilayah yang unknown sehingga butuh orang luar," ujarnya menganalisis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H