Hampir seluruh pandangan dan pemikirannya di dapat dari luar didikan kedua orang tuanya. Pemuda yang penuh ambisi, rangakain rencana tapi sedikit aksi. Pemuda yang memiliki kulit berwana coklat berpostur kurus dan kerap dipadang sebelah mata. Semua hal yang ia lalui, ia biarkan mengalir begitu saja.Â
Ya memang sekali-kali ia menunjukan hadirnya ketika persoalan yang menyangkut prinsip dalam hidupnya. Bukan pengakuan yang ia inginkan dan juga bukan imbalan yang ia harapkan. Kebebasan dalam menyampaikan di iringi kata maaf jika teralalu jujur.
Baginya  ada beberapa hal yang sangat sulit ia mengerti.  Dipaksa untuk menerima pandangan yang datang kemudian dipaksa untuk nurut terhadap hal itu. Lalu bergejolak dalam diam pada dirinya, rasa ingin menyampaikan tapi tidak sempat menyampaikan karena posisinya dianggap sebelah mata. Ia, sempat merasa ingin merubah dirinya, personalnya, dan caranya menerima pandangan dari luar kepalanya.Â
Tapi ia sadar, ada hal yang mutlak dan sudah mendarah daging bagi dirinya yang sulit ia rubah. Mungkin bisa di samarkan tapi ia rasa tidak bisa dihilangkan darinya. Â Sebagaian kecil dari besarnya sesuatu hal mengenai dunia yang bersifat fana ini mungkin sudah ia ketahui secara dangkal, hatinya berbicara kepada pemikirannya "ingin rasanya tau secara mendalam tapi waktu mungkin jadi pembatasnya, karena waktu adalah hal yang tidak ia ketahui kapan akan berhenti".
Dirinya hadir dikarnakan kehendak, dirinya tumbuh karena dukungan, dirinya melangkah karena dirinya sendiri. Baginya fase peberontakan dalam dirinya memang sudah waktunya untuk terjadi. Tujuan mungkin bisa tercapai tapi perubahan bisa menjadi pengahalang baginya. Yang terpenting baginya lawan jika bisa melawan, terima jika sekiranya patut untuk diterima, percaya dirinya bisa berbuat lebih dan ingat siapa dirinya itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H