Mohon tunggu...
Febriana Intan
Febriana Intan Mohon Tunggu... Konsultan - SEO dan Content Writing Enthusiast

SEO and Digital Specialist | Open for Work Opportunity | email me at febrianaintan94@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ramai Curhatan Milenial Soal "Toxic Parents", Siapakah Mereka?

15 Desember 2020   19:26 Diperbarui: 15 Desember 2020   20:17 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potrait Ayah dan Anak / dokpri

Toxic Parents ramai diperbicangkan oleh kaum milenial di platform sosial media pribadi mereka. Hal itu menjadi viral setelah mendapatkan perhatian dari banyak remaja lain yang ikut nimbrung, berkomentar, dan memberikan support satu sama lain. 

Apa sebenarnya dimaksud dengan Tocix Parents dan siapa mereka sebenarnya? Berikut adalah karakteristik mereka dan mengapa hal ini termasuk tipe parenting yang tidak baik khususnya diantara remaja milenial.

Barbara Greenberg, PhD, seorang psikolog klinis yang menyoroti isu kesehatan mental bagi remaja dan anak, menjelaskan bahwasanya toxic parents cenderung tidak mendengarkan anak-anak mereka melainkan sebaliknya lebih sering membahas tentang anak-anaknya. Menurutnya, para orang tua perlu lebih sering mendengarkan dan mendenyimak apa yang diutarakan anak. 

Komunikasi yang berkualitas adalah kunci dari parenting yang baik. Pendapat lain mengemukakan bahwa toxic parents akan menimbulkan dampak negatif terhadap psikis si anak dengan adanya rasa takut, rasa kurang pecaya diri, dan rasa bersalah yang menyiksa. 

Lantas hal apa saja yang kerap dilakukan para orang tua yang bisa menyebabkan mereka mendapat label toxic parents? Berikut kami ringkas dalam beberapa poin.

1. Kekerasan Emosional

Kekerasan yang dialami oleh anak tidak hanya dalam bentuk fisik, justruh kekerasan emosional dipandang lebih berbahaya karena menyerang mental atau psikis mereka. Tindakan seperti membentak, mengancam, mempermalukan, bahkan berucap kata-kata kasar acapkali membawa dampak negatif yang besar. Orang tua yang jarang memeberikan sentuhan kasih sayang seperti mencium dan memeluk anak juga termasuk contoh dari kekerasan emosional.

2. Kurang Mendengarkan Terlalu Banyak Menuntut

Kebiasaan orang tua yang cenderung mendikte anak bisa berakibat sangat buruk. Kebiasaan tersebut bisa menyebabkan anak memiliki emosi yang sulit dikontrol. Anak bisa menjadi frustasi dengan semua tuntutan atau tugas dari orang tua sehingga ini akan berujung pada masalah kesehatan. 

Kecenderungan para orang tua dalam bersikeras mengarahkan anaknya menjadi terlalu penurut justruh membuat si anak kurang memiliki waktu untuk mengembangkan bakat dan potensinya sendiri. 

Ketimbang menuntut anak untuk memenuhi setiap permintaan, sebaiknya orang tua mulai mendengarkan apa yang diinginkan anak dan memberikan mereka waktu untuk mencurahkan isi hatinya. Dengan mendengarkan anak, maka rasa aman, rasa di pahami, dan rasa dilindungi akan timbul dari dalam diri mereka.

3. Membandingkan Anak Dengan Orang Lain

Orang tua yang kerap membandingkan anak satu dengan lainnya tidak menyadari akan dampak negatif yang bisa mempengaruhi perkembangan mental. Setiap anak tentunya tidak suka dibanding-bandingkan, terlebih dengan anak sebaya. 

Maka dari itu, ahli psikolog anak menyarankan para orangtua untuk melihat dan menyadari keunikan masing-masing. Jangan pernah memakai standar patokan orang lain kepada anak kita sendiri. Orang tua harus mampu melihat kapasitas setiap anak yang berbeda-beda. Anak yang mendapat nilai kurang baik pada satu mata pelajaran, bukan berarti dia bodoh. Sangat mungkin anak tersebut lebih unggul dibidang lain seperti sport, art, atau hobi lain.

4. Melabeli Anak Negatif

Di saat kondisi marah atau emosi, tidak disadari kita melontarkan kata-kata yang kurang baik untuk didengar. Parahnya, saat anak melakukan kesalahan kecil kita acapkali melabeli mereka dengan kata 'bodoh', 'malas', 'teledor', 'cengeng' dan yang lainnya. Menurut para ahli, kebiasaan melabeli anak secara negatif ini justruh membuat anak merasa tidak berharga di tengah keluarga. 

Apabila sering dilakukan hal tersebut bisa saja mengganggu kesehatan psikologis si anak, seperti hilangnya rasa percaya diri, dianggap beban keluarga, atau lainnya. Orang tua harus menghindari kebiasaan seperti ini dan sebaiknya lebih bersabar dalam menghadapi situasi diatas. Jangan mudah terbakar emosi yang bisa berakibat fatal.

Masih banyak hal yang umumnya dilakukan para orang tua yang bisa membawa dampak negatif bagi perkembangan mental anak mereka. Sebutan toxic parents ini semakin banyak digaungkan terlebih oleh para milenial masa kini. Pola asuh di jaman sekarang tentunya jauh berbeda dengan pola asuh anak di jaman para orang tua terdahulu. 

Mempelajari pola asuh yang baik dan sehat juga menjadi sebuah kewajiban bagi para calon orang tua sebelum nantinya memiliki anak di tengah keluarga. Dengan pola asuh yang tepat, anak tidak hanya berkembang dengan baik namun lebih penting dari itu rasa aman, nyaman, rasa dicintai, dan percaya diri anak akan timbul dengan sendirinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun