Mohon tunggu...
Febrian Kusnadi
Febrian Kusnadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Psychology Student

Hi, there!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Nilai Budaya Baduy Dalam Pikukuh: Lojor Henteu Benang Dipotong, Pendek Henteu Benang Disambung dalam Menjaga Kelestarian Alam

10 Januari 2024   15:12 Diperbarui: 10 Januari 2024   17:21 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Contohnya, aturan buyut yang melarang pengolahan tanah pertanian menjadi sawah dan penanaman pohon kopi serta cengkeh hanya berlaku bagi masyarakat Baduy Dalam, sementara masyarakat Baduy Luar, penamping, dan dangka diizinkan melakukan penanaman tersebut. Implementasi buyut ini diperkuat dengan ritual penyapuan, pembersihan, atau sanksi. Ritual penyapuan bertujuan untuk membersihkan sumber kotoran dari pelanggar dan lingkungannya. Terdapat dua sanksi yang harus dihadapi, yaitu pertama, isolasi dari lingkungan sehari-hari, dan kedua, penurunan status kewarganegaraan. Selain itu, terdapat sanksi lain yang lebih berat, sebagai berikut: [sebutkan sanksi yang lebih berat, atau tambahkan informasi jika ada] (jika informasi lebih lanjut diperlukan). 

Pelestarian lingkungan menjadi fokus utama Suku Baduy, yang tercermin dalam ketentuan pembagian wilayah menjadi zona reuma (tempat tinggal), zona heuma (area pertanian), dan zona leuweung kolot (hutan tua). Konservasi dilakukan melalui metode pertanian tradisional dan teknologi lokal, seperti penanaman tugal atau bambu yang diruncingkan, tanpa merubah topografi ladang. Pembangunan rumah dilakukan tanpa meratakan tanah, sehingga panjang rumah dapat bervariasi. Pada zona reuma Mereka mendirikan rumah di zona ini secara berkelompok dan ada beberapa kelompok-kelompok pemukiman di Kanekes. Bentuk rumah masyarakat Baduy berbentuk panggung sederhana dan tradisional.

 Material yang digunakan didapat dari alam disekitar mereka, seperti kayu untuk tiang, bambu untuk dinding dan daun kelapa untuk atapnya. Di daerah pinggir kelompok rumah terdapat lumbung padi untuk menyimpan persediaan beras mereka dan dihindarkan dari hama. Zona kedua atau zona heuma terletak di atas hutan kampung, dan area ini dimanfaatkan sebagai lahan pertanian intensif, termasuk ladang kebun dan kebun campuran. Metode berladang yang diterapkan oleh masyarakat masih bersifat tradisional, yakni dengan membuka hutan-hutan untuk dijadikan lahan pertanian dan kebun. Hutan yang dibuka untuk ladang umumnya merupakan jenis hutan sekunder atau hutan produksi. 

Lahan berladang tersebut digunakan selama satu tahun, dan setelah itu dibiarkan untuk mengalami regenerasi menjadi hutan kembali, dengan waktu minimal 3 tahun sebelum digunakan kembali. Lalu pada Zona ketiga atau zona leuweung merupakan daerah di puncak bukit. Wilayah ini merupakan daerah konservasi yang tidak boleh dibuat untuk ladang, hanya dapat dimanfaatkan untuk diambil kayunya secara terbatas. Masyarakat Baduy menyebut kawasan ini sebagai "leuweung kolot" atau "leuweung titipan" yang artinya hutan tua atau hutan titipan yang harus dijaga kelestariannya. Mereka sangat patuh terhadap larangan untuk tidak masuk ke wilayah hutan tua tanpa seizin petinggi adat. 

Keberhasilan Suku Baduy dalam menjaga lingkungannya terlihar dari sekitar 30 spesies burung, 13 spesies mamalia, 19 spesies ikan, dan 8 spesies reptil yang mendiami lingkungan tersebut. Dari beragam fauna yang ada, 40% di antaranya termasuk hewan liar yang mendapatkan perlindungan hukum di Indonesia. Selain keberagaman fauna yang hidup di daerah Baduy, kenaekaragaman flora juga tampak jelas terliha bahwa setidaknya terdapat lebih dari 200 jenis tanaman yang tumbuh di sana. Tanaman-tanaman di perkampungan Baduy, sebagian besar, merupakan tanaman yang dilindungi karena keberadaannya semakin langka. 

Masyarakat Baduy memiliki 80 jenis padi lokal yang mereka lestarikan dan budidayakan dengan cara disimpan di dalam lumbung mereka. Jenis-jenis padi tersebut sudah jarang ditemukan di luar Baduy, karena proses seleksi oleh masyarakat modern yang lebih memilih jenis padi dengan nilai ekonomi tinggi.Dalam masyarakat Baduy, ada beberapa jenis padi yang disebut berdasarkan warnanya, seperti pare beureum, pare bodas, dan pare hideung. Mereka juga mengenali setidaknya 21 jenis pisang (musa paradisica), masing-masing diberi nama seperti pisang gembor, panggalek, gejloh, raja budug, kapas, dan kluthuk. Di huma panamping, terdapat 73 jenis tanaman, sedangkan di huma tangtu ada 53 jenis tanaman, termasuk golongan buah, sayuran, kayu bakar, bahan bangunan, obat-obatan, serta sumber pangan karbohidrat. 

Sebagai masyarakat yang hidup dalam keseimbangan dengan alam, Suku Baduy menunjukkan kepada dunia bahwa pelestarian lingkungan dapat dicapai dengan menggabungkan kebijaksanaan lokal, nilai-nilai adat, dan tindakan konkret dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam era globalisasi dan perubahan iklim, pendekatan berkelanjutan ala Suku Baduy menjadi inspiratif dan relevan. 

Resource 

Nababan, 1995. "Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan di Indonesia". Jurnal Analisis CSIS: Kebudayaan, Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan. Tahun XXIV No. 6 Tahun 1995. 

Suparmini, S., Setyawati, S., & Sumunar, D. R. S. (2013). Pelestarian lingkungan masyarakat Baduy Humaniora, 18(1). berbasis kearifan lokal. Jurnal Penelitian Humaniora, 18(1)

Wahid, M. (2011). Sunda Wiwitan Baduy: Agama Penjaga Alam Lindung di Desa Kanekes Banten. el Harakah: Jurnal Budaya Islam, 13(2), 150-168. DOI: https://doi.org/10.18860/el.v0i0.1888 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun