Mohon tunggu...
Febrian Alsah
Febrian Alsah Mohon Tunggu... -

seorang mahasiswa marketing manajemen tingkat akhir yang sedang belajar menulis biar skripsinya terbantu.\r\nsee my blog: pejalanbodoh.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Purnama di Pantai Selatan Jawa (Part I)

2 April 2010   18:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:02 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sekretariat B.O pers Suara mahasiswa UI, kamis malam, 250210 malam itu terasa beda bagi 3 bocah; rian (saya), ikha dan febry. tak bisa di sangkal, kami ingin segera mengakhiri malam itu dan berharap mentari jumat segera menyapa. segala perlengkapan untuk perjalanan ke ujung genting telah di persiapkan dengan matang, jadi tidak ada alasan untuk berlama-lama menikmati malam ini. bayangan esok memang terlalu menggoda. kita yang biasanya mau "ngetem" lama di sekret walaupun krida telah usai tidak melakukan hal itu kali ini. kami bertiga langsung balik arah dan pulang saat bung toge mengucapkan " sekianlah krida kita hari ini dan terima kasih semuanya" terminal depok, 07.20, 260210 mengambil tempat duduk di terminal tunggu, saya dan ikha berusaha mencari obrolan lain untuk membunuh waktu menunggu kedatangan si febry fawzi. sudah hampir 20 menit dari jadwal yang disepakati, tapi orang ini belum juga muncul. pada akhirnya kita sibuk menebak, si febry ketinggalan barang apa sehingga dia terlambat. saya menebak payung, sedangkan ikha menerka, maaf, pakaian dalam. hehe terminal baranangsiang, 08.30 para kenek berusaha menarik-narik kami dalam menawarkan jasa angkutannya. setelah menaiki kereta dan di sambung angkot, memang kami harus menaiki angkutan minibus dari bogor menuju sukabumi dari terminal ini. di tengah kebingunganpun, kita mencoba melakukan trik bertanya dengan cara membeli gorengan. tapi sialnya, gorengan terbeli, jawabannya sangat tidak memuaskan. yah tak apalah, kebetulan perut kami juga lagi lapar-laparnya. surade, 15.55 setelah melewati pegunungan dengan jalan yang berliku-liku selama 3,5 jam dari suka bumi, kita akhirnya dapat mencapai surade. jalannya memang tidak se 'extreme' kelok 44 di danau maninjau, sumbar, tapi dengan lama perjalanan 3,5 jam ditambah ke'wajar'an sopir-sopir disini untuk memacu gasnya sampai angka 40 km perjam di belokan patah, kami serasa menaiki kincir kincir dufan selama 1 jam. itu juga yang kemudian membuat surade tampak begitu indah dan bersahabat. padahal daerah ini hanyalah kota kecil tanpa objek wisata yang menarik. selanjutnya kami pun kembali bingung. dan bapak minibus menyadari itu. bapak yang tampaknya iba pada kami yang tidak tahu mesti naik apa lagi dari surade itu dengan berbaik hati mau mengantarkan ke wisma kami di ujung genteng. dengan jalanan yang relatif mulus dan jarang berbelok, kami dapat sedikit beristirahat di angkutan ini. apalagi dengan pemandangan dikiri kanan jalan yang di penuhi perkebunan kelapa, ladang, kerbau yang mondar mandir disisi jalan, serta laut yang membentang jelas disisi kiri jalan. terlihat juga seorang pengambil nira sibuk memanjat pohon kelapa. memang daerah ini juga terkenal dengan industri rumahtangga gula merahnya. beragam panorama ini membuat kami semakin tak sabar untuk sampai ke tujuan utama, pantai pangumbahan.

balai wisma, ujung genteng, 19.45 setelah meletakkan barang di wisma, 3 orang bocah bersemangat(termasuk saya) ini langsung menikmati senja di ujung genteng dengan ber wara-wiri di sepanjang jalan sambil berfoto. sempat terpikir mau ke pantai, tapi niat itu diurungkan dan kembali ke wisma karena magrib datang menjelang. takut anjing dan ular sih lebih tepatnya, hehe. kemudian kami pun melepas penat setelah perjalanan 9,5 jam di balai (saya menyebutnya saung, tapi 2 orang teman saya menyebutnya sebagai balai, ya sudah lah, saya kalah suara) depan wisma. serambi menunggu pesanan , kami pun asik membicarakan perjalanan besok serta kenangan masa muda. 3 mie rebus telor dan satu piring nasi putih pun kemudian datang untuk menemani obrolan tidak jelas itu. oh ya, ratusan bintang menerangi malam kami saat itu. satu hal yang jarang sekali didapat di jakarta dan kota besar lainnya. mungkin benar kata doraemon, banyaknya gedung dan cahaya membuat sinar gemintang menjadi redup hingga malu menampakkan dirinya.
pantai ujung genteng, 7.00, 270210 bah, dasar bocah-bocak tidak berperasaan. saya yang kurang enak badan dari semalaman tetap dipaksa untuk ke pantai pagi itu. apalagi si febry, tidak cukup apa dia menghabiskan coklat saya hingga tak bersisa? huh. dengan enggan, sayapun melangkah ke luar kamar dan mulai bersiap. sepanjang perjalanan menuju pantai, kami dihadapkan pemandangan yang alami khas perdesaan. jalanan hanyalah setapak yang di sisi-sisinya terhampar semak belukar dan beberapa rumah warga. tak lama kemudian, suara deru ombak berkejar-kejaran mulai terdengar. kamipun berlarian menuju pantai bak anak kecil bertemu air. yah, setelah sampai di pantai ternyata kami tidak mendapati kenyataan sesuai dengan pengharapan. pantai ujung genteng terbilang biasa. tidak ada kemewahan berarti yang di tawarkannya. selain pantai yang bersih, tidak ada lagi kelebihannya. dengan menyimpan sedikit rasa kecewa kami pun berjalan menyusuri pantai. siapa tahu kami bisa menemukan sisi pantai yang berbeda di ujung sana. (bersambung) ----------------------------------- *catatan kaki berikutnya: menikmati ikan bakar dan berfoto ria di curug serta beristirahat di villa yang menghadap muara lebih dari cukup untuk sebuah jalan jalan. awesome *photo by febry fawzi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun