sekretariat B.O pers Suara mahasiswa UI, kamis malam, 250210 malam itu terasa beda bagi 3 bocah; rian (saya), ikha dan febry. tak bisa di sangkal, kami ingin segera mengakhiri malam itu dan berharap mentari jumat segera menyapa. segala perlengkapan untuk perjalanan ke ujung genting telah di persiapkan dengan matang, jadi tidak ada alasan untuk berlama-lama menikmati malam ini. bayangan esok memang terlalu menggoda. kita yang biasanya mau "ngetem" lama di sekret walaupun krida telah usai tidak melakukan hal itu kali ini. kami bertiga langsung balik arah dan pulang saat bung toge mengucapkan " sekianlah krida kita hari ini dan terima kasih semuanya" terminal depok, 07.20, 260210 mengambil tempat duduk di terminal tunggu, saya dan ikha berusaha mencari obrolan lain untuk membunuh waktu menunggu kedatangan si febry fawzi. sudah hampir 20 menit dari jadwal yang disepakati, tapi orang ini belum juga muncul. pada akhirnya kita sibuk menebak, si febry ketinggalan barang apa sehingga dia terlambat. saya menebak payung, sedangkan ikha menerka, maaf, pakaian dalam. hehe terminal baranangsiang, 08.30 para kenek berusaha menarik-narik kami dalam menawarkan jasa angkutannya. setelah menaiki kereta dan di sambung angkot, memang kami harus menaiki angkutan minibus dari bogor menuju sukabumi dari terminal ini. di tengah kebingunganpun, kita mencoba melakukan trik bertanya dengan cara membeli gorengan. tapi sialnya, gorengan terbeli, jawabannya sangat tidak memuaskan. yah tak apalah, kebetulan perut kami juga lagi lapar-laparnya. surade, 15.55 setelah melewati pegunungan dengan jalan yang berliku-liku selama 3,5 jam dari suka bumi, kita akhirnya dapat mencapai surade. jalannya memang tidak se 'extreme' kelok 44 di danau maninjau, sumbar, tapi dengan lama perjalanan 3,5 jam ditambah ke'wajar'an sopir-sopir disini untuk memacu gasnya sampai angka 40 km perjam di belokan patah, kami serasa menaiki kincir kincir dufan selama 1 jam. itu juga yang kemudian membuat surade tampak begitu indah dan bersahabat. padahal daerah ini hanyalah kota kecil tanpa objek wisata yang menarik. selanjutnya kami pun kembali bingung. dan bapak minibus menyadari itu. bapak yang tampaknya iba pada kami yang tidak tahu mesti naik apa lagi dari surade itu dengan berbaik hati mau mengantarkan ke wisma kami di ujung genteng. dengan jalanan yang relatif mulus dan jarang berbelok, kami dapat sedikit beristirahat di angkutan ini. apalagi dengan pemandangan dikiri kanan jalan yang di penuhi perkebunan kelapa, ladang, kerbau yang mondar mandir disisi jalan, serta laut yang membentang jelas disisi kiri jalan. terlihat juga seorang pengambil nira sibuk memanjat pohon kelapa. memang daerah ini juga terkenal dengan industri rumahtangga gula merahnya. beragam panorama ini membuat kami semakin tak sabar untuk sampai ke tujuan utama, pantai pangumbahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H