Lebih lanjut Saeed mengungkapkan secara lebih jelasnya komponen-komponen pembiayaan akad mudharabah yang dipraktekkan pada perbankan syariah, antara lain;
A. Modal
Tujuan akad mudharabah yaitu  adanya ketersedian modal untuk pelaku bisnis dalam menjalankan aktivitas usahanya. Sinergi antara pemilik modal & skill pelaku bisnis akan membuat keuntungan (profit) yang akan dibagi sesuai dengan kesepekatan nisbah pada awal akad. Kritik Saeed terhadap praktek akad mudharabah pada bank-bank syariah yaitu tidak adanya  kebebasan pelaku bisnis untuk menjalakan usahanya. Pelaku bisnis hanya dituntut menjalankan usahanya sesuai pada isi perjanjian akad mudharabah antara pelaku bisnis dengan pihak bank syariah. Bank syariah juga melakukan supervisi & kontrol terhadap pelaksanaan bisnis yang didanai, salah satu bentuknya yaitu tidak menaruh dana mudharabah secara pribadi pada pelaku bisnis guna memastikan tidak terdapat penyelewengan dana mudharabah. Praktek akad mudharabah tersebut sangat berbeda dengan  akad mudharabah yang berkembang pada ilmu fiqh, yaitu akad yang menaruh kebebasan pada pelaku bisnis pada menjalankan usahanya (Saeed, 2008). Pengawasan & kontrol merupakan bentuk prinsip kehati-hatian dari pihak bank syariah guna menjaga amanah (posisi mudharib) dari pihak nasabah (shohibul maal). Artinya kesiapan pihak bank syariah dalam  melaksanakan prinsip bukan hanya bagi hasil keuntungan namun juga bagi rugi sesuai teori dasar akad mudharabah perlu disangsikan, dikarenakan pihak bank juga dituntut untuk menaruh bagi hasil pada nasabah menjadi shohibul maal. Bisa jadi pihak bank syariah nir siap menanggung kerugian yg dilakukan pelaku bisnis, maka pihak bank syariah berusaha menciptakan alasan bahwa bisnis tadi rugi lantaran kesalahan pelaku bisnis, sebagai akibatnya pelaku bisnis wajib  ikut menanggung kerugian akan modal mudharabah. Hal ini adalah kelemahan akad mudharabah dipraktekkan dalam institusi bank yang berperan ganda (mudharib & shohibul maal).
b. Manajemen
 Menurut fatwa DSN No.07/ DSN-MUI/IV/200 mengenai akad mudharabah disebutkan bahwa mudharib boleh melakukan aneka macam macam bisnis yang sudah disepakati bersama sesuai dengan syariah, & lembaga keuangan syariah tidak ikut dalam manajemen perusahaan atau proyek namun memiliki hak untuk melakukan pelatihan & supervisi. Konsekuensi lain menurut fatwa DSN tadi yaitu pelaku bisnis bertanggung jawab buat menanggung segala kerugian yang ditimbulkan olej kesalahannya sendiri yang telah melanggar ketentuan dari perjanjian akad mudharabah yang telah disepakti sebelumnya. Dalam hal pelatihan & supervisi yang dilakukan oleh pihak bank syariah, pelaku bisnis tak jarang merasa keberatan & kesulitan dalam memenuhinya, misalnya pelaporan keuangan bisnis tiap bulannya. Kesalahannya sendiri yg melanggar ketentuan dari perjanjian akad mudharabah. Saeed menyebutkan manajemen praktek akad mudharabah yang telah berkembang pada ilmu fiqih, pihak mudharib diberikan wewenang yang luas terhadap modal, misalnya diperbolehkan membelanjakan modal tadi setiap waktu & setiap saat (Saeed, 2008). Kesimpulan praktek mudharabah pada perbankan syariah yaitu pelaku bisnis wajib  patuh terhadap kondisi & ketentuan yang telah tercantum dalam kesepakatan akad mudharabah.Â
c. Masa berlakunya kontrak
 Kritik Abdullah Saeed terhadap praktek mudharabah pada perbankan syariah adalah sangat sering akad ini dipakai buat aktivitas bisnis yang bersifat jangka pendek(short term commercial) (Saeed, 2008). Tujuan pihak bank syariah melakukan hal tadi supaya pihak bank syariah gampang menghitung laba menurut bagi hasil menurut masa kontrak akad mudharabah yg sudah ditentukan yang bersifat jangka pendek. Akan Tetapi pada sisi lain bila pelaku bisnis tidak secara maksimal dalam  memakai dana itu selama masa yang telah ditentukan, maka dia wajib  memberikan kompensasi & mengembalikan dana mudharabah pada bank atas segala kerugian yang terjadi & kontrak otomatis dihentikan sang pihak bank (Saeed, 2008)
d. Jaminan
 Jaminan dalam akad mudharabah adalah seuatu hal pembeda antara konsep mudharabah yang dibahas pada buku  fiqh klasik & praktek akad mudharabah pada bank syariah. Konsep mudharabah yang berkembang pada ilmu fiqh bahwa mudharib tidak diperkenankan untuk diwajibkan memberikan agunan (collateral) pada shohibul maal. Hal ini permanen dilakukan sang pihak bank syariah bertujuan supaya mudharib secara konsisten melaksanakan isi perjanjian akad mudharabah yang sudah ditandatangani. Jaminan tadi tidak dimaksudkan buat memastikan kembalinya modal dana yang sudah diberikan pada mudharib. Akan tetapi Saeed dalam melakukan penelitianny menemukan bahwa salah satu isi perjanjian pada faisal Islamic bank of mesir (FIBE) mengungkapkan bahwa "apabila terbukti mudharib tidak memanfaatkan dana atau tidak menjaga barang dagangan sebagaimana mestinya menurut ketentuan persyaratan dari investor, dimana mana mudharib mengalami kerugian, maka agunan yg diberikan dijadikan sebagai ganti atas kerugian yang telah dialaminya. Mudharib diwajibkan untuk membuat laporan perkembangan tiap jangka saat tertentu sesuai dari permintaan pihak bank syariah. Selain itu pihak bank syariah menuntut laporan keuangan & laporan keuntungan rugi buat mengetahui perkembangan bisnis secara financial. Lebih lanjut Saeed menyebutkan beban mudharib saat mengalami kegagalan dalam mencapai sasaran yang telah di tentukan oleh pihak bank syariah, maka pihak bank diperbolehkan mengambil  alih manajemen usahanya tersebut (Saeed, 2008).
e. Prinsip bagi hasil (profit and Loss Sharing)  Secara teknis praktek mudharabah dijelaskan sebagai akad kolaborasi antara 2 pihak dimmana pihak pertama (shohubul maal) menyediakan semua modal sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola. Keuntungan bisnis secara mudharabah dibagi dari kesepakatan atau perjanjian yang telah dituangkan pada kontrak, sedangkan bila terjadi kerugian maka ditanggung sang pemilik modal selama kerugian itu bukan dampak kelalaian si pengelola (Muhamad, 2016). Saeed menilai praktek akad mudharabah pada bank syariah menghilangkan karakter ketidaktentuan output bisnis dengan memakai akad ini dalam aktivitas bisnis yang bersifat jangka pendek (short term commercial). Dengan begitu hasil bisnis sanggup diprediksi oleh pihak bank syariah. Dengan istilah lain bank syariah menciptakan praktek akad mudharabah sangat minim resiko atau bebas resiko. Secara teoritis system bagi hasil, bank syariah bertanggung jawab atas kerugian atas modal bisnis, namun tidak demikian pihak bank syariah tidak dengan begitu saja percaya kerugian yang  telah dialami sang pelaku bisnis.Â
Selanjutnya Saeed menyimpulkan bahwa akad mudharabah yang dipraktekkan oleh bank syariah secara signifikan berbeda menurut akad mudharabah sebagaimana biasanya yang dikembangkan pada aturan islam (Saeed, 2008).
Referensi
Imama, Lely Shofa. 2014. Konsep dan Implementasi Murabahah pada Produk Pembiayaan Bank Syariah, Jurnal Iqtishadia Vol. 1, No. 2, Desember 2014, 222-247
Hadi, A. Chairul. 2011. Problematika Pembiayaan Mudharabah di Perbankan Syariah Indonesia, Jurnal al-Iqtishod Vol. 3, No.2, Juli 2011, 194-209
Sa’diyah, Mahmudatus dan Meuthiya Athiya Arifin. 2013. Mudharabah dalam Fiqh dan Perbankan Syari’ah, Jurnal Equilibrium Vol. 1 No.2, Desember 2013, 302
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H