Nampaknya istilah PMKH masih asing di telinga sebagian besar masyarakat, bahkan pembelajar hukum pemula itu sendiri. Mungkin mereka sudah mengetahui perbuatan-perbuatan terlarang untuk dilakukan kepada hakim, tetapi mereka belum mengetahui bahwa terdapat label istilah bagi hal itu. Ya, label tersebut adalah PMKH, yang merupakan singkatan dari Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim. Ternyata istilah ini terdengar rumit juga jika tidak disingkat. Pengertian PMKH itu sendiri diatur dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia (RI) Nomor 8 Tahun 2013 tentang Advokasi Hakim yang menyatakan bahwa PMKH adalah perbuatan orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang mengganggu proses pengadilan, atau hakim dalam memeriksa, mengadili, memutus perkara, mengancam keamanan hakim di dalam maupun di luar persidangan, menghina hakim dan pengadilan.
Berdasarkan pengertian PMKH, dapat ditarik pemahaman bahwa PMKH digolongkan ke dalam 3 (tiga) dimensi perbuatan, yaitu:
-
mengganggu proses pengadilan atau hakim dalam memeriksa, mengadili, memutus perkara;
mengancam keamanan hakim di dalam maupun di luar persidangan;
menghina hakim dan pengadilan
Masing-masing bentuk PMKH memiliki indikator tersendiri. Misalnya perbuatan mengganggu proses peradilan dapat ditandai dengan adanya perbuatan menghalang-halangi pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Contoh lain berupa mengancam hakim di luar persidangan dapat diidentifikasi dari adanya perbuatan melakukan teror di tempat tinggal hakim.Â
Lantas, mengapa lahir PMKH? Konsep larangan PMKH sejatinya lahir dari filosofi profesi hakim itu sendiri. Hakim merupakan profesi yang sunyi dan menyendiri dengan kondisi lingkungan kerja yang sepi dan tenang. Secara ekstrem, dapat kita katakan bahwa hakim telah menyerahkan hidupnya untuk menjadi negarawan, memilih untuk hidup dalam keheningan, dan melakukan pelayanan masyarakat demi memenuhi rasa keadilan. Betapa tinggi dan istimewanya hakim sampai-sampai produk putusannya diberi irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Hakim merupakan perpanjangan tangan Tuhan di muka bumi. Oleh karena latar belakang itu, hakim harus terjaga dan dijaga dari segala perbuatan yang dapat merendahkan kehormatan dan keluhuran martabatnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa PMKH dilarang? Salah satu akibat dari adanya PMKH adalah terganggunya independensi dan imparsialitas hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Sederhananya begini, ketika hakim mengalami PMKH dengan bentuk perbuatan apapun itu, misal diancam keamanannya di dalam maupun di luar pengadilan, maka tidak menutup kemungkinan hakim akan berkompromi agar produk putusannya dapat menghindarkan dirinya dari PMKH maupun potensi PMKH.Â
Terdapat pandangan bahwa hakim harus membebaskan diri dari segala pengaruh eksternal agar tidak mempengaruhi independensi dan imparsialitas kinerjanya. Sulit dielakkan dari diri hakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tanpa memasukkan pengaruh ekspektasi pemangku kepentingan ke dalamnya. Termasuk juga menghindari dampak PMKH agar tidak mempengaruhi produk putusannya. Hal ini disebabkan karena hakim bukanlah individu yang benar-benar terbebas dari fitrahnya sebagai makhluk sosial sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa hakim akan memasukkan segala faktor X yang ada di sekitarnya ke dalam alam pikirannya dan kemudian tertuang dalam putusan.
Apabila independensi dan imparsialitas hakim terganggu, maka sulit diharapkan hakim akan melahirkan putusan berwibawa. Apakah putusan hakim harus berwibawa? Jelas, putusan hakim harus berwibawa. Sebelum beranjak lebih lanjut, kita perlu mengetahui apa itu putusan berwibawa. Dikutip dari sebuah buku, putusan hakim yang berwibawa adalah putusan yang mendapat apresiasi dari pemangku kepentingan karena dinilai mampu menjawab ekspektasi mereka. Siapa saja pemangku kepentingan itu? Pemangku kepentingan terdiri dari 4 (empat) kelompok, yaitu: kalangan internal peradilan, kalangan ilmuwan dan aktivis yang meminati kajian hukum, para pihak yang terlibat langsung dalam perkara, dan masyarakat luas di luar tiga kelompok tersebut. Apa ekspektasi para pemangku kepentingan? Secara ideal, tentunya ekspektasi mereka adalah tegaknya keadilan.
Keadilan merupakan nilai yang tak terpisahkan dari hukum itu sendiri. Orang yang berbuat baik akan diberi ganjaran, sementara orang yang berbuat buruk akan diberi hukuman. John Rawls berpendapat bahwa keadilan harus diwujudkan dalam masyarakat tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lain. Keputusan hukum diarahkan pada rasa keadilan yang dikehendaki masyarakat agar pelaksanaan hukum lebih menghadirkan ketertiban pada masyarakat itu sendiri.
Apakah putusan hakim harus adil? Tentu saja. Salah satu tujuan hukum adalah keadilan. Hukum tidak punya arti apabila tidak ada keadilan di dalamnya. Ibarat manusia, keadilan adalah roh, sedangkan hukum adalah badan. Tubuh manusia tidak dapat berfungsi tanpa adanya roh. Serupa dengan hukum dan keadilan. Apabila hukum kehilangan keadilan, maka telah mati hukum itu.Â
Ketidakadilan akan mengantarkan pada disfungsi hukum. Tujuan hukum tidak dapat tercapai apabila fungsi hukum mengalami gangguan. Apabila hal itu terjadi, maka masyarakat akan kehilangan kepercayaan kepada hukum. Dampaknya dapat merembet ke perbuatan PMKH yang dilakukan kepada hakim. Segala bentuk PMKH tidak menutup kemungkinan dapat menjadi halangan bagi independensi dan imparsialitas hakim. Masyarakat tidak percaya hukum, timbulnya PMKH, independensi dan imparsialitas hakim tidak terjamin, putusan hakim tidak adil dan tidak berwibawa, begitu terus sehingga menciptakan pola repetitif. Lingkaran setan ini akan terus berulang dan berakibat pada tujuan hukum yang sulit tercapai.
Lingkaran ini tentunya harus diputus. Upaya memutusnya pun harus dilakukan melalui kerja sama dari berbagai pihak secara kolektif. Bagi pihak yang berperkara di pengadilan maupun pihak-pihak lain yang akan terpengaruh dengan putusan perkara itu, hendaknya tidak melakukan PMKH maupun perbuatan-perbuatan lain yang dapat menyebabkan disfungsi hukum. Begitu juga dengan hakim dan lembaga peradilan, keduanya harus dijamin integritasnya sehingga melahirkan rasa percaya di benak masyarakat. Bagi masyarakat mari kita jaga kehormatan dan keluhuran martabat hakim dengan menghormati kode etik mereka dan menjaga integritas tinggi dalam setiap tindakan. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa PMKH dapat diminimalisir bahkan dihindari.
Upaya memutus lingkaran setan ini juga harus didukung oleh pihak-pihak lain, termasuk pemerintah. Dalam hal ini, telah terdapat lembaga yang mengemban tugas advokasi hakim apabila terjadi PMKH, yaitu KY. Apabila terjadi PMKH, maka KY memiliki wewenang untuk memberikan pendampingan bagi hakim yang bersangkutan. Namun, tidak dapat dinafikan bahwa upaya preventif juga perlu ditingkatkan, seperti fasilitas pengamanan hakim di luar pengadilan, gedung peradilan yang representatif, sosialisasi PMKH kepada masyarakat, dan lain sebagainya.
Dapat kita pahami bersama bahwa perlu adanya kolaborasi yang bersinergi dari berbagai pihak. Dengan upaya-upaya tersebut, diharapkan lingkaran setan terputus dan hukum dapat kembali pada hakikatnya, yaitu keadilan. Terlebih lagi, keadilan yang dicapai lebih mengutamakan keadilan substantif dibanding keadilan formil semata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI