Mohon tunggu...
Febriyani
Febriyani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Febriyani adalah mahasiswa jurusan hukum di Universitas Islam Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Lingkaran Setan PMKH dan Disfungsi Hukum

26 Agustus 2024   10:32 Diperbarui: 26 Agustus 2024   10:44 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nampaknya istilah PMKH masih asing di telinga sebagian besar masyarakat, bahkan pembelajar hukum pemula itu sendiri. Mungkin mereka sudah mengetahui perbuatan-perbuatan terlarang untuk dilakukan kepada hakim, tetapi mereka belum mengetahui bahwa terdapat label istilah bagi hal itu. Ya, label tersebut adalah PMKH, yang merupakan singkatan dari Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim. Ternyata istilah ini terdengar rumit juga jika tidak disingkat. Pengertian PMKH itu sendiri diatur dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia (RI) Nomor 8 Tahun 2013 tentang Advokasi Hakim yang menyatakan bahwa PMKH adalah perbuatan orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang mengganggu proses pengadilan, atau hakim dalam memeriksa, mengadili, memutus perkara, mengancam keamanan hakim di dalam maupun di luar persidangan, menghina hakim dan pengadilan.

Berdasarkan pengertian PMKH, dapat ditarik pemahaman bahwa PMKH digolongkan ke dalam 3 (tiga) dimensi perbuatan, yaitu:

  1. mengganggu proses pengadilan atau hakim dalam memeriksa, mengadili, memutus perkara;

  2. mengancam keamanan hakim di dalam maupun di luar persidangan;

  3. menghina hakim dan pengadilan

Masing-masing bentuk PMKH memiliki indikator tersendiri. Misalnya perbuatan mengganggu proses peradilan dapat ditandai dengan adanya perbuatan menghalang-halangi pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Contoh lain berupa mengancam hakim di luar persidangan dapat diidentifikasi dari adanya perbuatan melakukan teror di tempat tinggal hakim. 

Lantas, mengapa lahir PMKH? Konsep larangan PMKH sejatinya lahir dari filosofi profesi hakim itu sendiri. Hakim merupakan profesi yang sunyi dan menyendiri dengan kondisi lingkungan kerja yang sepi dan tenang. Secara ekstrem, dapat kita katakan bahwa hakim telah menyerahkan hidupnya untuk menjadi negarawan, memilih untuk hidup dalam keheningan, dan melakukan pelayanan masyarakat demi memenuhi rasa keadilan. Betapa tinggi dan istimewanya hakim sampai-sampai produk putusannya diberi irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Hakim merupakan perpanjangan tangan Tuhan di muka bumi. Oleh karena latar belakang itu, hakim harus terjaga dan dijaga dari segala perbuatan yang dapat merendahkan kehormatan dan keluhuran martabatnya.

Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa PMKH dilarang? Salah satu akibat dari adanya PMKH adalah terganggunya independensi dan imparsialitas hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Sederhananya begini, ketika hakim mengalami PMKH dengan bentuk perbuatan apapun itu, misal diancam keamanannya di dalam maupun di luar pengadilan, maka tidak menutup kemungkinan hakim akan berkompromi agar produk putusannya dapat menghindarkan dirinya dari PMKH maupun potensi PMKH. 

Terdapat pandangan bahwa hakim harus membebaskan diri dari segala pengaruh eksternal agar tidak mempengaruhi independensi dan imparsialitas kinerjanya. Sulit dielakkan dari diri hakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tanpa memasukkan pengaruh ekspektasi pemangku kepentingan ke dalamnya. Termasuk juga menghindari dampak PMKH agar tidak mempengaruhi produk putusannya. Hal ini disebabkan karena hakim bukanlah individu yang benar-benar terbebas dari fitrahnya sebagai makhluk sosial sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa hakim akan memasukkan segala faktor X yang ada di sekitarnya ke dalam alam pikirannya dan kemudian tertuang dalam putusan.

Apabila independensi dan imparsialitas hakim terganggu, maka sulit diharapkan hakim akan melahirkan putusan berwibawa. Apakah putusan hakim harus berwibawa? Jelas, putusan hakim harus berwibawa. Sebelum beranjak lebih lanjut, kita perlu mengetahui apa itu putusan berwibawa. Dikutip dari sebuah buku, putusan hakim yang berwibawa adalah putusan yang mendapat apresiasi dari pemangku kepentingan karena dinilai mampu menjawab ekspektasi mereka. Siapa saja pemangku kepentingan itu? Pemangku kepentingan terdiri dari 4 (empat) kelompok, yaitu: kalangan internal peradilan, kalangan ilmuwan dan aktivis yang meminati kajian hukum, para pihak yang terlibat langsung dalam perkara, dan masyarakat luas di luar tiga kelompok tersebut. Apa ekspektasi para pemangku kepentingan? Secara ideal, tentunya ekspektasi mereka adalah tegaknya keadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun