Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia, termasuk di Kota Bogor. DBD disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Kota Bogor, dengan iklim tropis dan curah hujan tinggi, merupakan lingkungan yang ideal bagi perkembangan nyamuk ini. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian DBD sendiri antara lain :
- kepadatan penduduk ; semakin padat penduduk suatu wilayah, maka akan semakin mudah dan cepat transmisi virus dengue oleh nyamuk aedes
- Indeks keluarga sehat ; indeks keluarga sehat mencerminkan tingkat kebersihan, sanitasi, dan kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan, contohnya seperti membersihkan genangan air dan menggunakan kelambu.
- sex ratio ; kekebalan tubuh antara laki-laki dan perempuan berbeda yang dipengaruhi oleh produksi zat sitokin, selain itu laki-laki cenderung memiliki jumlah kegiatan outdoor lebih banyak dibanding perempuan
- tenaga kesehatan ; keterlibatan aktif petugas kesehatan dalam memberikan informasi, dukungan dan pengetahuan kepada masyarakat menjadi faktor kunci dalam mencapai perilaku pencegahan yang diinginkan.
- jumlah puskesmas ; puskesmas berperan sebagai deteksi dini, edukasi masyarakat dan pelaksanaan program pencegahan seperti 3M dan fogging.
Oleh karena itu, pemetaan kasus DBD dan serta faktor risiko menggunakan sistem informasi geografis menjadi penting untuk menentukan intervensi yang lebih tepat sasaran. Pemetaan kasus DBD berdasarkan faktor risiko di atas dapat dilihat pada gambar berikut :
Berdasarkan gambar di atas, hasil analisis data LISA Cluster Map menunjukkan bahwa kasus DBD di Kelurahan Kota Bogor 2023 membentuk hubungan spasial kuadran I (high-high) pada kelurahan Sukaresmi, Sukadamai, cibulu, Tanahbaru, Pasirkuda, Cikaret, dan Ranggamekar, kuadran II (low-high) pada kelurahan Tegallega dan Pasirmulya, kuadran III (low-low) pada kelurahan Bojongkerta, Rancamaya, Kertamaya, Harjasari, Sindangsari, Pakuan, dan Muarasari. Hasil Moran's I kasus DBD sebesar 0,250 menunjukkan bahwa adanya auto korelasi spasial positif, yang berarti ada kecenderungan wilayah dengan karakteristik kasus DBD yang serupa untuk saling berdekatan.
Berdasarkan gambar di atas, Moran's Scatterplot untuk bivariat Local Moran's anatar kasus DBD dan kepadatan penduduk menunjukan bahwa titik-titik data tersebar di kuadran I (hig-high) dankuadran III (low-low), dengan nilai Moran's I yaitu 0,345, yang menunjukkan autokorelasi spasial positif yang cukup kuat, yang berarti wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah dengan jumlah kasus DBD tinggi, sehingga signifikan secara statistik
Berdasarkan gambar diatas, Moran's Scatterplot untuk bivariat Local Moran's antara kasus DBD dan sex ratio menunjukkan bahwa titik-titik data tersebar paling banyak di kuadran I dan III, diikuti oleh titik data yang sedikit di kuadran II dan IV, dengan hasil Moran's I yaitu 0,139 yang menunjukkan autokorelasi yang lemah, berarti ada kecenderungan wilayah dengan sex ratio tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah dengan sex ratio tinggi juga, dan sebaliknya. Namun, hubungan ini tidak terlalu kuat.
Berdasarkan gambar diatas, Moran's Scatterplot untuk bivariat Local Moran's antara kasus DBD dan jumlah tenaga kesehatan menunjukkan titik-titik data tersebar paling banyak di kuadran I dan II, dengan nilai Moran's I yaitu -0,42 yang menunjukkan tidak ada autokorelasi spasial yang signifikan, yang berarti tidak ada pola keterkaitan yang jelas antara jumlah nakes di suatu wilayah dengan jumlah kasus DBD di wilayah sekitarnya.