Seketika aku terbangun dari bunga tidur yang buruk itu. Aku mengigau, napasku tersengal.
"Mas, are you okay?" Sarah yang tidur di sampingku ikut terbangun karena terkejut. Ia memegangi kedua pundakku hendak menenangkan.
Aku menarik napas panjang. Tanganku mengusap air mata yang muncul di sudut mataku. Bibirku masih bergetar untuk berucap.
"Dek, Mas mimpiin Ibunya Mas. Mas harus menemui Ibu besok pagi," Aku meraih tangan istriku, berusaha melembutkan hatinya.
"Mas, what are you thinking about? Terakhir Ibu tinggal di rumah ini, Ibu sering menumpahkan makanan hingga mengotori lantai, melupakan cara mandi dan berpakaian, dan merepotkan semua orang karena lupa hal-hal sepele. Bahkan, yang paling parah dari semua itu, kau ingat kan Mas? Ibu hampir melukai Ziel, anak kita, dengan tongkatnya. Apa lagi yang Mas harapkan dari Ibu?" Â
Bola mata Sarah memerah. Ia memalingkan wajahnya ke arah tembok.
"Mas nggak punya pilihan, Dek. Mas minta izin sama kamu buat menemui Ibu." Sarah tetap bergeming. Sedangkan, aku tetap teguh pada keputusanku.
***
Pagi itu, aku sudah berdiri di depan gerbang tempat kediamanmu. Aku disambut oleh seorang bapak-bapak paruh baya yang menyapaku ramah. Ia membukakan gerbang dan mengantarku masuk ke kamarmu.
Aku melihatmu duduk di tepi kasurmu yang warna seprainya sudah tampak memudar. Dipan kasurnya sudah tampak lapuk. Kau menatap kosong ke arah jendela. Di sebelah kasurmu tampak berjejer kasur-kasur lain milik para wanita jompo lainnya yang sebilik denganmu.
Aku mendekat ke arahmu. Berdiri di sebelahmu. Kau tetap bergeming. Aku meraih tanganmu. Wajahmu menoleh ke arahku datar. Aku mendekati wajahku ke wajahmu, berharap kau masih mengenali paras dan suaraku.