Mohon tunggu...
Febianti Ayu
Febianti Ayu Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Universitas Diponegoro

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Disrupsi Cara Tradisional Jurnalisme Kampus dalam Era Digital

2 Desember 2020   12:25 Diperbarui: 2 Desember 2020   12:32 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari yang selalu silih berganti telah menciptakan sebuah perkembangan dalam setiap lini kehidupan manusia. Salah satu bentuk perkembangan yang terjadi dalam kehidupan manusia adalah jurnalisme. Kehadiran jurnalisme dalam kehidupan manusia telah membawa perubahan besar dalam peningkatan wawasan akan informasi yang ada di sekitar. Saat ini jurnalisme tidak hanya diciptakan oleh lembaga media mainstream, namun juga telah memasuki institusi pendidikan tinggi yang diciptakan oleh lembaga pers mahasiwa (LPM)

Meskipun demikian, jurnalisme pada umumnya dengan jurnalisme kampus memiliki perbedaan dalam pengertian maupun karakteristiknya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari jurnalisme yang mengambil informasi secara faktual yang terdapat dalam masyarakat. Sedangkan, jurnalisme kampus adalah sebuah bentuk karya jurnalistik yang dihasilkan mahasiswa/i yang bergerak dalam lembaga pers mahasiswa dalam sebuah institusi pendidikan tinggi yang bertujuan sebagai sarana mengedukasi mahasiswa dan publik. Salah satu bentuk dari lembaganya adalah LPM Hayam Wuruk.

Perkembangan teknologi yang semakin maju telah membuat segalanya menjadi mudah, salah satunya dalam hal membaca artikel hingga berita. Kemudahan ini mendorong LPM untuk berinovasi agar produk yang dihasilkan dapat mengikuti perkembangan zaman. Salah satu karya jurnalistik yang dilakukan di era digital, yaitu podcast, dimana dalam membentuk karya tersebut terdapat informasi faktual yang disampaikan. Berbeda dengan jurnalisme pada masa lampau sebelum teknologi semakin berkembang, dimana produksi jurnal sangat memerlukan media cetak dan pertemuan secara fisik atau langsung.

Qanish Karamah, selaku pemimpin LPM Hayam Wuruk menjelaskan bahwa dalam LPM Hayam Wuruk telah melakukan transformasi penyampaian informasi melalui diskusi via daring yang berbentuk, seperti Focus Group Discussion (FGD) untuk membentuk produk jurnalistik. Meskipun demikian, bentuk diskusi yang dilakukan secara daring dapat memungkinkan terjadinya miskomunikasi dalam hal pengambilan angle yang kurang tepat hingga dilakukan wawancara kembali, yang kemudian akan menjadi kesulitan bagi editor. Sistem tradisional (lama) dan sistem modern (era digital) dalam jurnalisme sama-sama memiliki kelebihan maupun kekurangan.

Meskipun kehadiran teknologi dalam kehidupan manusia memberikan kemudahan dalam menciptakan karya jurnalistik. Akan tetapi, kegiatan jurnalisme tidak akan berjalan dengan baik bila jurnalis memiliki minat baca dan rasa keingintahuan yang sedikit. Hal tersebut sebagai wujud kewajiban jurnalis untuk bisa memudahkan mendapatkan informasi dari narasumber.

Kemudahan dalam menciptakan karya jurnalistik di era digital mengalami perubahan dibandingkan sebelum memasuki era digital. Dimana perbedaan tersebut terletak dalam efisiensi yang dilakukan dalam menciptakan karya jurnalistik. Efisiensi yang dilakukan dalam era digital akan mempermudah jurnalis untuk membentuk karya jurnalistik.

Efisiensi yang dilakukan dalam menciptakan karya jurnalistik yang dilakukan oleh jurnalis dapat menghilangkan esensialitas dari karya yang diciptakannya. Hilangnya esensialitas tersebut akan menghasilkan pragmatisme bagi jurnalis. Pragmatisme yang dihasilkan juga bisa membuat jurnalis menjadi acuh tak acuh dalam menciptakan produk jurnalistik. Hal ini juga yang akan membuat verifikasi yang dilakukan jurnalis terhadap informasi yang dapat berpotensi untuk terciptanya informasi hoax, dimana akan menjadi bahaya bila informasi tersebut diterima oleh masyarakat maupun mahasiswa.

Jika dipandang dari segi historisnya, kehadiran jurnalisme berawal dari kehidupan masyarakat, dimana jurnalisme hadir karena keraguan rakyat kepada pemerintah dan pilar-pilar demokrasi. Jurnalisme hadir sebagai watch job yang "berasal dari bawah tanah" sebagai pemantauan kenegaraan. Jurnalisme jugalah yang menyuarakan suara rakyat yang tidak disuarakan.

            Namun dari dahulu hingga sekarang, keberpihakan jurnalisme selalu dipertanyakan. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum bahwa jurnalisme merupakan Lembaga pesanan (dapat diperalat oleh pihak manapun). Itulah mengapa diperlukannya menggunakan sembilan elemen yang terdapat dalam buku karya Andreas Harsono yang berjudul agama jurnalisme, terutama elemen kelima, yaitu berpihak untuk kepentingan publik, bukan untuk kepentingan suatu pihak maupun diri sendiri, untuk tetap meyakinkan para pembaca atau masyarakat bahwa jurnalisme tetap sebuah Lembaga yang independent. Keberpihakan yang dilakukan oleh jurnalisme dalam menciptakan karya jurnalistiknya tidak harus netral, tetapi harus independen. Independen yang dimiliki oleh jurnalis sebagai bentuk keberpihakan jurnalis untuk berfokus mencari kebenaran tanpa didorong oleh siapa pun, dan untuk kepentingan publik. Berbeda dengan netral, dimana Jurnalis atau pers sama sekali tidak memikirkan kepentingan siapapun, atau secara singkatnya, berdiri di tengah antara kedua pihak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun