Mohon tunggu...
Yani Moeljono
Yani Moeljono Mohon Tunggu... -

Bekerja sebagai staf pusat pengembangan anak di Muntilan- Magelang.\r\nSudah menikah.\r\nSaat ini sedang belajar untuk mengungkapkan apa yang dirasa, dilihat dan didengar dalam bentuk tulisan.... Dan sangat membutuhkan masukan untuk mengembangkan minat menulisku

Selanjutnya

Tutup

Nature

Buang Sampah Sembarangan = Nulis 100 Kalimat

8 Februari 2012   05:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:55 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peraturan di atas pernah diterapkan pada anak-anak binaan di sini. Dan itu cukup manjur sebagai sebuah langkah awal untuk membiasakan anak-anak membuang sampah pada tempatnya. Minimal sedikit mengurangi sampah berceceran pada saat kegiatan anak.

Dan reaksi yang aku dapatkan juga lucu-lucu. Ada anak yang mencari waktu melanggar aturan dengan sembunyi-sembunyi membuang sampah, namun ada juga anak yang memposisikan diri sebagai pengawas teman-temannya. Sehingga bila suatu ketika mereka mendapati teman yang membuang sampah tidak pada tempatnya, mereka langsung akan teriak, " Kak... si A membuang sampah sembarangan."

Ataupun saling tuduh jika salah satu di antara kami (pengurus PPA) menemukan sampah tercecer usai kegiatan anak. Dan berakhir pada senyum aneh ketika pelaku sesungguhnya kemudian mengambil sampah itu dan memasukannya di tempat sampah. Dan akhirnya, anak inipun menjalankan konsekuensi menulis 100 kalimat yang berisi " Saya akan membuang sampah pada tempatnya" . Haranpannya saat dia menulis berulangkali, isi tulisan yang ditulisnya dapat merema baginya...

Tapi bagaimana dengan orang dewasa yang seharusnya lebih bisa berpikir nalar?

Karena masih banyak sekali orang yang membuang sampah sembarangan. Jangankan di halte atau terminal, di rumah ibadatpun masih banyak didapati bungkus permen atau tissue yang sudah diremas-remas tercecer di lantai ataupun di sarana prasarana rumah ibadat yang lain.

Dan yang lebih aduhai... kadang kotoran hidungpun menempel di sarana prasarana tersebut.

Apakah perlu diberlakukan konsekuensi juga?

Bentuknya? Apakah mau disamakan dengan anak-anak?

Tentunya orang dewasa macam kita tidak akan mau. Karena kalau boleh jujur, dibanding kita yang -katanya- dewasa, terkadang justru anak-anak lebih menghargai otoritas.

Mari sebagai orang dewasa yang tidak berhenti belajar, kita juga belajar bersama untuk mencintai lingkungan. Selain itu, mari kita juga belajar dari respon anak-anak terhadap ketentuan menjaga lingkungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun