Tak heran apabila generasi-generasi lain cenderung kurang sefrekuensi dengan Gen Z. Bahkan survei dari Resume Builder (2023) menyatakan bahwa bekerjasama dengan Gen Z adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Namun, letak kesalahannya tak sepenuhnya pada Gen Z saja.Â
Bagaimanapun juga, keberagaman wawasan Gen Z telah membentuk pribadi generalis pada diri mereka. Sehingga, setiap pendapat dan keputusan yang datang dari Gen Z buat tidak hanya berdasarkan pada satu sisi saja, melainkan kombinasi dari beberapa jenis informasi.
Permasalahan disini adalah realitas politik masih belum benar-benar tertanam dalam benak Gen Z. Preferensi mereka sebagian besar tertuju pada perkembangan teknologi dan ekonomi.Â
Dengan sifat generalisnya, Gen Z lebih suka menggeluti hal yang pasti-pasti saja dan menghindari hal yang menurut mereka "kurang penting".Â
Politik menjadi substansi yang kurang penting di kehidupan Gen Z karena dianggap kerap menuai kontroversi dan tidak memberikan hasil nyata.Â
Citra kehidupan politik Indonesia pun sudah terlanjur tercoreng di mata Gen Z, sehingga inisiatif untuk berpartisipasi langsung sangat jarang terlintas bagi mereka.
Pada akhirnya, revolusi politik dari Gen Z masih sebatas pada partisipasi pasif yang terpolarisasi. Wawasan tentang politik mesti diperkenalkan lebih lanjut lagi, sebelum Gen Z dapat sungguh-sungguh berpatisipasi dalam politik kenegaraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H