Mohon tunggu...
FEBBY LIA FAIQOTUL HIMMA
FEBBY LIA FAIQOTUL HIMMA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Konsumen Gabut

Jangan Banyak Rebahan, Anda Terlalu Muda untuk Bermalas-malasan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi: Waspadai Isu Politik SARA Jelang Pemilu 2024

14 Juni 2022   09:17 Diperbarui: 14 Juni 2022   10:27 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Ray, politik SARA perlu diantisipasi karena seolah ada suasana yang melegalisasi praktik politik tersebut. "Bahwa SARA dianggap tidak bermasalah karena perspektif dianya, bukan persepektif demokrasinya. Karena dianggap mengamalkan kepercayaan agama tertentu," tutur Ray.

Di samping itu, belum ada definisi yang ketat soal politik SARA. Hal itu membuat penyelenggara pemilu, khususnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak responsif dengan isu SARA, khususnya isu agama. Dalam Undang-Undang Pemilu, misalnya, telah jelas dilarang melakukan penghinaan terhadap etnis, agama, dan lainnya. "Tapi yang disebut 'penghinaan' ini apa, sehingga ada pijakan bahwa jika ada mengatakan ini, maka SARA," kata dia.

Namun faktanya, meskipun dalam pesta demokrasi pemilu isu SARA menjadi hal yang Terlarang, masih banyak anggota masyarakat menganggapnya sebagai hal yang lumrah sebagai dalih membela kepercayaan yang mengakar disekitarnya. Adapun penyebab lainnya yakni tidak adanya interpretasi yang jelas mengenai apa yang dimaksud SARA meskipun dalam UU No. 7 Tahun 2017 telah tercantum Pemilu tentang larangan tersebut.

Apa itu SARA?

Tidak ada defini yang menjelaskan dengan jeli perihal Politik SARA, hal itulah yang menjadikan rawan adanya isu-isu krusial tentang SARA. Namun perlu adanya pemahaman sedikit kepada publik terkait apa arti dari SARA itu sendiri.

Mengutip dari Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada oleh Heru Nugroho, kepanjangan SARA merupakan akronim dari Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan, yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dalam konsep SARA ada pengertian konflik horisontal yang dimotori oleh suku, agama dan ras dan juga konflik vertikal yang bersumber pada perbedaan "ekonomi-politik" antar-golongan (Taufik A.Mullah, 1997).

SARA merupakan kenyataan sosial maka keberadaannya tidak dapat dilenyapkan. Bahkan setiap upaya untuk melenyapkan dengan dalih apapun, termasuk menuju unifikasi melalui "monolitikisasi" masyarakat, cenderung akan menimbulkan keresahan, gejolak sosial, kerusuhan massa, dan pasti berakhir dengan disintegrasi sosial (Berger dan Neuhauss, 1977).

Tindakan Hukum Isu SARA dalam UU Pemilu Vs UU ITE

Lemahnya tindakan hukum pada isu-isu yang terbukti menggunakan Isu SARA dalam kontestasi Pemilu, dalam pernyataannya Ray membandingkan jika dalam UU Pemilu , pelaku isu SARA hanya dikenai 1 Tahun penjara, sedangkan dalam UU ITE pelaku dapat dijerat hingga 5 tahun penjara. Akibatnya para pelaku tidak mendapat efek jera atas tindakan tersebut. Maka dari itu Ray menganggap hak itu akan kembali terulang kembali.

Ditambah lagi teknologi pada zaman yang terus berkembang, akan semakin memudahkan para pelaku tidak bertanggung jawab untuk menggiring isu Sara demi kepentingan Politik.

Politik SARA Bukan Tugas BAWASLU Melainkan Juga Tugas bagi Masyarakat dan Seluruh Elemen Politik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun