Tapi lihat waktunya nanti, di saat semua orang enggan mengangkat keranda jenazahmu. Kalau pun ada, semua itu terpaksa. Ketimbang membiarkan aroma busuk itu menyerbar tak karuan. Semoga bumi menerimamu, karena ia tak sudi peradilan, sahabat karibnya, dipermainkan.
Sekarang, nikmatilah kemewahan siksa kekal itu! Berkawanlah dengan penyiksamu, siapa tahu ia akan mengurungkan niatnya menikmati setiap jeritan yang berhembus dari mulutmu? Atau sebaliknya, ia tak dapat menahan kebahagiaannya bersamamu, dan lantas menjadikanmu sebagai budak nafsunya untuk menjaring sebanyak mungkin orang-orang seperti dirimu.
Satu-satunya cara - hanya dengan permainan Tuhan, kau disembuhkan. Entahlah, semua itu telah menjadi keputusanmu. Sebaik-baiknya siksaan yang kau terima tak lebih baik dari seburuk-buruknya kebahagiaan yang dirasa korban kehinaanmu.
[1]Mengambil benang dari gelendong lalu dipasang lagi di peleting.
[2]Tanah yang keras di dasar laut.
[3]Bui, kerangkeng.
[4]Sedih, duka cita.
[5]Pergi mengasingkan diri untuk memulihkan kesehatan/tenaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H