Mohon tunggu...
ferra.F
ferra.F Mohon Tunggu... Freelancer - Berbagilah ilmu lewat tulisanmu

Salam hormat dan salam kenal dari belahan dusun nun jauh Kalimantan Timur(Borneo Island)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

(Kartini RTC) Bubur Ayam Penghapus Perbedaan

19 April 2015   21:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:54 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bawah langit Singkawang yang terik, keringat wanita tua itu terus mengalir tiada henti. Tangannya asyik membersihkan sayuran segar yang terjejer rapi di atas meja jualannya yang  sempit. Maklum, sepetak kecil itulah yang mampu dibayarnya. Bibirnya pun dengan lincah menyerukkan kepada setiap pelanggan yang lewat untuk singgah ke lapak sayurnya. “Ayo...sayurnya, Bu! Sayurnya, Pak! Semua segar...sayur...sayurrrr...!” teriaknya dengan penuh semangat.

Biasanya setiap hari sayurnya habis terjual, kali ini ia benar-benar sial. Berharap dagangannya laris terjual dan semangkok bubur ayam akan terbeli. Ternyata, hanya tinggal angan semu  saja. Meski suaranya sudah serak, hanya dua oranglah yang mampir ke lapaknya untuk membeli sayur segarnya. Selebihnya, hanya sekedar melihat dan bertanya sayur yang tak ada di lapaknya. Harapannya sirna berganti rasa kecewa. Hari ini tak akan ada sebungkus bubur ayam untuk suami tercinta yang tengah terbaring tak berdaya di atas dipan tua penuh kesal. Tepat pukul 12.00 tengah hari, dengan wajah lesu Kartini membereskan hasil dagangannya. Tanpa sengaja di tengah perjalanan pulang, Tin berjumpa dengan Koh Kwan Yi dan Lenny Igay Unya. Mereka adalah dua orang tetangga yang tinggal di seberang rumahnya. Melihat si Tin yang berjalan dengan langkah gontai mengundang mereka berdua untuk sekedar bertanya.


“Haiyaaa...lama tak jumpa Tin, kenapa wajahmu lesu! Mana suamimu...tak ikut bantu jualan di pasarkah?” tanya Koh kepada Tini.
“Suamiku sudah sebulan sakit, Koh!” jawab Tini.
“Sakit...apa, Tin?” tanya Koh penasaran.
“Demam tinggi disertai sakit kepala berlebihan, kadang kala sakitnya datang dan pergi, Koh!”, keluh Tini sambil menyapu keringat di dahinya.
“Haiyaaaa...Jangan mengeluh, tak baiklah!” tutur Koh.
“Saya bukan mengeluh, Koh...saya cuma merasa dunia ini tak adil!” seru Tini.
“Kehidupan di kampung terpencil memanglah impian kami berdua! Akan tetapi, pelayanan kesehatan yang ditawarkan oleh Pemerintah untuk penduduk ‘Kampung Harapan’ terkesan bertele-tele” jawab Tini dengan nada kesal.
“Kalau hari besar, semua dokter di Klinik pada libur ke kota, entah berapa hari! Yang tersedia cuma perawat saja! Sementara, suami saya tengah demam tinggi dan menggigil. Jangankan  mendapat rawatan intensif di Klinik kesehatan, ruang konsultasi pun senantiasa tertutup. Akibatnya, sakit suami saya berlarut-larut hingga kini, Koh!”, jawab Tini bercampur kesal.
“Haiyaaaa...memang macam tu laaa...saya pun bingung bila kita sakit pada hari besar semua dokter tak pernah ada di Kampung. Semua pergi ke kota, macam mana bila ada penduduk  yang sakit parah...di kampung!” Koh membenarkan apa yang telah dikatakan oleh Tin.
“Hah...paling-paling mereka merujukkan kita ke rumah sakit di Kota dengan alasan peralatan dan tenaga medis yang minim. Coba bayangkan Koh, dari sini menuju kota kurang lebih  tujuh ratus kilometer, belum lagi jalanan rusak penuh lubang, sempat mati di jalan suamiku,” jawab Tini dengan ketus.
“Haiyaaa...saya pun tak tau, Tin! Apa yang ada di benak Pemerintah kita. Tapi, walau Pemerintah tak selalu perhatikan kita yang kecil ini, minimalnya kita semua bisa saling berbagi dalam suka dan duka,” ujar Koh, seraya memalingkan wajahnya ke arah Lenny yang tengah terdiam terpaku, “Benarkan Lenn...!” tanya Koh mengejutkan Lenny.
“Benar, Koh!” jawab Lenny dengan tegas sembari menambahkan komentarnya, “Iya, Bu Tini! Kitakan tetangga dekat jadi tak ada salahnya kita saling membantu...lupakanlah luka sengketa lama.”
Tini hanya mengangguk...sembari berkata, “Saat ini...yang terpikir olehku bagaimana bisa berbagi kebahagiaan dengan orang yang kusayangi, Koh!” jawab Tini sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah gerobak penjual bubur ayam yang selalu parkir di depan gang sempit itu.
“Maksudnya…?” tanya Koh dan Lenny kebingungan.
“Itulah bubur ayam kesukaan suamiku, Koh! Hanya semangkok bubur ayam itulah yang mampu aku berikan kepadanya saat ini!” seru Tin dengan mata yang berkaca-kaca.
“Haiyaaa...memanglah sedap itu...bubur ayam dan cocok untuk memulihkan kesehatan!” jawab Koh.


Setelah setengah jam mereka terlibat perbincangan yang mengharu biru itu, tanpa pikir panjang Koh meraih uang lima puluh ribu rupiah dari saku celananya yang kotor bekas oli lalu menyelipkannya di bakul sayur Tini yang lusuh. Koh pun berkata, “Hanya itulah yang mampu aku bagikan dari seorang kuli bengkel seperti aku ini, tapi tetaplah semangat dan tegar ya...Tin”, tutur Koh dengan nada luruh. Sementara, Lenny menyodorkan dua bungkus bubur ayam secara tiba-tiba kepada Tini yang masih mematung di bawah rimbunnya pohon Asam pauh. Air mata Tini pun jatuh berlinang, hatinya berkata betapa baiknya tetanggaku ini. Apa yang kubayangkan tentang mereka selama ini, sungguh berbeda kali ini. Dalam hati Tini hanya mampu berkata alangkah indahnya perbedaan dalam sebuah kebersamaan ini.

Fe Gadingga-Sarawak, 19 April 2015

NB: Untuk membaca karya yang penulis-penulis yang lain klik  Rumpies The Club
dan jangan lupa bergabung di fb Rumpies The Club

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun