Mohon tunggu...
Nur RahmahFadilah
Nur RahmahFadilah Mohon Tunggu... Editor - Design Grafis

Travelling

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tuan Bosscha, Sang Raja Teh Priangan yang Dermawan

20 Juni 2024   00:00 Diperbarui: 20 Juni 2024   00:01 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membahas tentang Belanda yang terbesit pertama kali adalah tentang penjajahannya yang sangat keji dengan memperlakukan warga pribumi untuk wajib mengikuti aturan "sistem tanam paksa". Namun ternyata, masih ada orang Belanda yang memiliki sifat dermawan serta baik hati bahkan setelah hampir 100 tahun kepergiannya warga pribumi tetap mencintai sang raja teh ini. Siapa beliau? mari kita bahas!

AWAL MULA SEJARAH PERKEBUNAN TEH MALABAR

Seorang warga belanda keturunan jerman ini yang dijuluki dengan sebutan 'Juragan Teh Malabar' yang datang ke Indonesia. Pada tahun 1886 perkebunan malabar dijadikan lahan untuk perkebunan teh yang awal mulanya adalah sebuah hutan dan kondisi malabar sendiri tidak ideal, terpencil dan akses sulit. "Lan Waar Geen, Lan Achter Lag" yaitu negeri tanpa negeri di bawah, julukan untuk malabar. Pada tahun 1887 juragan teh tersebut mempelajari budidaya teh di Sinagar Sukabumi, Jawa Barat. Tepatnya di kabupaten Bandung terbentang kebun teh hijau yang sangat luas. Pasca kerja paksa, sistem politik dan kebijakan pertanahan memasuki babak baru, yakni era ekonomi liberal berlaku di Hindia Belanda. Pada periode ini, perdebatan di parlemen Belanda tentang investasi perkebunan skala luas kemudian menghasilkan Regering Reglement (Agrarische Wet 1870) atau yang biasa disebut Undang-undang agraria 1870.

Sekilas, lahirnya Agrarische Wet 1870, seolah memberi kabar gembira kepada rakyat pribumi karena rakyat pribumi akan diberikan hak eigendom. Akan tetapi, Agrarische Wet 1870 hanyalah alasan untuk memuluskan jalan pemodal asing untuk berinvestasi di Indonesia. Keuntungan yang besar hanya dinikmati oleh para pemodal asing, sementara rakyat pribumi hidupnya semakin merana. Sejak diberlakukannya Agrarische Wet 1870, pengusaha-pengusaha perkebunan Belanda dan negara Eropa lainnya mendapatkan jumlah keuntungan yang luar biasa dengan berlandaskan pada colonial super profit. Isi dari undang-undang agraria 1870 ini kurang lebih mencakup tentang membebaskan orang eropa membuka lahan di Hindia Belanda (Masyrullahushomad & Sudrajat, 2020). Lalu, apa saja sih warisan mulia yang ditinggalkan sang raja teh tersebut? Yuk, kita simak!

KAREL ALBERT RUDOLF BOSSCHA/mooibandoeng
KAREL ALBERT RUDOLF BOSSCHA/mooibandoeng
K.A.R Bosscha lahir pada 15 Mei 1865 di s-Gravenhage, Belanda yang merantau ke Hindia Belanda pada saat berusia 22 tahun dan sempat bekerja diperkebunan pamannya, ia merupakan seorang Belanda keturunan Jerman yang peduli terhadap kesejahteraan masyarakat pribumi Hindia Belanda pada masa itu Bosscha juga merupakan seorang pemerhati ilmu pendidikan khususnya astronomi. K.A.R Bosscha adalah putra dari fisikawan Belanda Prof. Dr. J Bosscha Jr dan ibunya Paulina Emilia Kerkhoven. Ayahnya pernah jadi direktur Sekolah Tinggi Teknik Delft. Sebagian masa mudanya sempat diisi dengan kuliah teknik sipil, meski tidak lulus. Pada bulan Agustus 1896, Bosscha mendirikan Perkebunan Teh Malabar. Dan pada tahun-tahun berikutnya, ia menjadi juragan seluruh perkebunan teh di Kecamatan Pangalengan. Selama 32 tahun masa jabatannya di perkebunan teh ini, ia telah mendirikan dua pabrik teh, yaitu Pabrik Teh Malabar yang saat ini dikenal dengan nama "Gedung Olahraga Gelora Dinamika" dan juga Pabrik Teh Tanara yang saat ini dikenal dengan nama "Pabrik Teh Malabar"

Kompas.com
Kompas.com
Seiring berjalannya waktu, disebutkan dalam Wisata Paris van Java (2014), pada tahun 1901 Bosscha telah mendirikan sekolah dasar yang bernama vervoolgschool atau vervoolg malabar untuk anak-anak petani di kebunnya. Bisnis teh tersebut membuat Bosscha kaya raya tapi tetap jadi sosok yang dermawan. Sekolah di dalam kebunnya dan kampus penting di Jawa Barat juga Bosscha ikut bantu pembangunannya, kampus tersebut bernama ITB (Institut Teknologi Bandung). Salah satu sumbangannya kepada sekolah tinggi teknik pertama di Indonesia tersebut dibuatkannya sebuah ruangan kuliah yang dikenang sesuai namanya: Ruang Bosscha.

Dengan uangnya yang berlimpah dia juga bisa mewujudkan obsesinya akan observasi bintang. Dalam Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (2006) saat itu K.A.R. Bosscha, sang raja teh, salah satu orang Belanda terkaya di koloni itu tinggal di pekarangannya di Malabar, sebuah bukit dekat Bandung dan Lembang. Bukit yang dimaksud sekarang menjadi observatorium Bosscha, yang berlokasi di Lembang, Bandung Utara, Jawa Barat (Matanasi, 2017). Boscha dan kolega-koleganya mulai mengusahakan pembelian teropong bintang raksasa yang mahal harganya dari Jerman. Mereka membeli peralatan mewah kala itu di tengah hancurnya ekonomi Jerman yang telah dipecundangi dalam Perang Dunia I dan Perjanjian Versailles. Teropong yang ada di oservatorium ini bisa dibilang teropong bintang pertama dan tertua di Indonesia. Manfaatnya pun masih bisa kita rasakan hingga sekarang (Matanasi, 2017).

Pada 12 September 1920 dilakukannya pertemuan di Hotel Homann Bandung, untuk dibentuk Perhimpunan Astronomi Hindia Belanda atau Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereniging (NISV) yang memiliki tujuan spesifik "mendirikan dan memelihara sebuah observatorium astronomi di Hindia Belanda, dan memajukan ilmu astronomi". Observatorium Bosscha ini diresmikan pada 1 Januari 1923. Mengutip tulisan dari bosscha.itb.ac.id, publikasi internasional pertama Observatorium Bosscha dilakukan pada tahun 1933. Namun kemudian observasi terpaksa dihentikan dikarenakan sedang berkecamuknya Perang Dunia II. Tepat pada 17 Oktober 1951, NISV menyerahkan observatorium ini kepada pemerintah Republik Indonesia, yang lalu menjadi bagian dari Institut Teknologi Bandung dan berkembang sebagai pusat penelitian astronomi nasional. Observatorium Bosscha dinyatakan sebagai Benda Cagar Budaya pada tahun 2004 dengan dasar UU Nomor 2 / 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Empat tahun kemudian, pemerintah Indonesia menetapkan Observatorium Bosscha sebagai salah satu Objek Vital Nasional yang harus diamankan (Observatorium Bosscha Institut Teknologi Bandung, n.d.).

Tidak lama dari pembentukan himpunan tersebut, Bosscha tutup usia tepatnya pada november 1928, sosok yang peduli terhadap kesejahteraan masyarakat pribumi ini dikarenakan penyakit tetanus yang dideritanya. Sesuai wasiat Bosscha, jasadnya disemayamkan di tengah perkebunan Malabar. Bangunan makamnyanya tersebut terbilang cukup megah, dibalut warna putih bersih yang kini agak kusam dimakan waktu. Makamnya bergaya Eropa dengan kubah putih menyerupai topi yang disangga dengan delapan tiang. Konon, bentuk atap ini mirip dengan topi yang biasa dikenakan 'Juragan Teh Malabar' ini saat mengawasi para pekerjanya di perkebunan teh yang berada di ketinggian 1500 mdpl (Ahmad, n.d.)

Referensi :

Ahmad, Z. Z. (n.d.). Kepingan Jejak Bosscha, Tuan Dermawan di Tanah Pasundan. Retrieved June 19, 2024, from https://www.goodnewsfromindonesia.id/2021/03/06/kepingan-jejak-bosscha-tuan-dermawan-di-tanah-pasundan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun