Ketika tiba-tiba seorang sahabat masa kecil menelpon mengabarkan akan berada di Makasar pada liburan Maulid barusan lalu, seketika kerinduan membuncah membuka kenangan masa lalu di bulan Maulid, ikut bersama dengan imam Mesjid Annur Kampong Beru memenuhi undangan hajatan Maulidan, meramaikan Barasanji ;
“ …. Orang mengaji … mengaji melebur dosa
…. Ya Rasullah Salamun Alai, Ya Rabbi Hasani Wa’Daraji,
Apatar Yarji Ratan Alami, Ya Muhayyar Juni Wa’Daraji
…. Ya Rasullah Salamun Alai, Ya Rabbi Hasani Wa’Daraji
……………………………… La Ilah Ha Illallah, La Ilah Ha Illallah
Kring … kring, ….. hp berbunyi membuyarkan lamunan saat sedang berBarasanji. “Pak … ini dapat tiket promo berangkat 400rb rupiah, pulang 339rb rupiah, diambil atau gimana Pak? ..”; terang petugas travel.Tanpa berfikir 2 x saya langsung mengiyakan & bergegas ke ATM untuk melunasi pembayaran.
Sekedar olah oleh, kami menyempatkan singgah di pasar pagi Segeri membeli telur ikan biawan (sejenis sepat tetapi lebih besar) yang telah diasinkan, juga beberapa biji buah “Lai” (sejenis durian namun lebih mungil, berdaging buah kering & berwarna kuning, serta tidak berbau tajam seperti durian pada umumnya).
Jam 16.10 pesawatpun meninggalkan Balikpapan &sekitar jam 17 lebih sedikit kami tiba di Bandara Mandai – Makasar. Dengan maksud memberikejutan, kami tak langsung menuju rumah, tetapi ke Hotel di sisi jalan pantai Losari. Ada 2 pilihan hotel yang cukup ekonomis dengan rate antara 150rb – 300rb permalam atau antara 350rb – 500rb permalam. Dengan pertimbangan lebih dekat ke rumah di jalan Somba Opu & pasar Baru, kami memlilih hotel dengan rate 350rb permalam. Mahal dikit nggak pa palah.
Bergegas mandi dan setelahnya kami berjalan-jalan menyisiri pantai Losari. Tak ada lagi jejeran gerobak makanan & minuman yang membuat pantai Losari mendapat julukan meja makan terpanjang di dunia. Gerobak-gerobak itu telah berpindah tempat disisi jalan tembus antara jalan Somba Opu & jalan Penghibur, sebut saja jalan Bulogading, Jln. Wahab Tarru, Jln. Ranggong, dll menambah semrawut & padatnya jalan. Meski mungkin telah dilarang, para pedagang kaki lima tidak kehabisan akal, di Pantai Losari masih banyak pkl yang berjualan dengan memakai gerobak dorong yang ditarik, sekedar untuk diisi dengan minuman dan atau makanan kecil. Pete-pete atau bus tingkat yang biasa berjalan mengangkut & menurunkan penumpang hingga melewati pantai Losari sudah tak ada lagi, sehingga akses kesana minimal dengan becak, kendaraan sewa atau pribadi.
Semilir angin pantai Losari membawa kenangan indahnya masa kanak-kanak. Dengan bertelanjang abis kami bermain air, melompat, menyelam, menerjang & melawan ombak pantai Losari. Tidak peduli terik, hujan atau sedang ada badai. “Naik … lari … pake baju-nu, awas itu ada laso anging(puting beliung) cepat ko” seru Soe sambil menunjuk kearah Tanjung Bunga. Dahulu memang seringdi daerah Tanjung Bunga puting beliung mengamuk, tak jarang pondok-pondok nelayan beterbangan dibuatnya menyisakan gundukan tanah menyerupai bukit-bukit kecil.
Sabtu sore hingga sepanjang hari minggu tak jarang kami menyusuri pantai Losari berbekal bilah sapu lidi dengan diikat benang dari pelepah batang pisang pada ujungnya yang halus nyaris tak terlihat apalagi jika tersentuh air, tapi cukup kaku membentuk bulatan kecil. Sambil menyelam kami mencari kumpulan udang yang sedang bersembunyi dibalik atau rekahan batu karang. Huppp … bilahsapu lidi berbenang pelepah pisang disorongkan hingga mata udang masuk kedalamnya, entah kaget atau memang otak udang, mata udang seketika terkatup & dengan mudah udangpun kami tangkap.
Sedikit agak jauh dari bibir pantai Losari pada bulan-bulan tertentu berlabuh kapal-kapal pemerangkap telur ikan terbang (ikan tuing-tuing), agak lebih mungil dari kapal phinis dengan layar & bodi tidak searodinamis kapal phinisi. Jebakan-jebakan yang masih terisi telur ikan tuing-tuing tergantung disisi kapal membuat liur berlelehan. Senyap kami berenang mendekati kapal, menjangkau telur ikan yang berjuntaian, cukup dicelup ke air laut, lalu clep … tes, tes, tes … merasakan nikmatnya telur ikan pecah dimulut.
Kadang kami menangkapi kepiting kecil(kami menyebutnya kepiting tai, ya … be a be), menumbuknya hingga cukup halus bersama pisang kepok & ssssT …. Sepotaker (sepotong tai kering yang dahulu ada saja bertebaran dibibir pantai Losari), adonan kemudian dimasukkan lagi kedalam kulit pisang, jemur agar agak kering & padat. Sore hari adonan kami pakai sebagai umpan pancing, dijamin sebentar saja yang namanya ikan baronang akan segera mengisi pundi-pundi yang terbuat dari bambu..
Kaget … pundak saya ditepuk orang, seketika semua lamunan berhamburan entah kemana. “Sudah lama moko”; sapa Borahim(Ibrahim) kawan semasa sd yang kini juga sedang berlibur di Makasar. “Tidak juga ji”; saya menjawab sambil memperkenalkan pada bekas pacar. Kami lalu berpindah ke sudut jalan Ranggong & Jln. Penghibur menikmati pisang epe sambil ngobrol, untuk 3 porsi dengan segelas aqua dihargai Cuma 21rbu rupiah. Karena sudah agak larut, kami berjanji untuk bertemu pada hari sabtu di Tumbak Kayu Bangkoa.
Sekitar jam 05.30 kami meninggalkan hotel berjalan kaki menuju pasar baru. La kok warung di bawah kios Evariapun masih tutup padahal nasi kuning disitu, alamak … maknyuss rasanya. Tiba disisi jalan Haji Borra, warung kopi yang dahulu buka setelah sholat subuh juga masih tutup, selain kopinya beraroma sedap, kue-kue terutama gogos (lemper bakar isi ikan cakalang) sungguh nikmat. Apalagi jika juga disuguhi dengan sepiring “garoncong”(kue pancong?) dari sudut jalan yang dibakar memakai kayu bangko(bakau). Hmmm … nyaris tak ada duanya lagi.
Kami teruskan berjalan hingga ke sejajar dengan jalan Wahab Tarru terdapatlah pelabuhan antar pulau tradisionil, Tumbak Kayu Bangkoa yang kemudian ikut mengantar seorang penjual ikan bakar disudut jalandengan sambel kacang ditaburi cacahan tomat & cabe menjadi pengusaha sukses, Warung Lae-Lae di Dato Museng kini.
Berselang sepuluh menit kemudian kami tiba di pasar baru. Sepi, padahal jam telah menunjuk pukul 05.45. Cuma ada 2 warung kecil yang baru buka menjual kebutuhan sehari-hari, kamipun berbelanja rempah-rempah disitu. Tiba-tiba bapak tua pemilik warung berseru ;” eh I kau Fadli kah, anakna aji Herman?”. Repleks saya menjawab ;”Iyye”.
“Masi ko ingat saya …, e de de waktunu kecil dulu, suka kukasi makang ko ati pa’nyiki(kelelawar)”
“O kita …Daeng Hasan ka, tidak ji … na tadi kuliat-liat ki rasanya seperti masih kenal”; sambil segera menyalami & mencium tangan Daeng Hasan yang dahulu kala saya masih kecil & menderita sesak nafas, menyempatkan membanting lalu memblejeti hati kelelawar yang dijualnya dan harus saya makan habis setelah digoreng. Yang memaksa & menyuruh saya untuk belajar berenang lalu kemudian bingung sendiri ketika saya lebih suka berendam dilaut ketimbang pergi ke sekolah. Terima kasih Daeng tak terhingga, karena hingga saat ini saya benar-benar sembuh total dari sesak nafas.
Rupanya sejalan dengan perkembangan zaman, pola hidup penduduk dipantai Losari, termasuk geliat perniagaan & pasar juga mengalami perubahan. Yang tadinya semua kegiatan dimulai setelah sholat subuh, kini beralih menjadi paling cepat jam 06.00 hingga jam 07.30.Jadilah kami menunggu datangnya penjual daging untuk membeli tulang iga dan dibuat Konro dengan maksud mempersilahkan makan pengunjung sholat JumatMesjid Annur di depan rumah. Kebiasaan yang dahulu setiap usai sholat Jumat dilakukan rutin oleh almarhum nenek.Tentu saja sebecak kebutuhan pangan mengejutkan seisi rumah, apalagi diiringi dengan kedatangan kami. Bermaksud memberi kejutan, usai sholat Jumat justeru kami yang terkejut karena makan konro usai Jumatan ternyata diiringi dengan Maulidan & Barasanji, … ketika berdiri sambil menganggukkan kepala & mengucapkan “… La Ilah Ha Illalah .. “ berulang-ulang,saya sempat meneteskan air mata, bulu kuduk merinding hingga sedikit agak trance. Maha Besar Engkau Ya Allah. Terima kasih atas nikmat tiada habis yang telah Engkau berikan kepada kami sekeluarga.
Sabtu pagi sebelum bertemu Borahim, kami sempatkan sejenak ke Benteng Ford Rotterdam yang tak jauh dari Pasar Baru. Arsitektur era 1600-an yang sangat kontras dengan perkantoran & rumah disekitarnya membuat Benteng Ujung Pandang mudah dikenali. Tembok hitam berlumut kokoh menjulang hingga ketinggian 5 meter. Jika melihat maket Benteng Ujung Pandang, maka bentuknya nyaris seperti penyu yang sedang merayap menuju pantai.
Pintu utama yang terdiri dari dua buah daun pintu besar & berat dengan grendel kuno jarang dibuka penuh, kecuali pintu kecil yang menumpang ke daun pintu besar. Suasana masa lalu segera menyergap begitu melintasi pintu utama yang kokoh dan tebal. Saat ini benteng ujung pandang dijadikan kantor kebudayaan Makasar sehingga kebersihan lingkungan tetap terjaga. Karena lokasinya yang berada dipusat kota, maka seliweran orang, berbagai kegiatan selalu menghiasi halaman benteng, sehingga nuansa mistik yang biasa mewarnai bangunan tua menjadi sirna.
Tak berlama-lama kami segera menuju Tumbak Kayu Bangkoa, meski jalan masuk dipadati oleh becak. Tak sulit kami menemukan operator perahu Daeng Ancu, tawar menawar terjadi agak alot, karena kami bermaksud bernostalgia mengunjungi Pulau Lae-Lae, Pulau Kayangan, Pulau Samalona & Tanjung Bunga sekaligus. Kami sepakat pada harga 250rb. Perahu segera melaju membelah ombak, meninggalkan dermaga Tumbak Kayu Bangkoa. Semilir angin yang mengiringi membuat terik matahari jadi tak terasa. Dengan segera terlihat deretan gedung, pelabuhan & kapal-kapal container di Dermaga Makasar.
Dari kejauhan Pulau Lae-Lae sudah Nampak terlihat jelas, bagang-bagang yang dahulu tersebar banyak antara Makasar & Lae-Lae sudah tak ada lagi. Eit … tapi tunggu disisi kanan itu khan bagang?, benar cuma dengan ukuran agak lebih kecil sedikit, fungsinya masih sama untuk menangkap ikan tapi tidak dengan jala lagi, melainkan dengan pancing. Nelayan Lae-Lae tahu betul kenangan warga Makasar akan bagang yang perlu dilestarikan membangunnya disisi luar kanan pulau, yang lalu dimanfaatkan dengan menyewa oleh hobbies mancing mengeruk ikan dari laut Lae-Lae. Sensasi yang timbul saat ikan, cumi atau udang yang tertangkap dibakar pada panasnya kaca petromax, geliat menjemput ajal pemuas nafsu manusia, tak ada duanya.
Lae-Lae adalah pulau dengan penduduk mayoritas nelayan. Meski telah Nampak padat dengan rumah-rumah penduduk hingga ke bibir pantai. Lae-Lae pantas menjadi pilihan wisata, berbaur dengan penduduk yang ramah, merasakan masakan warung rumahan disudut Lae-lae yang dahulu menjual; kaddu bo’dong{dadar gulung dari sagu diisi dengan parutan kelapa muda & gula kassi’(pasir)}, sarabba (wedang jahe), pallu ce’la(ikan pepes asin) goreng atau yang biasa juku tunu (ikan bakar) & sop saudara. Hmmm … tak terlukiskan lagi nikmatnya
Kedatangan kami yang bersamaan dengan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW juga membawa berkah tersendiri, memakai grobak beberapa warga bantu membantu mendorong bergentong-gentong “kaddo minnyak”(ketan berbumbu dengan lauk ayam, ikan, udang, cumi-cumi) yang dibungkus dengan sarung batik menuju mesjid. Di mesjid sendiri telah berkumpul anak-anak, remaja hingga orang tua mengawasi sumbangan kaddo minnyak dan telur hias berwarna-warni, menunggu saat dilaksanakannya Maulidan & Barasanji yang setelah dibagi ke warga Lae-Lae.Berpindah sejenak dari Makassar yang modern ke Lae-Lae dengan atmosfir yang berbeda.
Sisi kanan pulau Lae-Lae beberapa tunggul menyembul dari dalam laut, uniknya disetiap tunggul itu hinggap seekor burung berwarna putih, bergaris hitam menghadap keluar Lae-Lae seakan menunggu aba-aba berlomba mencari ikan.
Setelah mengelilingi Lae-Lae berjalan kaki tanpa sama sekali berenang, meski pasir putih & jernihnya air laut terus saja menggoda, kami memutuskan meninggalkan Lae-Lae, naik perahu dan melanjutkan perjalanan ke Pulau Kayangan.
Pulau Kayangan … rasa-rasanya tak ada yang berubah, masih dengan bangunan-bangunan & dermaga kayunya. Pulau yang tadinya dikelola secara pribadi, kini telah dikelola oleh kata Daeng Ancu, 4 orang pemilik modal. Bungalow-bungalow berdiri terpisah-pisah diatas pasir putih, resto, arena bermain anak, pondok-pondok beratap plastik ditepi pantai berpasir putih lembut, air laut yang sungguh jernih. Menginap menikmati suasana pulau di pesisir Makasar, maka Kayangan bolehlah menjadi pilihan.
Sisi luar Kayangan menghadap ke laut lepas, memperlihatkan pemandangan birunya laut dengan pulau-pulau kecil, yang jika sore hari memberi sunset mempesona.sementara sisi dalam atau timur menghadap ke pelabuhan kota Makassar, memperlihatkan pemandangan pelabuhan & kota Makassar yang bila malam tiba ditimpali oleh gemerlap lampu-lampu yang indah.
Setelah memutari pulau Kayangan dengan perahu selanjutnya kami menuju pulau Samalona. Di dermaga Samalona terpampang jelas pemilik dari Samalona, penduduk asli Makasar. Syukurlah. Meski terhitung tidak begitu luas, Samalona termasuk pulau yang bersih, indah & rimbun, ditengah pulau terdapat dua atau tiga pohon yang yang telah berusia ratusan tahun. Tersusun dari pecahan karang dengan pasir putih dan air yang sangat jernih, perairan sekitar Samalona hingga puluhan meter keluar menjadi tempat ideal untuk pecinta selam, karena cukup dangkal.
Dengan karang & koral yang masih sehat, maka ikan berwarna-warni, pari & kura-kura tak jarang terlihat bercengkrama disekitar terumbu karang. Pada kedalam sekitar 30-an meter terdapat bangkai kapal Lancaster Bomber sisa pertarungan perang dunia II yang juga telah menjadi rumah ikan. Di Samalona yang namanya Sunrise atau Sunset dapat dinikmati bergantian pagi & menjelang magrib. Eksotis pastinya.
Godaan jernihnya airlaut akhirnya mampu membuat saya sejenak berenang, melompat dari dermaga dengan gaya bebas. Byurrr … airpun tersibak bersama terhamburnya ikan-ikan lure, menghirup aroma laut menyegarkan, menyelam kesana kemari membebaskan semua beban yang mengkungkung. Ach … segarnya.
Tanjung Bunga merupakan destinasi terakhir dari liburan kami hari itu. Tak banyak yang bisa saya ceritakan tentang Tanjung Bunga yang kini telah berubah menjadi pusat hunian & hiburan modern. Yang unik & eksotis. Berada disepanjang bibir pantai dengan danau indah ditengahnya, Tanjung Bunga dengan pasir kehitaman menawarkan sebuah suasana lain.
Terdapat Trans studio yang cukup menghebohkan beberapa waktu lalu, tiket terusan sekali masuk dan lalu nikmati semua fasilitas yang ada cukup Rp.100.000, 00 sampai puas. . Akkarena masih di Tanjung Bunga yang dibangun diatas lahan seluas 12 ha menjadi tujuan selanjutnya, sesuai namanya akkarena yang berarti bermain menawarkan berbagai fasilitas, sport, playground hingga sebuah dermaga tempat menikmati sunset.
Sayangnya waktu kami cukup terbatas, hingga tidak benar-benar bisa menikmati semua fasilitas yang ada. Makasar dahulu & kini selalu saja membujuk kerinduan,mengaduk-aduk perasaan untuk kembali dan kembali lagi.Makasar … keindahanmu sungguh mempesona, rantai mutu manikam nusantara yang abadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H