Di Festival Literasi Indonesia dalam rangka Peringatan Hari Aksara Internasional di Makassar tahun 2019, saya berkesempatan berbincang banyak dengan Badaruddin Amir. Diusianya setengah abad lebih, ia masih layaknya penulis pemula yang senang mencoba beragam tantangan. Ia membacakan langsung cerpennya. Saya dan seorang kawan, M Galang Pratama takzim mendengarnya bermonolog.
Risalah (Gora Pustaka: 2019) merupakan kumcer ketiganya yang dibubuhi kata pengantar Maman S Mahayana. "...Kumpulan cerpen karya Badaruddin Amir ini cukup menarik dijadikan contoh kasus bahwa cerpen dapat dikemas seperti permainan..." Tulis Maman.
Memilih cerpen Pak Badar, begitu saya menyapanya, yang mengantarkan namanya diingat di publik sastra ialah Latopajoko. Sayang, cerpen itu terangkum di kumcer Latopajoko dan Anjing Kasmaran (Akar Indonesia: 2007) dan sudah langkah.
Di kumcer Risalah ini terangkum 18 kisah yang menawan dan menampilkan kesahajaan. Pak Badar meminjam lanskap dongeng di beberapa cerpen dan di cerpen lain bertutur licin.
_
Saya lupa, apakah nama Wawan Mattaliu lebih dulu saya ingat sebagai politikus yang duduk selaku anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, ataukah lebih awal namanya terimpit di rak lewat kumcernya, Warisan (Tomanurung: 2004).Â
Saya juga lupa dari mana memperoleh kumcer ini. Apakah saya membelinya di toko buku atau menemukannya di sekretariat UKM Seni UMI (Universitas Muslim Indonesia). Biasanya saya menandai harga buku yang sudah terbeli dengan kode tertentu, tetapi tidak menemukan hal itu di lembaran kumcer ini. Hanya tertera keterangan tanggal, bulan, dan tahun mendekapnya: 2004.
Jika membaca ulang kumcer ini, serasa bukan membaca catatan Wawan di akun Facebooknya. Ada hal yang begitu berbeda. Sejumlah cerpennya memberikan banyak potongan peristiwa untuk diterka.
Selain Warisan, saya memilih cerpen Perempuan yang menurut saya menujukkan fokus Wawan membangun struktur cerita yang bertumpu pada potongan peristiwa yang tidak semuanya diceritakan.
_
Di tahun 2016 kami berjumpa tanpa janji yang disepakati. Sore itu di teras warkop di jalan Sultan Alauddin dekat dealer kendaraan roda empat. Karena ada janji, ia tidak memesan segelas kopi, setelah basa basi ia menyerahkan kumcernya, Lelaki Gerimis (The Phinisi Press: 2015).
Saya sering membaca cerpennya di rubrik Budaya Harian Fajar yang menjadi ruang mempublikasikan sejumlah karyanya, baik cerpen atau puisi. Lelaki kelahiran Bulukuba ini dikenal dengan nama pena Irhyl R Makkatutu.
Kumcer ini bisa juga disebut antologi puisi karena struktur setiap judul cerpen ada pula larik puisi dengan judul yang sama. Puisi dan cerpen terpisah sekaligus sebagai kesatuan pengalaman di medium yang berbeda.
"Kesan yang tertangkap dalam cerita ini adalah kesunyian dan kesepian..." tulis Nur Alim Djalil, kolumnis Fajar dalam pengantarnya. Hal lain, kita menemukan rekonstruksi kisah yang, mungkin, pengalaman pribadi penulisnya.
Irhyl juga melekatkan kultur yang tidak bisa ia tampik untuk disuarakan. Di cerpen Lipa Sa'be, jenis sarung berkualitas tinggi yang menjadi simbol kelas di kultur Bugis karena harganya mahal dan diproduksi terbatas menjadi petunjuk kandasnya hubungan dua muda mudi. Lelaki Gerimis yang dijadikan judul kumcer menegaskan ciri khas Irhyl yang membangun kesunyian.
_
Tiap kali lebaran tiba, para perantau sudah menyiapkan peta perjalanan pulang ke kampung halaman membawa senyum untuk berkumpul dengan keluarga besar. Serasa hari lebaran telah menghapus kesedihan umat manusia dalam menjalani hidup.
Namun, Dul Abdul Rahman di cerpen Lebaran Kali Ini Hujan Turun yang dijadikan judul antologi cerpennya terbitan Nala Cipta Litera di tahun 2006 ini menawarkan hal berbeda. Lebaran menjadi titik kesedihan.
Di tahun 2012 ketika menerbitkan majalah sastra Lentera di Pangkep, Sulawesi Selatan. Dul saya kirimi surel agar bersedia mengirim kisah dan ia kirimkan cerpen Orang Jatuh Cinta Dilarang Pergi ke Dukun. Padahal saya belum pernah bertatap muka dan mengenal lebih dekat. Hubungan kami tak lebih sebagai penulis dan pembaca.
Rentetan kisah dalam kumcer ini bersoal getir yang dialami manusia. Dul menghidupkan tokoh yang tegar menjalani nasib dengan merawat kesedihan. Jadinya, kita menjumpai manusia yang melewati nasib yang diterima sebagai takdir yang terlepas dari pra kondisi sosial yang melatari. Hal ini begitu terasa di cerpen Lebaran Kali Ini Hujan Turun.
Di cerpen Sampara dan Anaknya juga dijumpai narasi serupa. Manusia hanyalah partikel kecil di tengah badai tragedi yang datang menghampiri.
_
Di cerpen Lebaran Kali Ini Aku Pulang menampilkan situasi yang terbalik. Tokoh Aku di cerpen ini menjadikan indera matanya sebagai penyaksi yang tidak dijumpainya ketika dulu masih kecil. Ia menjumpai beragam perubahan di kampung halamannya. Tegasnya, cerpen ini tidak melepaskan situasi sosial politik walau tidak dijelaskan mendetail. Narasi perubahan yang disaksikan merupakan potongan kesaksian yang terpisah namun memiliki relasi jika memakai cara pandangan politik.
Cerpen ini terangkum di kumcer Kukila (GPU: 2012) karya M Aan Mansyur. Kukila, oleh banyak pembaca merespons kumcer ini menganggap kalau Kukila sebaiknya diterbitkan tersendiri sebagai novela.
Aan Mansyur yang lebih akrab dikenal penyair memang menampilkan hal berbeda ketika menulis cerita. Padahal, ia juga menerbitkan novel dan sejumlah esainya terangkum di beberapa buku antologi. Kekuatan tutur Aan, saya kira, terletak pada diksi yang sederhana dan membawa misi perubahan sosial.
Celana Dalam Rahasia Terbuat dari Besi merupakan cerpen yang sangat ambisius membongkar perilaku patriarki dan refresisnya sebuah sistem. Karena ini bukan khotbah, maka tak perlu dibebani pesan moral.
_
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H