Mohon tunggu...
F Daus AR
F Daus AR Mohon Tunggu... Freelancer - Narablog

Penggerutu

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kisah Chuck Nolan, Pengiriman Logistik, dan Industri 4.0

3 Desember 2019   07:02 Diperbarui: 3 Desember 2019   07:41 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampilan laman J&T Express bila mengecek nomor resi

 

Mengelola penerbitan indie di kota kecil yang jauh dari ekosistem perbukuan, bukan hanya merasakan sunyi, tetapi juga, diribetkan proses distribusi. Memang, di era teknologi informasi saat ini, jarak itu bisa dilipat. Tetapi, tetap saja menyisakan celah dari sisi biaya.

Pagi itu saya kembali menerima pesan melalui WhatsApp, seseorang di seberang sana, di Manokwari, Papua Barat menanyakan pengiriman buku yang baru saja diterbitkan. Tentu, saya tak ingin mengecewakan seseorang itu, yang sebenarnya, senior saya dulu ketika sekolah di Makassar. Buku itu merupakan buku saya yang diterbitkan melalui penerbitan indie yang saya dirikan bersama kawan.

Sesungguhnya, proses pengiriman bukanlah persoalan pelik. Saat ini, bahkan sejak dulu, jasa pengiriman barang sudah ada. Sisa mengepak dan membawa ke jasa pengiriman dan selesaikan administrasi, maka satu langkah pengiriman sudah selesai. Sesederhana itu, saya kira.

Hanya saja, hal tersebut menyepelekan sesuatu. Sifatnya kecil, tetapi itu penting. Apa itu? Yakni kontrol terhadap progres pengiriman barang. Pada titik ini saya pernah kelimpungan. Saya tidak punya akses mengecek paket pengiriman. Nomor kontak yang dihubungi tidak bisa tersambung. Pegecekan nomor resi di website juga tidak menampilkan informasi terbaru.

Pada posisi seperti itu, ingin rasanya meminta bantuan pada Doraemon. Berharap dari kantong ajaibnya keluar mesin waktu dan mengembalikan paket seperti semula dan, lewat mesin waktu itu pula saya berharap dapat berjalan langsung ke lokasi tujuan mengantar barang.

Imajinasi tentang Doraemon perlahan menjadi perwujudan segala keinginan remeh Nobita di kehidupan nyata. Rengekan Nobita serasa menjadi pemantik yang melahirkan revolusi di segala bidang dan saling terkait. 

Fujiko F Fujio, pencipta manga Doraemon, tentulah beda generasi dengan Charles Babbage, orang yang pertama kali mencetuskan ide tentang mesin pintar yang kelak dikenal komputer. Kedua tokoh ini pun tidak saling mengenal dengan Tim Berners Lee, penemu jaringan yang dapat menghubungan kerja melalui komputer. Idenya ini dikenal World Wide Web, atau disingkat 'www' pada sebuah laman.

Kemampuan kantong ajaib Doraemon yang seolah bisa memudahkan jalannya kehidupan serasa ejekan akan dunia yang kita jalani. Tetapi, benarkah kita tak bisa membuat hidup ini berjalan sesuai yang diharapkan. Paling tidak, hidup yang dijalani dipertanggungjawabkan sesuai kemampuan dan berdampak pada manusia yang lain. Pada titik inilah relasi temuan ketiga tokoh di atas menemukan konteksnya. Imajinasi Fujio melalui Doraemon, gagasan mesin pintar Babbage, dan jaringan nir kabel Lee perlahan saling menunjang dalam membantu kehidupan manusia.

Wujud itu bisa kita lihat, misalnya, melalui ragam aplikasi yang bisa diunduh melalui gawai. Tidak terbayangkan sebelumnya jika kita bisa memesan paket pengiriman logistik lengkap dengan jumlah biaya sambil duduk di teras rumah menikmati sarapan. Begitu selesai menyarap (menyudahi menyantap sarapan), kita sisa membawa paket ke kantor jasa pengiriman. Untuk urusan ini, kita bisa memasang aplikasi J&T Express di gawai. Bukankah pengalaman semacam ini serasa menggunakan kantong ajaib Doraemon yang menggabungkan perangkat elektronik dan jaringan nir kabel.

Berbicara mengenai pengiriman paket, saya teringat kisah Chuck Noland di film Cast Away, film yang dirilis di tahun 2000 silam, arahan sutradara Robert Zemeckis dan dibintangi Tom Hanks selaku Chuck Noland. 

Film ini mengisahkan seorang teknisi sistem jasa pengiriman di USA bernama FedEx yang mengalami musibah kecelakaan pesawat dan terdampar di pulau tanpa penghuni. Praktis, semua logistik dalam pesawat turut hilang. Kisah ini terjadi pada Desember 1995. Berentang waktu 20 tahun ketika perusahaan serupa, J&T Ekspress baru diresmikan di Jakarta di tahun 2015.

Setelah melewati masa sulit, Chuck Noland akhirnya diselamatkan awak kapal kargo yang melihatnya terombang ambing di lautan lepas. Upaya itu ditempuh setelah ia mendekam di pulau selama kurang lebih empat tahun. Hidup yang ajaib, sebab Chuck sudah dikira mati.

Setelah merasa baik kembali. Ia lalu melakukan perjalanan ke Texas guna mengantar--mengembalikan paket satu-satunya yang masih tersisa kepada pengirim bernama Bettina Petterson. Sesampai di alamat pengirim, penghuni rumah tidak ada dan Chuck meletakkan paket itu di depan pintu. Dalam perjalanan pulang, seorang wanita pengendra pick up singgah menanyakan arah jalan pada Chuck Noland. Di belakang mobil itu Chuck Noland melihat miniatur sayap malaikat, dalam pikirnya, sayap itu mirip dengan paket yang baru saja dikembalikan.

Situasi kejadian yang dialami Chuck Noland dan perusahaan FedEx tempatnya bekerja, dunia belumlah mengenal industri 4.0. Istilah ini mengacu pada proyek teknologi yang dikembangkan pemerintah Jerman yang menyandarkan pada komputerisasi. Rekomendasi ke pemerintah Jerman baru dilakukan di tahun 2012.

Menilik penjelasan di Wikipedia, pada intinya, prinsip kerja industri 4.0 ini berlandaskan pada kesesuaian perangkat mesin dan manusia dalam melakukan interaksi. Menampilkan transparansi yang dapat diakses oleh publik. Memberikan bantuan teknis yang berguna agar manusia dapat menetapkan keputusan. Dengan prinsip ini, maka industri 4.0 berdampak atau mempengaruhi banyak segmen, salah satunya menyangkut layanan dan bisnis.

Jika mencermati lagi, industri 4.0 ini mengandalkan komunikasi melalui jaringan Internet of Thing (IoT) atau jaringan untuk semua. Ini merupakan konsep objek yang mampu menyebar data melalui jaringan tanpa interaksi manusia. Mungkin, simulasi sederhananya bisa dilekatkan pada perilaku Autobot di film Transformers, dimana para Autobot dapat berinteraksi--bermetamorfosis dengan objek yang memiliki unsur yang sama dengannya. Semua terjadi begitu saja tanpa interaksi manusia.

Lalu, benarkah industri 4.0 menafikan peran manusia. Pada dasarnya, wacana ini mengajak kembali pada dampak revolusi industri ketika keberadaan mesin menggantikan peran manusia untuk meningkatkan produksi. Dalam prosesnya kemudian, manusia tidak benar-benar dihapus. Hanya dibatasi pada jumlah dalam proses. Nah, bagaimana peran manusia di industri 4.0 yang tak lain merupakan kelanjutan dari revolusi industri itu sendiri. Di titik ini, sumber daya manusia menjadi persoalan pelik yang perlu penguraian lebih lanjut, jika tidak dikatakan dibutuhkan perombakan dari awal dalam melakukan adaptasi agar terlibat dalam industri 4.0.

Melihat ke dalam, Indonesia bukannya tidak memperoleh berkah dari laju revolusi ini. Tetapi, jika melakukan klasifikasi manfaat, Indonesia hanya mengambil peran dalam proses transaksi e-comeerce. Pencapaian dari perusahaan berbasis internet ini, atau dikenal luas dengan sebutan startup, perusahaan rintisan yang mengalami perkembangan begitu pesat.

Sinergitas inilah yang dibaca perusaahan jasa dalam mengambil peran di dalamnya. J&T Express, sebagaimana slogannya: Express Your Online Business, dengan kata lain, apa pun bisnis yang sedang dirancang, pastikan itu berkorelasi dengan jaringan. Apa lagi menyangkut transaksi daring dan memerlukan proses pengiriman logistik. J&T Express adalah mitra pilihan dalam menjangkau wilayah Indonesia.

Dan, di pagi hari itu, usai membalas pesan WhatsApp teman di Manokwari, saya melajukan sepeda motor menuju tempat kerja guna menyiapkan paket pengiriman buku kemudian meminta izin ke kantor J&T Express yang lokasinya tidaklah jauh. Sekitar lima menit, saya sudah sampai di halaman parkir kantor J&T Express cabang Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

Paket logistik berisi buku siap dikirim ke Manokwari, Papua Barat
Paket logistik berisi buku siap dikirim ke Manokwari, Papua Barat

Seorang karyawan, lelaki berusia sekitar 20 tahunan mengenakan kemeja motif batik menyambut. Usai menjelaskan keperluan, ia menyampaikan besaran biaya dengan durasi pengiriman ke Manokwari. "Kalau paket ekspres berapa," saya bertanya. "Ini sudah paket ekspress, Pak." Jawabnya. Setelah sepakat, ia mencatat di lembar resi dan meyerahkan selembar usai saya membubuhkan tanda tangan.

"Selanjutnya Bapak bisa mengecek di website jika ingin mengetahui progres pengiriman." Ia menyarankan. Esoknya, saran pegawai J&T Express itu saya coba dengan memasukkan nomor resi. Hasilnya, proses penginputan dapat dilihat. Laman jet.co.id memiliki pilihan tiga bahasa, yakni Inggris, Indonesia, dan Mandarin. Fitur demikian, saya kira, sudah memenuhi asas transparansi publik yang menjadi salah satu prinsip industri 4.0.

Tampilan laman J&T Express bila mengecek nomor resi
Tampilan laman J&T Express bila mengecek nomor resi

Namun, secanggih apa pun fitur yang ditawarkan dari perkembangan teknologi. Bagi saya, fitur yang menarik tetap ada pada manusia. Bagaimana pun, revolusi tetaplah kreasi manusia, ada hal-hal yang tidak bisa digantikan oleh mesin. Sewaktu mendengar biaya yang harus saya bayar, pegawai J&T Express itu menangkap kerut di wajah saya. Ia lalu menyarankan ke jasa pengiriman yang lain. Saya tersenyum mendengarnya. Rezeki sudah di depan mata, malah ia memberi pilihan. Mestinya ia menjelaskan lebih lanjut mengenai keunggulan pengiriman J&T Express, tetapi ia menempuh dengan memberikan pilihan. Saya bergeming dan tetap memakai jasa J&T Express.

Seketika saya teringat kisah Chuck Noland, meski, pegawai J&T Express itu tidak mengalami peristiwa serupa. Tetapi, ada nilai kemanusiaan yang melekat. Bahwa, manusia membutuhkan pilihan bebas dalam menentukan pilihan. Sebagaimana Chuck Noland, setelah ia selamat, ia bisa saja tidak perlu mengembalikan paket kiriman atau, buat apa dia membawa paket itu dan tidak meninggalkan saja di pulau, toh publik sudah tahu kalau penerbangannya mengalami kecelakaan yang menjadi akhir dari perjalanan paket tersebut.

Jika mengingat kembali, saya baru bisa menyadari mengapa orang-orang di kampung tetap menitipkan barang pada orang yang sudah dikenal untuk urusan pengiriman barang. Mengapa ia tidak memakai jasa pengiriman. Meski ribet, tetangga di kampung tetap menitipkan barang ke pada kakak saya yang hendak menunaikan ibadah haji tempo hari. Barang itu untuk anaknya di Arab Saudi yang bekerja sebagai TKI.

Padahal, barang itu juga tetap sampai jika dikirimkan melalui jasa pengiriman. Jawabnya, saya kira, minimnya literasi mengenai jasa pengiriman yang menjadi pangkal. Padahal, tetangga itu juga membekali uang kepada kakak saya kalau di bandara dikenakan biaya tambahan kargo. Namun, kita dapat menangkap kalau logistik itu sesuatu yang berharga sehingga perlu dititipkan pada orang yang memang dipercaya.

Chuck Noland telah memberikan teladan yang dapat dijadikan pelajaran mengenai pentingnya barang yang dikirimkan manusia kepada manusia. Dan, bukankah, yang mengantar logistik itu juga manusia. Maka, indusri 4.0 tetaplah perlu mengandung sifat kemanusiaan. Saya melihat kecenderungan kemanusiaan itu pada pegawai J&T Ekspress.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun