Lantas, apa yang salah dari zonasi sehingga menimbulkan polemik yang menahun begini?
Pertama, dalam Permendikbud No. 17 Tahun 2017 Pasal 15 Ayat (3), diatur bahwa radius zona terdekat diatur oleh pemerintah daerah sesuai dengan kondisi di daerah tersebut berdasarkan jumlah ketersediaan daya tampung dan ketentuan rombongan belajar masing-masing sekolah dengan ketersediaan anak usia sekolah di daerah tersebut. Poin ini, di atas segalanya, mengganggu pikiran saya.
Katakanlah Kabupaten A menerapkan zona yang dimaksud berdasarkan jumlah kecamatan. Kabupaten A memiliki 10 kecamatan, maka dibagi menjadi 2 zona.Â
Zona X terdiri dari 4 kecamatan dan 12 SMA Negeri, sedangkan Zona Y terdiri dari 6 kecamatan dengan jumlah 10 SMA Negeri. Akibatnya, para calon siswa SMA di Zona X akan mendapatkan kesempatan melanjutkan sekolah yang lebih besar ketimbang kawan-kawan mereka yang tinggal di Zona Y.
Ini benar-benar terjadi. Di Kota Tangerang, level SMP terbagi dalam tiga zonasi. Di Zona 1 yang melingkupi kecamatan Ciledug, Larangan, Karang Tengah, dan Pinang hanya terdapat enam SMP. Sementara di Zona 2 yang melingkupi lima kecamatan terdapat 15 SMP. Di Bojonggede, Bogor, hanya terdapat 1 SMA Negeri.
Kedua, masih timpangnya kualitas pendidikan di beberapa daerah sepanjang nusantara. Dalam tataran mikro, mungkin ketimpangan tidak terlalu mencolok.Â
Saya mencoba membandingkan dua sekolah di Kecamatan Cibinong. Dalam hal ini, sekolah yang dianggap unggulan yang saya ambil merupakan mantan penyandang "RSBI", SMAN 2 Cibinong. Sebagai pembanding, SMAN 3 Cibinong.
Dari segi fasilitas, kedua sekolah memang hampir tidak memiliki perbedaan. Jumlah laboratorium, perpustakaan, dan sarana sanitasi siswa adalah sama di kedua instansi.Â
Beitu pula dengan kesediaan akses internet. Perbedaan dari keduanya tampak pada rasio siswa guru (20,39 untuk SMAN 2 Cibinong dan 23,64 untuk SMAN 3 Cibinong), persentase guru PNS (67,86 untuk SMAN 2 Cibinong dan 59,57 untuk SMAN 3 Cibinong), serta persentase guru sertifikasi (60,71 untuk SMAN 2 Cibinong dan 57,45 untuk SMAN 3 Cibinong).
Namun dalam tataran makro, ketimpangan dapat dilihat secara jelas dari penyebaran dana bos yang lebih besar untuk sekolah-sekolah di provinsi yang cenderung lebih maju ketimbang provinsi lain.Â
Sebut saja, DKI Jakarta selama 3 triwulan terakhir di 2018 mendapatkan kucuran dana BOS dengan besaran rata-rata 155,3 milyar rupiah untuk sekitar 1.250 sekolah.Â