Sampah plastik masih menjadi isu yang diperbincangkan secara masif di berbagai belahan bumi. Hal ini diakibatkan oleh tak terkendalinya jumlah sampah plastik yang sulit terurai dan seringkali berakhir di laut hingga merusak ekosistemnya.Â
Menurut Sarah Gibbens pada salah satu artikelnya yang dimuat oleh National Geographic dengan judul "A Brief History of How Plastic Straws Took Over the World", 8 ribu ton plastik berakhir di lautan setiap tahun. 0,025% dari keseluruhan tersebut disumbang oleh sampah sedotan plastik.
Karena itulah, gerakan tanpa sedotan yang dipopulerkan dengan tagar #NoStrawMovement mulai pertengahan 2018 sangat gencar dilakukan guna mereduksi penggunaan sedotan plastik. Tak lama setelahnya, beberapa di antara kita terkena tren menggunakan stainless straw yang dianggap lebih ramah lingkungan ketimbang sedotan plastik.Â
Logikanya sederhana, stainless straw dapat digunakan berkali-kali karena washable alias dapat dicuci sehingga sampah sedotan plastik yang disposable (sekali pakai) dapat dikurangi. Tentu saja lebih ramah lingkungan, bukan?
Namun, benarkah stainless straw jauh lebih ramah lingkungan ketimbang plastic straw? Sebuah riset tentang sedotan justru mengatakan sebaliknya.
Riset yang diinisiasi oleh Engr308 Technology and Environment dan Humboldt State University yang berjudul "HSU Straw Analysis" memiliki tujuan utama untuk menganalisis dan membandingkan efek dari dampak berbagai jenis sedotan berdasarkan energi yang tertanam dalam masing-masing jenis sedotan serta emisi karbondioksida yang dihasilkan.
Adapun objek yang digunakan terdiri dari 5 jenis sedotan: 3 di antaranya reuseable (sedotan stainless, kaca, dan bambu); 2 lainnya merupakan jenis disposable (sedotan plastik dan sedotan kertas).
Hasil riset menyatakan bahwa jenis sedotan stainless-dalam pembuatannya-mengeluarkan energi dan emisi CO2 paling banyak ketimbang jenis sedotan lain.Â
Berdasarkan data dalam laporan "HSU Straw Analysis", dapat disimpulkan bahwa sedotan jenis stainless mengeluarkan energi paling banyak dalam pembuatannya yakni sebesar 2420 kJ, disusul sedotan kaca (1074 kJ), sedotan bambu (756 kJ), sedotan plastik (23,7 kJ) dan sedotan kertas (16 kJ).Â
Hal tersebut berbanding lurus dengan emisi gas yang dihasilkan di mana sedotan stainless masih menempati posisi tertinggi dengan angka 217 gCO2, dibawahnya ada sedotan kaca (65,2 gCO2), sedotan bambu (38,8 gCO2), sedotan plastik (1,46 gCO2), dan sedotan kertas (1,38 gCO2).
Pada studi kasus di Humboldt State University, diasumsikan bahwa penggunaan disposable straw yang digunakan dalam sehari berjumlah 1000 dengan jumlah hari aktif di kampus sebanyak 146 hari per tahun. Di samping itu, juga diasumsikan bahwa ada 3500 mahasiswa di kampus per tahun (jumlah ini belum termasuk dosen, staf, serta pekerja lain).
Dengan asumsi tersebut, didapatkanlah data bahwa energi yang disimpan masing-masing jenis sedotan tetap diduduki oleh sedotan stainless di urutan pertama dengan jumlah energi 8,466 MJ. Urutan kedua ditempati oleh sedotan plastik (3,968 MJ), dan disusul oleh sedotan kaca (3,869 MJ), sedotan bambu (2,64 MJ), dan terakhir sedotan kertas (2,197 MJ).Â
Adapun untuk urutan emisi karbondioksida paling tinggi juga diduduki oleh sedotan jenis stainless (760,095 gCO2), disusul sedotan jenis kaca (228,130 gCO2), sedotan plastik (211,7 gCO2), sedotan kertas (201,48 gCO2), dan yang paling sedikit mengeluarkan emisi karbondioksida adalah sedotan bambu (136,045 gCO2)
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sedotan stainless bukanlah solusi yang tepat untuk menggantikan sedotan plastik dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan oleh besarnya energi dalam proses pembuatannya, juga besarnya emisi CO2 yang dihasilkannya. Sedotan stainless memiliki selisih yang sangat jauh pada kedua aspek tersebut jika dibandingkan dengan sedotan jenis lainnya.
Dalam pandangan saya pribadi, jika didasari oleh riset HSU tersebut, maka solusi yang paling efektif untuk mengurangi sampah sedotan plastik adalah dengan menggunakan sedotan kertas atau sama sekali tidak menggunakan sedotan.Â
Sedotan kertas dapat dipertimbangkan karena meskipun emisi karbondioksida yang dihasilkannya lebih banyak ketimbang sedotan bambu (sekitar 65,435 gCO2), namun ia menyimpan energi paling sedikit di antara keempat jenis sedotan lainnya (selisih dengan bambu sebanyak 0.443 MJ atau sekitar 443 kJ). Selain itu, sedotan kertas lebih mudah terurai ketimbang sedotan plastik sehingga berpotensi mengurangi polusi di laut.
Meski begitu, tetap saja sedotan kertas menyimpan energi dan menghasilkan emisi karbondioksida yang cukup besar dalam jumlah banyak. Penggunaannya juga akan tetap menghasilkan sampah, meskipun pengaruhnya untuk ekosistem laut tidak sebesar sedotan plastik.
Pilihan untuk sama sekali tidak menggunakan sedotan dalam kehidupan sehari-hari dapat sangat membantu melestarikan bumi ini. Lagipula, bukan sebuah masalah yang besar, bukan, untuk menenggak minuman langsung dari gelasnya? So, cheers!
Referensi:
Gibbens, Sarah. 2019. A Brief History of How Plastic Straws Took Over the World. Diakses 3 Maret 2019.
Tolbert, Megan dan Katie Koscielak. 2018. HSU Straw Analysis. Diakses 2 Maret 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H