"Emang salah nikah sama TKW? Mereka juga manusia, kan?". Nada penuh kekesalah itu terlontar dari mulut salah satu senior. Hampir seluruh tahun-tahunnya di Mesir dia habiskan untuk bekerja. Akhirnya dia meninggalkan kuliahnya dan memutuskan untuk sepenuhnya bekerja. Beberapa waktu kemudian hatinya terpaut pada seorang gadis yang bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia di Mesir yang kemudian diperistrinya.
Komentar-komentar miring tentang TKW Indonesia di negara ini mulai terdengar sejak beberapa bulan terakhir. Mulai dari bentuk tanggapan sinis seperti, "Siapa sih istrinya?" "TKW" "Oooh...Tekawee...", "TKW..?!", atau lebih miring,"Masa sih? Mau-maunya sama TKW?"
Nada miring tersebut mulai beranak pinak. "eh tuh liat! Cantik!" "Aaah, itukan TKW!" "Cantik sih, tapi udah ****** pastinya". Untuk selanjutnya nada-nada miring bahkan kotor ini berdiri sendiri, tidak hanya berperan sebagai jawaban sebuah pertanyaan, bukan lagi sekedar respon sebuah pernyataan. Nada miring itu telah menjadi pernyataan yang berdiri sendiri. Sebuah kalimat lengkap dengan nada yang merendahkan.Â
Akhirnya kata 'TKW' tidak lagi membutuhkan struktur sebuah kalimat sempurna untuk menunjukkan pandangan negative sang komentator terhadap mereka. Tidak jarang TKW menjadi bahan lelucon, bahan gunjingan, dan menjadi objek mata yang melontarkan lirikan tak bersahabat. Siapa yang melakoni? Mahasiswa. Khususnya mahasiswa dari salah satu komunitas yang termasuk 'disegani' di negeri ini. Cuma sebagian kecil tentunya, hanya populasi lakon kasus ini perlahan menunjukkan pertumbuhannya.
Salah seorang tetua perantau Indonesia di sini mengatakan bahwa TKW Indonesia di sini baru bermunculan beberapa tahun belakangan. Sumber lain mengatakan bahwa sampai saat ini belum ada pengurusan TKW Indonesia untuk Mesir secara resmi. Tapi bukan itu yang ingin saya bahas di sini. Saya ingin bercerita tentang keduabelah pihak yang telah menduduki negara ini untuk beberapa waktu: Mahasiswa dan TKW Indonesia di Mesir.
Ada apa dengan TKW? Apa hubungannya dengan mahasiswa? Mahasiswa berteman dengan TKW, mahasiswa berbisnis dengan TKW, mahasiswa menikah dengan TKW, mahasiswa berpacaran dengan TKW, mahasiswa mengunjungi rumah TKW, mahasiswa jalan dengan TKW, mahasiswa dikasih uang jajan sama TKW, dan mahasiswa kumpul kebo dengan TKW. Itulah berbagai bentuk hubungan yang terjadi di antara dua golongan ini. Memang cuma sebagian kecil yang terlibat dengan bentuk-bentuk hubungan tersebut, terutama jenis hubungan yang terakhir, tapi sistem pukul rata berlaku sudah, satu oknum berbuat, sekampung kena getahnya? Nama TKW rusak, mahasiswa yang bergaul dengan TKW pun dipandang sebagai mahasiswa rusak, tanpa perlu melihat bentuk hubungan mereka seperti apa.
Tentunya tidak ada yang perlu dipermasalahkan dengan pernikahan mahasiswa dengan TKW, atau mahasiswa berteman dan berbisnis dengan TKW. Beberapa orang mahasiswa membuka warung makan kecil-kecilan di kota ini, dan beberapa orang dari mereka bekerjasama dengan TKW. TKW adalah pemodal handal untuk usaha semacam ini. Apa itu perlu dipermasalahkan? Bisa, kalau urat-urat saraf di kepala sudah tidak pada tempatnya.
Mahasiswa kumpul kebo dengan TKW? Masalah! Masiswa ngapel sama TKW dengan berbagai alasan, mulai dari cerita cinta sampai motif simbiosis mutualisme fisik. TKW dapat "pleasure", mahasiswa dapat "pleasure" plus uang jajan. Mereka dikasih uang jajan, dimasakin, dibeliin makanan. Fakta yang paling miris -- meski bukan sebuah fakta yang mengejutkan -- : mahasiswa memanfaatkan kondisi TKW.Â
Sebagian mereka melakoni kisah mereka apa adanya, tanpa babibu membersihkan diri mereka di hadapan publik dengan melontarkan tudingan pada pihak lain. Sebagian lain adalah tipe oportunis pengecut. Beberapa mahasiswa yang terlibat mengakui, bahwa affair mereka dengan TKW hanya untuk main-main, untuk uang jajan bulanan, pulsa, dan sanak saudaranya, mereka berlagak sebagai teman ngobrol yang baik, atau pacar yang baik dan segala tetek bengeknya. Pada saat yang sama mereka membantahnya dengan senyum kecut, "Ngga ah, buat selingan doang, masa gua mau sama TKW, gila apa?" What a coward! Saya tidak tahu apakah yang terjadi juga sebaliknya, bisa jadi justru mahasiswa yang dimanfaatkan oleh TKW.
 Entah apa pandangan TKW tentang mahasiswa, tidak tertutup kemungkinan ada di antara mereka yang berpandangan serupa, toh kondisi yang berlangsung bukanlah sebuah kondisi yang bisa dibangun hanya oleh salah satu pihak. Dalam kasus ini TKW bukan orang yang berjalan telanjang bulat di jalanan tanpa alasan yang jelas untuk bisa ditertawakan begitu saja, dan mahasiswa juga bukan rampok yang berteriak-teriak di siang bolong. Semua terjadi di balik tirai. Kita bicara mengenai yang keluar dari balik tirai tersebut.
Entah dari mana image TKW sebagai wanita kesepian -- dan bahwa pekerjaan mereka cenderung dipandang sebagai pekerjaan rendah -- berasal. Apa mungkin dari kisah-kisah TKW Indonesia di Negara lain yang cenderung miring? TKW Indonesia di Mesir lebih beruntung dari pada TKW Indonesia di negara lain seperti Arab Saudi di mana TKW terkadang dipaksa merangkup sebagai pemuas nafsu majikan**. Majikan-majikan mereka di Mesir jauh lebih beradab. Dan meski strata mereka tidak sebagus TKW Indonesia di Hongkong, setidaknya mereka tidak harus bergelut dengan daging babi di dapur majikan mereka.
Sayangnya mereka masih disemati dengan image yang tidak baik di mata orang sebangsa mereka sendiri, dalam hal ini mahasiswa. "Mau gampang dapet duit? Tuh jadi gigolo sana, main sama TKW". Yang saya tahu, lelucon yang tidak sama sekali tidak lucu ini keluar dari mulut seseorang yang tidak tahu tentang TKW, mewakili sekian banyak pandangan serupa dari orang-orang yang sebenarnya tidak tahu dengan apa yang mereka ucapkan.
Biarkan saya bercerita sejenak. Beberapa waktu lalu, saya bekerja di sebuah komplek perumahan konglomerat Mesir di daerah 6th October City. Selama beberapa bulan di sana, saya bertemu beberapa orang TKW Indonesia yang bekerja di komplek tersebut. Rata-rata seumuran saya atau sedikit lebih tua. Kesan yang didapat: ekspresi wajah senang seseorang yang bertemu orang sebangsa di tanah asing, merasa akrab dalam kurun waktu yang singkat lewat percakapan sederhana, dan tanpa banyak pertimbangan mengajak saling tukar nomor handphone. Tanya buat apa nomor handphone? "nggaa...buat crita2 aja abis kerja" dengan senyum kaku.Â
Dalam beberapa waktu tersebut, saya tangkap bahwa mereka cuma ingin berteman, paling tidak teman untuk diajak ngobrol pakai bahasa Indonesia, bukan partner sex. Yang mereka tahu, yang mereka temui adalah orang sebangsa mereka, orang yang paling nyambung untuk dijadikan teman di perantauan. Meski mungkin yang mereka temui adalah orang yang tidak suka sambal dan lebih suka makan pakai kecap, setidaknya mereka sama-sama suka makan nasi yang dimasak tanpa minyak, bukan orang yang sarapan pagi dengan roti gandum dan bubur kacang serta berbicara dengan bahasa yang sulit mereka mengerti.
Tidakkah cara pikir seperti ini terlalu hijau? Dari pada bergulat dengan dugaan, mari kita dengar dunia nyata berbicara. Jika kita pernah merasakan bagaimana rasanya berada seorang diri di tengah-tengah orang asing dengan bahasa dan gaya bicara -- hampir semua gaya -- yang mereka miliki benar-benar asing -- dalam waktu yang cukup lama -- seperti kontrak seorang TKW 2-4 tahun, memiliki seseorang yang bisa diajak bicara dan bercanda santai dengan bahasa yang benar-benar dimengerti oleh kedua belah pihak adalah hal yang sangat menyenangkan.Â
Kita, mahasiswa, bertemu dengan orang Indonesia di Kairo bukanlah sebuah masalah, mereka banyak tinggal dan berkeliaran di Nasr City, dan kita bertemu di kampus, Wisma Nusantara, senat-senat fakultas, acara-acara kekeluargaan dalam banyak kesempatan. Tapi para TKW di October 6th, Qatamiya, Syaikh Zaid, Tajammu', orang Indonesia adalah teman langka bagi mereka, ditambah dengan jam-jam yang bisa mereka gunakan untuk sekedar mengobrol dengan teman sekomplek terbatas. Apalagi rata-rata TKW bukan orang yang dibekali dengan bahasa Arab. Jangankan mereka, sebagian besar mahasiswa al-Azhar yang sudah beberapa tahun di Mesir pun harus mengakui bahwa mereka masih mengalami kesulitan memahami bahasa amiyah Mesir --- sebagian karena mereka malas keluar dan sibuk dengan komputer dan internet di kamar.
Lalu apa yang salah saat mereka berteman dengan mahasiswa? Liburan dua hari dalam dua minggu adalah hari yang paling menyenangkan bagi saya, saat-saat saya bisa berkumpul dengan teman-teman sebahasa, se-sambal, se-lelucon. Rasanya itu pula-lah yang mereka rasakan saat mereka liburan, menghirup udara di luar komplek perumahan konglomerat yang sangat membosankan bersama teman-teman mereka. Meskipun mereka mengenal interaksi lewat dunia maya, barang seperti itu tidak akan pernah dapat menggantikan interaksi dunia nyata. Dan masalah teman, rekan bisnis, dan jodoh, saya rasa status sebagai mahasiswa atau sebagai tenaga kerja bukanlah sebuah pembatas. Kita tentunya tahu batasan konkrit untuk itu, dan status sebagai pelajar atau tenaga kerja tidak termasuk di dalamnya.
"Saya pernah telpon-telponan sama TKW, belum apa-apa permbicaraan kami sudah menyerempet ke phonesex, bahkan dia yang duluan ngajakin ML?!" Bukannya itu berarti anda yang bobrok, wahai mahasiswa? Tamu tidak akan berani masuk kalau anda tidak membukakan pintu.
Banyak pihak yang tidak bertanggung jawab menjadi tokoh utama dalam isu ini. Ada yang terlibat langsung dan terang-terangan mengakuinya kepada teman-teman dekat mereka, terang-terangan memanfaatkan TKW, dan ada yang mencuci tangan di depan mahasiswa lainnya. Dan sayangnya, sebagian pendengar adalah kerbau yang dicolok hidungnya, menerima tanpa mengkritisi, ikut mendukung "kampanye" TKW merusak mahasiswa, bahwa TKW adalah wanita-wanita kesepian yang berburu "teman".Â
Sebagian besar kita tidak tahu bagaimana kehidupan mereka sebagai tenaga kerja di negeri ini, kita hanya menjudge dari kabar-kabar burung yang kita konsumsi secara instan. Ya, bisa jadi di antara mereka ada yang memang ingin menjerat mahasiswa untuk kesenangan mereka, apa itu berarti mahasiswa tidak ada yang seperti itu? Julukan mahasiswa bukanlah jaminan kesucian, meskipun di embel-embeli dengan nama al-Azhar. Dan TKW bukanlah lambang kerusakan, setidaknya mereka bekerja, tidak seperti sebagian mahasiswa yang cuma bisa menghambur-hamburkan uang, berbantal kemalasan, berburu kesenangan kian kemari.
Mahasiswa menikahi TKW? The question is, can you top it? Bukankah seharusnya kita bisa menjadikan itu sebagai sebuah teladan komitmen? Dibandingkan dengan mahasiswa yang cuma berani kumpul kebo dengan TKW. Dibandingkan dengan mahasiswa-mahasiswa yang cuma berani melontarkan rayuan-rayuan lewat chatting seharian, kelayapan dengan lawan jenis tanpa ikatan yang halal, pacaran jarak jauh dan segala macam koleganya.
Bagaimana dengan TKW yang keluar berpakaian sexy dan berdandan menor? Oh C'mon!!
Let's draw our lines wisely.
Wallahu A'lam.
=======~=======
Notes (Updated):
** Setidaknya inilah kesan saya tentang Arab Saudi dan TKW Indonesia ketika tulisan ini dibuat (tahun 2012). Namun belakangan, sejumlah fakta dan logika telah menunjukkan bahwa kesan ini adalah tak lebih dari stereotip dan manipulasi media.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H