Mohon tunggu...
Arif Hidayat
Arif Hidayat Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mesir: Mahasiswa dan TKW

20 Juli 2017   07:00 Diperbarui: 20 Juli 2017   08:31 1564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah dari mana image TKW sebagai wanita kesepian -- dan bahwa pekerjaan mereka cenderung dipandang sebagai pekerjaan rendah -- berasal. Apa mungkin dari kisah-kisah TKW Indonesia di Negara lain yang cenderung miring? TKW Indonesia di Mesir lebih beruntung dari pada TKW Indonesia di negara lain seperti Arab Saudi di mana TKW terkadang dipaksa merangkup sebagai pemuas nafsu majikan**. Majikan-majikan mereka di Mesir jauh lebih beradab. Dan meski strata mereka tidak sebagus TKW Indonesia di Hongkong, setidaknya mereka tidak harus bergelut dengan daging babi di dapur majikan mereka.

Sayangnya mereka masih disemati dengan image yang tidak baik di mata orang sebangsa mereka sendiri, dalam hal ini mahasiswa. "Mau gampang dapet duit? Tuh jadi gigolo sana, main sama TKW". Yang saya tahu, lelucon yang tidak sama sekali tidak lucu ini keluar dari mulut seseorang yang tidak tahu tentang TKW, mewakili sekian banyak pandangan serupa dari orang-orang yang sebenarnya tidak tahu dengan apa yang mereka ucapkan.

Biarkan saya bercerita sejenak. Beberapa waktu lalu, saya bekerja di sebuah komplek perumahan konglomerat Mesir di daerah 6th October City. Selama beberapa bulan di sana, saya bertemu beberapa orang TKW Indonesia yang bekerja di komplek tersebut. Rata-rata seumuran saya atau sedikit lebih tua. Kesan yang didapat: ekspresi wajah senang seseorang yang bertemu orang sebangsa di tanah asing, merasa akrab dalam kurun waktu yang singkat lewat percakapan sederhana, dan tanpa banyak pertimbangan mengajak saling tukar nomor handphone. Tanya buat apa nomor handphone? "nggaa...buat crita2 aja abis kerja" dengan senyum kaku. 

Dalam beberapa waktu tersebut, saya tangkap bahwa mereka cuma ingin berteman, paling tidak teman untuk diajak ngobrol pakai bahasa Indonesia, bukan partner sex. Yang mereka tahu, yang mereka temui adalah orang sebangsa mereka, orang yang paling nyambung untuk dijadikan teman di perantauan. Meski mungkin yang mereka temui adalah orang yang tidak suka sambal dan lebih suka makan pakai kecap, setidaknya mereka sama-sama suka makan nasi yang dimasak tanpa minyak, bukan orang yang sarapan pagi dengan roti gandum dan bubur kacang serta berbicara dengan bahasa yang sulit mereka mengerti.

Tidakkah cara pikir seperti ini terlalu hijau? Dari pada bergulat dengan dugaan, mari kita dengar dunia nyata berbicara. Jika kita pernah merasakan bagaimana rasanya berada seorang diri di tengah-tengah orang asing dengan bahasa dan gaya bicara -- hampir semua gaya -- yang mereka miliki benar-benar asing -- dalam waktu yang cukup lama -- seperti kontrak seorang TKW 2-4 tahun, memiliki seseorang yang bisa diajak bicara dan bercanda santai dengan bahasa yang benar-benar dimengerti oleh kedua belah pihak adalah hal yang sangat menyenangkan. 

Kita, mahasiswa, bertemu dengan orang Indonesia di Kairo bukanlah sebuah masalah, mereka banyak tinggal dan berkeliaran di Nasr City, dan kita bertemu di kampus, Wisma Nusantara, senat-senat fakultas, acara-acara kekeluargaan dalam banyak kesempatan. Tapi para TKW di October 6th, Qatamiya, Syaikh Zaid, Tajammu', orang Indonesia adalah teman langka bagi mereka, ditambah dengan jam-jam yang bisa mereka gunakan untuk sekedar mengobrol dengan teman sekomplek terbatas. Apalagi rata-rata TKW bukan orang yang dibekali dengan bahasa Arab. Jangankan mereka, sebagian besar mahasiswa al-Azhar yang sudah beberapa tahun di Mesir pun harus mengakui bahwa mereka masih mengalami kesulitan memahami bahasa amiyah Mesir --- sebagian karena mereka malas keluar dan sibuk dengan komputer dan internet di kamar.

Lalu apa yang salah saat mereka berteman dengan mahasiswa? Liburan dua hari dalam dua minggu adalah hari yang paling menyenangkan bagi saya, saat-saat saya bisa berkumpul dengan teman-teman sebahasa, se-sambal, se-lelucon. Rasanya itu pula-lah yang mereka rasakan saat mereka liburan, menghirup udara di luar komplek perumahan konglomerat yang sangat membosankan bersama teman-teman mereka. Meskipun mereka mengenal interaksi lewat dunia maya, barang seperti itu tidak akan pernah dapat menggantikan interaksi dunia nyata. Dan masalah teman, rekan bisnis, dan jodoh, saya rasa status sebagai mahasiswa atau sebagai tenaga kerja bukanlah sebuah pembatas. Kita tentunya tahu batasan konkrit untuk itu, dan status sebagai pelajar atau tenaga kerja tidak termasuk di dalamnya.

"Saya pernah telpon-telponan sama TKW, belum apa-apa permbicaraan kami sudah menyerempet ke phonesex, bahkan dia yang duluan ngajakin ML?!" Bukannya itu berarti anda yang bobrok, wahai mahasiswa? Tamu tidak akan berani masuk kalau anda tidak membukakan pintu.

Banyak pihak yang tidak bertanggung jawab menjadi tokoh utama dalam isu ini. Ada yang terlibat langsung dan terang-terangan mengakuinya kepada teman-teman dekat mereka, terang-terangan memanfaatkan TKW, dan ada yang mencuci tangan di depan mahasiswa lainnya. Dan sayangnya, sebagian pendengar adalah kerbau yang dicolok hidungnya, menerima tanpa mengkritisi, ikut mendukung "kampanye" TKW merusak mahasiswa, bahwa TKW adalah wanita-wanita kesepian yang berburu "teman". 

Sebagian besar kita tidak tahu bagaimana kehidupan mereka sebagai tenaga kerja di negeri ini, kita hanya menjudge dari kabar-kabar burung yang kita konsumsi secara instan. Ya, bisa jadi di antara mereka ada yang memang ingin menjerat mahasiswa untuk kesenangan mereka, apa itu berarti mahasiswa tidak ada yang seperti itu? Julukan mahasiswa bukanlah jaminan kesucian, meskipun di embel-embeli dengan nama al-Azhar. Dan TKW bukanlah lambang kerusakan, setidaknya mereka bekerja, tidak seperti sebagian mahasiswa yang cuma bisa menghambur-hamburkan uang, berbantal kemalasan, berburu kesenangan kian kemari.

Mahasiswa menikahi TKW? The question is, can you top it? Bukankah seharusnya kita bisa menjadikan itu sebagai sebuah teladan komitmen? Dibandingkan dengan mahasiswa yang cuma berani kumpul kebo dengan TKW. Dibandingkan dengan mahasiswa-mahasiswa yang cuma berani melontarkan rayuan-rayuan lewat chatting seharian, kelayapan dengan lawan jenis tanpa ikatan yang halal, pacaran jarak jauh dan segala macam koleganya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun