Mohon tunggu...
Arif Hidayat
Arif Hidayat Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Modern Sama dengan Cerdas?

16 Juli 2017   05:57 Diperbarui: 17 Juli 2017   10:28 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa batang paha tanpa penutup yang sibuk hilir mudik di televisi pagi ini mengundang celetukan penasaran dari sebuah suara yang masih begitu muda. "Sepertinya mereka itu wanita-wanita cerdas, kok ?"

Cerdas?

Benarkah?

Jika kecerdasan adalah kemampuan berucap hi gaaiiis, wow...emeeeizing,surrprraaaiiss....so swiiiittt ~ dengan logat memble yang dimanja-manjakan, serta huruf R yang bergemuruh seperti kunyahan kerupuk, ya berarti mereka memang cerdas. Kalau kecerdasan adalah kemampuan untuk menyadari bahwa diri tidak punya satupun yang layak diketengahkan selain bentuk fisik, mereka sangatlah cerdas. Andai kecerdasan adalah kelihaian mengayun badan dalam balutan pakaian serba kekecilan, wah, angkat topi! Mereka tidak hanya cerdas. Mereka jenius.

Celetukan di atas seakan mengingatkan bahwa sejarah sedang mengulang kembali kisah lama, meskipun dalam narasi yang agak berbeda. Cerita tentang sebuah masa dimana kaum Hawa diinjak dihinakan. Bedanya, narasi sekarang lebih miris; kaum Hawa mencoreng arang di kening sendiri sembari terbahak.

Kaum Hawa telah melalui jalan yang tak kalah merahnya dari jalan kaum Adam. Bahkan pada titik-titik tertentu sejarah mereka lebih berdarah. Pada beberapa kesempatan, wanita berhasil mematut diri, untuk kemudian menyadari bahwa mereka cerdas, haruscerdas,dan mencerdaskan! Apalah daya sebuah bangsa tatkala generasinya dilahirkan dan diasuh oleh wanita-wanita yang tidak cerdas, dan tidak mencerdaskan.

Ketika kesadaran ini mengejawantah, sungguh tiada makhluk yang berajalan di muka bumi seanggun wanita. Ini, adalah masalah besar. Saatnya bagi musuh bangsa untuk menelurkan plot baru. Ketika wanita mulai cerdas, dan mencerdaskan, adalah waktunya untuk memelintir pemahaman tentang kecerdasan itu sendiri. Mega proyek semacam ini tentunya bukan barang baru. Sejarah mencatat bahwa kejahatansudah setua kebaikan itu sendiri. Berbagai macam ide busuk dimasak, ditebarkan demi hancurnya kaum Hawa, hingga mereka bertransformasi menjadi virus-virus mematikan yang membelah diri dengan sendirinya.

Bangsa ini dibombardir dengan ide cerdas berarti modern, dan modern berarti cerdas. Sederhana! Namun kata modern itu sendiri, segagah apapun bunyinya hinggap di telinga, sebagus apapun redaksi penjabarannya di berbagai kamus, pada prakteknya tidak lebih dari ungkapan penyerahan diri pada tuntutan zaman -- baik, ataupun buruk.

Sementara kecerdasan, meskipun juga menjunjung tinggi ide 'penyerahan diri', justru berseberangan dengan ide praktis kata modern. Ketundukan yang dilahirkan oleh kecerdasan adalah ketundukan di hadapan hasil dari sebuah observasi objektif, proses penyaringan yang tidak melibatkan kepentingan apapun, selain tuntutan nurani. Kecerdasanakan melahirkan kepatuhankepada keindahan dan keelokan sejatitanpa harus mengorbankanlogika danhati nurani.

Selama manusia mampu memanfaatkan logika, membuka telinga bagi bisikan nurani, hanya selama itulah mereka layak bertitelkan manusia. Tapi ibarat mereka yang saban hari berjibaku dengan tumpukan sampah, bau sampah bukan lagi menjadi masalah besar. Kebobrokan yang disajikan dengan rajin dan rutin, pada akhirnya akan menggerus rasa, dan bukan tidak mungkin berujung pada pembenaran.

Maka tidak usah heran ketika ajang-ajang kecantikan yang tak lebih dari ajang pamer paha dan dada dipandang begitu anggun dan mempesona. Tak perlu heran ketika ayunan pinggul di atas karpet merah dipandang begitu jelita, padahal sebenarnya tidak lebih dari kegiatan prostitusi dalam polesan berbeda.

Mereka, yang berlenggak-lenggok semi telanjang dengan senyuman yang membelah muka dari telinga ke telinga, tak lebih dari penampakan nurani lusuh nan berbungkus sutera. Cerdaskan mereka, ketika tidak menyadari betapa mereka tak lebih dari satu lembar spanduk dari sekian banyak spanduk mega-proyek perusakan umat yang bertebaran di mana-mana? Cerdaskah ketika mereka tersenyum pada saat mereka sejatinya sedang dimanfaatkan?

Cerdaskan ketika publikasi penampilan vulgar yang mereka kira cantik jelita, justru bertentangan dengan esensi keindahan itu sendiri? Cerdaskah, ketika mereka berusaha menutupi carut-marut nurani tentang tubuh telanjang mereka dengan untaian bahasa asing yang terbata-bata serta beberapa baris kata yang andai diberi kesempatan untuk menghapalnya anak TK pun bisa? Pernahkah mereka benar-benar menyadari untaian senyuman yang mereka pajang tak lebih dari senyuman Monalisa?

Cerdaskah kita, ketika kita anak bangsa, menjunjung tinggi para alumni pamer paha sebagai putri-putri terbaik bangsa?

Cerdaskah bangsa ini ketika mereka hanya cenderung pada keindahan yang kasat mata? Entahlah. Ketika a****g menunjukkan birahinya pada seonggok kotoran, apakah itu membuktikan bahwa anjing cerdas?

Pernahkah kita mempertanyakan apakah yang nampak oleh mata adalah keindahan yang sesungguhnya? Cerdaskah kita, manusia, tatkala hanya bisa menghargai keindahan dengan logikaantara dua paha? Jika kemampuan kita hanya sebatas itu, tidakkah kita malu di hadapan makhluk yang menjulurkan lidah dan mengibaskan ekor ketika di tawarkan sepotong tulang? Bahkan makhluk ini tahu bahwa yang ditawarkan kepadanya adalah tulang, meskipun dibungkus daun talas atau kain bersulam emas. Manusia? Alih-alih meraba hati, yakinkah kita bisa mendeteksi deretan jerawat di balik tebalnya make up?

Para dara yang hilir mudik memperagakan raga -- di kampung dan kota, sadarkah mereka apa yang sebenarnya sedang mereka lakukan? Mereka tidak lebih dari potret pribadi-pribadi resah dan ketakutan, yang mesti tunduk pada gaya zaman untuk bisa berjalan tegak. Mereka adalah potret jiwa-jiwa tanpa karakter, yang merasa untuk menjadi bagian sebuah komunitas, mereka mesti membayar iuran keanggotaan. Untuk anggota biasa mereka hanya perlu menyumbang satu senti kulit saja. Tapi untuk menjadi anggota premium, setidaknya mesti menyumbang beberapa jengkal kulit paha atau belahan dada! Pada akhirnya untuk menjadi wanita termulia nan dipuja mereka harus serahkan segenap raga. Menjual diri agar dipuja. Komunitas macam apa ini?!!

Kalian adalah boneka. Kalian adalah korban. Ketika kalian bisa dibeli, artinya kalian murah! Ketika kalian menjaja diri dengan gratis, artinya apa? Dermawan?

Sudahlah, setidaknya para alumni ajang kecantikan dijatahi uang beli bedak. Setidaknya para penjaja cinta (baca: PSK) memperoleh uang saku, dan mereka tidak melakukannya di jalanan ramai di siang bolong!

-- Belantara Paha --

6 Mei 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun