Mohon tunggu...
Arif Hidayat
Arif Hidayat Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

The Mighty 'R' Word: Radikalisme

14 Juli 2017   07:40 Diperbarui: 14 Juli 2017   14:07 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karakter kata RADIKAL telah dihancurkan sedemikian rupa, dan dibangkitkan kembali sebagai sebuah kata berkonotasi negatif. Kampanye ini terus diusung dan didengungkan dari masa ke masa, sehingga berlakulah konsep ‘IF YOU REPEAT A LIE OFTEN ENOUGH, IT BECOMES THE TRUTH’ (Sebuah kebohongan akan menjadi kebenaran ketika kau terus-menerus mengumandakannya).

Kata radikal telah dipelintir habis-habisan agar tidak lagi bermakna netral. Kata radikal terlah dipelintir untuk bermakna negatif, sehingga kata apapun yang disandingkan dengannya juga akan bermakna negatif. Ungakapan ‘Saya adalah laki-laki radikal’ pada saat ini akan menusuk telinga. Kesan yang hinggap di kepala pendengar bukanlah gambaran seorang laki-laki yang berlaku selayaknya seorang laki-laki ideal, akan tetapi gambaran seorang laki-laki bengis, keras, kasar dan semena-mena, yang melakukan apapun dengan tangan besi demi ambisi.

Inilah yang terjadi ketika kata Islam/Muslim bersanding dengan kata radikal. Nyaris tak kita temukan orang yang dengan bangga mengatakan,’Saya adalah seorang Muslim radikal. Padahal makna ungkapan MUSLIM RADIKAL sebenarnya tak lebih dari gambaran seorang Muslim yang setiap detak jantung dan tarikan nafasnya senantiasa loyal terhadap Islam. Mestinya seorang Muslim bangga ketika dia bisa dengan sadar menyatakan dirinya adalah seorang Muslim radikal. Inilah karakter seorang Muslim sejati, bukan mereka yang mengaku beragama Islam tapi tindak-tanduknya sama sekali tak mencerminkan seroang Muslim, atau dalam satu kata kita mengenalnya dengan Munafik, si muka ganda yang pintar berminyak air.

Sayang, kenyataan yang berkembang nyaris seperti nasi yang telah menjadi bubur. Negasi kenetralan kata radikal sudah terlanjur merasuk ke sanubari umat manusia. Radikalisme adalah momok. Ketika kita temukan Islam radikal bermakna negatif, apakah yang sebenarnya sedang terjadi? Kembali ke kajian di atas, PEROKOK RADIKAL bermakna negatif karena kata RADIKAL yang netral bersanding dengan kata PEROKOK yang berkonotasi negatif. Kata PEROKOK-lah biang keladi makna negatif ini. Ketika Islam radikal dianggap bermakna negatif, maka kata manakah yang sebenarnya bermakna negatif? ISLAM, atau RADIKAL?

Mereka yang mau mempelajari sejarah akan menemukan bahwa pandangan negatif terhadap Islam sudah setua Islam itu sendiri. Islamophobia bukan lagi barang baru. Jika kita cermati, pengerdilan dan kriminalisasi Islam pada hakikatnya bukanlah hal negatif yang mesti ditanggung oleh agama ini, melainkan bukti nyata ketakutan mereka terhadap elegannya Islam.

Ketika elegannya Islam mereka sikapi dengan intimidasi, kekerasan, kriminalisasi, hujatan, ini semua tak lebih dari pernyataan betapa besar kekhawatiran mereka. Ketika mereka yang menyampaikan kebenaran mereka injak-injak dengan semena-mena, hanya akan terus menunjukkan bahwa sejarah kembali berulang. Silakan bertanya kepada Ibn Mas'ud yang berbadan kecil diinjak-injak oleh Abu Jahal beserta kroni-kroninya, hanya karena mereka tak punya cara yang lebih elegan dan jantan menghadapi kumandang al-Qur'an di sisi Ka'bah. Tanyakan kepada keluarga Yasir, Sayyid Qutb, Raja Faisal, para korban G30S PKI, Buya HAMKA, Muhammad Mursi, Muammar Khadafi, Abu Bakar Baasyir dan sekian banyak saksi sejarah kebusukan musuh-musuh Islam. Kesadaran atas superioritas Islam serta rasa takut telah mendorong musuh-musuh umat ini memanfaatkan berbagai cara demi membendung pergerakan umat, salah satunya lewat liciknya eksploitasi kata RADIKAL. Jika umat tak segera menyadari ini, mereka dengan akan kehilangan semangat, untuk kemudian perlahan kehilangan jati diri.

Dalam hal ini, kata RADIKAL tidaklah sendiri. Sekian banyak kata lain yang telah sukses diselewengkan sepanjang sejarah. Distorsi kata-kata semisal Jihad, Khilafah, dan Syari’ah adalah beberapa butir dari gunung perbendaharaan kata yang telah membuktikan – dengan gilang gemilang – ketakutan musuh Islam. Mereka selewengkan kata Jihad, Khilafah, Syariah, mereka manfaatkan minimnya pengetahuan umat Islam dengan agama mereka, mereka pampang betapa kata-kata ini tak lain tak bukan adalah ungkapan yang mengandung kekerasan, kekejaman, berseberangan dengan HAM, dst, sehingga di mata umat Islam sendiri kata-kata ini terlihat bagaikan sebuah wabah yang sebisa mungkin di hindari.

Nasionalisme? Kebhinnekaan? Demi persatuan? Pancasila? HAM? Terdengar basi bukan? Umat inilah yang telah berdarah-darah demi Ibu Pertiwi hari ini tanpa berkoar-koar tentang Nasionalisme sambil menepuk dada ketika kemerdekaan itu akhirnya datang. Agama inilah yang telah mengilhami Pancasila. Umat inilah yang telah membidani lahirnya dasar negara yang lima. Umat inilah yang korban perasaan dengan terhapusnya tujuh kata dari Piagam Jakarta demi KEBHINNEKAAN DAN PERSATUAN. Umat inilah yang telah mengajari bangsa besar ini menghargai HAM, sebuah kata yang sampai sekarang-pun hanya sedikit yang memahaminya.

Tanyalah Perang Salib. Benarkah perang legendaris ini pantas mengusung kata SALIB? Sementara tujuan sejati dari perang itu sendiri bukanlah untuk membela SALIB, melainkan demi misi busuk kolonialisme bangsa Frank? Semestinya, INVASI BANGSA FRANK-lah sebutan yang jujur dan pantas disematkan pada pesta berdarah yang satu ini. Mengatas-namakan agama demi nafsu kolinialisme? Penyalahgunaan HAM, Nasionalisme dan ke-Bhinneka-an? Bukan barang baru, kawan.

Kembali ke Ibu Pertiwi, benarkah atas dasar Nasionalisme? Benarkah atas dasar Bhinneka Tunggal Ika? Benarkah demi Pancalisa? Hati yang terbuka dan logika yang jernih akan segera tahu jawabannya, tanpa mesti menguras keringat merenung bertapa.

Namin, di balik semua ini, semestinya kita tak perlu bersedih. Umat ini akan tak kan pernah sepi dari ujian, dan berdiam diri bukanlah pilihan. Tantangan yang datang menyatakan betapa kita diperhitungkan. Tak usah segan menjadi seorang Muslim radikal, karena seorang Muslim radikal-lah yang pantas menyebut diri Muslim sejati. Teruslah belajar, sebab ‘Kapalang alim rusak agamo, kapalang arif rusak nagari’1. Kenali diri, sungguh mereka akan terus berdatangan dengan berbagai bentuk provokasi. Islam itu, seperti kata Urang Awak, "Alu tataruang patah tigo, samuik tapijak indak mati."2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun