Mohon tunggu...
Febby Diah
Febby Diah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Menganalisa Cerpen Bunga Dari Ibu

18 Oktober 2015   19:09 Diperbarui: 22 Oktober 2015   05:52 885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Bunga dari Ibu

Oleh Puthut EA

Karena jarak, kami hanya saling mengirim tanda lewat bunga. Ibu yang memulai dulu, waktu itu aku baru menempati rumah kecil yang sampai sekarang uang cicilannya masih menempati daftar potongan pertama di slip gajiku. Waktu itu ibu bilang, “Kamu tidak mungkin sering-sering mengunjungiku, kalau mau melihat keadaanku, lihat saja bunga ini.” Sambil berkata seperti itu, ibu menunjukkan padaku sebuah pot dengan tanaman bunga yang mungil dan indah. Lalu, aku meletakkannya di samping jendela kamarku. Begitu bangun pagi, tumbuhan itu yang pertama kulihat untuk memastikan keadaan ibu, baru kemudian aku menyiramnya ketika hendak berangkat bekerja.

Dalam perjalanannya, tanaman bunga itu memang bisa mengatakan keadaan ibu kepadaku. Suatu saat aku melihat beberapa kuntum bunga jatuh, dengan segera aku mengangkat telepon, memastikan keadaan ibu. Ternyata ibu sedang sakit flu. Ketika suatu pagi kulihat beberapa daunnya yang masih hijau rontok, aku mendapati kabar bahwa ibu sedang bersedih karena seorang pencuri telah memasuki rumahnya dan membawa lari televisi kesayangannya. Dan ketika suatu saat aku melihat pohon itu dipenuhi oleh bunga- bunga yang bermekaran, teleponku berdering, ibu mengatakan bahwa kemarin ia mendapat hadiah dari bank tempatnya menabung. Aku pernah lupa memeriksa pohon itu, ketika ibu tiba-tiba meneleponku memintaku untuk pulang, aku sangat kaget. Ibu waktu itu hanya bilang. “Kamu tidak memeriksa bunga dari ibu, ya?” Dengan agak rikuh aku menjawab hari ini aku lupa. Lalu, ibu bilang. “Pulanglah, ibu sedang bersiap untuk naik haji tahun ini.” Tentu saja aku sangat gembira. Begitu telepon kututup, aku berlari membuka jendela, pohon bunga yang ditanam ibu seperti dikerudungi cahaya.

Belajar dari itu semua, ketika aku pulang, aku menanam sebatang tanaman bunga tepat di samping jendela kamar ibu. Ibu tersenyum saat aku bilang, “Bu, pohon ini akan mengatakan kepada ibu bagaimana keadaanku.”

Di luar dugaanku, pohon bunga yang kutanam itu benar-benar memberi isyarat pada ibu tentang apa yang sedang kuhadapi. Sewaktu aku sedang dipromosikan naik jabatan, ibu menelepon untuk menanyakan keadaanku. Lalu, aku pura-pura bertanya mengapa ibu bisa meneleponku pagi-pagi benar. Ibu bilang, pohon bunga yang kutanam terlihat segar dan banyak bunga yang sedang mekar. Sewaktu aku diputus cinta oleh Randy, ibu juga meneleponku, ada banyak bunga dan daun yang rontok sehingga ibu resah. Terakhir, ketika aku sedang berpikir keras untuk memutuskan apakah aku harus menggugurkan kandunganku karena Mas Rustam, kekasihku yang baru, ternyata sedang mendapatkan tugas ke luar kota dalam waktu yang agak lama dan dia terganggu dengan keadaanku yang sedang mengandung, ibu juga menelepon. Ibu bertanya, “Kamu sedang tertimpa masalah? Pohon yang kamu tanam terlihat layu.”

Ketika aku sudah mengambil keputusan untuk menggugurkan bayiku dan di sebuah malam Mas Rustam menelepon dari luar kota dengan membawa kabar buruk, ia harus menikahi anak bosnya karena hamil, pagi harinya ibu datang dengan pesawat paling pagi. “Ibu khawatir sekali, pohon bungamu tadi terlihat seperti mau mati.”

Hubunganku dengan ibu sangat unik. Aku anak tunggal. Bapakku bercerai dengan ibu ketika aku baru saja lulus dari SMA. Mereka bercerai dengan baik-baik. Ibu pernah bercerita bahwa dulu ia diusir oleh keluarganya karena berpacaran dengan laki- laki yang berbeda agama. Dasar ibu, ia pergi saja dari rumah bersama laki-laki itu. Lalu, mereka menikah dan ibu melahirkanku. Ibu juga pernah bercerita, ia anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adik laki-lakinya juga pergi dari rumah, yang satu pergi dari rumah karena membobol gudang pertanian, menjual alat-alat pertanian dan hasil panen, serta membakar rumah penggilingan padi orangtua mereka. Ibu bilang, adiknya yang satu itu memang “kiri”. Alat-alat pertanian dan hasil panen orangtua mereka dijual untuk membiayai aktivitas organisasinya untuk melawan Orde Baru. Sedangkan penggilingan pagi orangtuanya dibakar oleh adiknya karena ia kecewa melihat cara pengupahan orangtua mereka terhadap orang-orang yang bekerja di lahan pertanian orangtua mereka, dan puncaknya pembakaran itu terjadi ketika adiknya ibu diusir dari rumah. Bapaknya ibuku bilang, “Di rumah ini tidak boleh ada komunis.” Adiknya ibuku marah, paginya, rumah penggilingan padi itu dibakarnya.

Adik satunya lagi, yang paling kecil, juga diusir dari rumah orangtuanya ibuku. Sejak kecil, adiknya yang paling kecil itu memang sudah suka yang aneh-aneh. Ia biasa tidak pulang ke rumah hanya karena pergi memancing di sebuah tempat selama berhari-hari. Ia juga sering tidur di kuburan tokoh-tokoh tertentu. Ia pergi begitu saja dari rumah tanpa membawa apa-apa selain alat memancing ikan, ketika bapaknya ibuku bilang, “Di rumah ini tidak boleh ada orang yang belajar klenik dan menganut ilmu hitam.”

Ibuku, sekalipun anak pertama, adalah orang yang terakhir pergi dari rumah orangtuanya. Kadang-kadang ibu bilang kepadaku. “Kamu seharusnya mengenal kedua pamanmu, mereka berdua menyenangkan sekalipun kadang-kadang memang agak brengsek.” Di mana mereka berdua sekarang, ibu tidak pernah tahu dan sepertinya tidak pernah mau tahu.

Ibuku memang agak aneh, tapi baik hati dan membanggakan. Aku mengalami masa-masa kecil yang menyenangkan dan mendebarkan. Ibuku rajin shalat dan pergi ke pengajian, bapakku rajin ke gereja, tapi aku tidak pernah disuruh untuk masuk ke salah satu agama, baik agama ibuku maupun agama bapakku. Ketika bulan puasa tiba, dan teman-temanku berpuasa, aku tidak puasa. Mereka mengira aku beragama sama dengan bapakku. Tapi ketika Lebaran tiba, aku ikut Lebaran, dan jika teman-temanku bertanya, aku menjawab kalau aku baru saja pindah agama. Kedua orangtuaku hanya tersenyum melihat tingkahku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun