Tanggal 8 Maret diperingati oleh sebagian negara sebagai International Woman’s Day atau Hari Perempuan Internasional (HPI). Kita di Indonesia belum memiliki tradisi itu; kita mengenal Hari Ibu tanggal 22 Desember.
Seperti namanya, Hari Ibu adalah upaya kultural-formal kita untuk menghargai bunda, yang bakti anak kepadanya dinilai sampai tiga kali lebih diutamakan dibanding kepada ayah. Jika “ibu” disandingkan dengan “ayah”, pemilahan “perempuan” dan “laki-laki” berada pada tataran berbeda. Secara sosio-kultural-ekonomi “perempuan” di Indonesia juga berada pada posisi rentan dibanding “laki-laki”.
Mengingat hal demikian, layak disepakati agar di Indonesia juga meresmikan dan memperingati Hari Perempuan Internasional setiap tahun tanggal 8 Maret. Mengapa?
Sejarah
HPI memang lahir di dunia belahan barat, ketika era industrialisasi dimulai, saat perubahan sosial dan kependudukan berubah cepat. Dasawarsa awal 1900-an ditandai dengan bermunculannya gagasan-gagasan yang menentang arus dengan cara yang gegap-gempita, termasuk soal kesetaraan gender. Di New York pada 1908 terjadi unjuk rasa 5.000 lebih pekerja perempuan —angka yang fantastis saat itu— menuntut pengurangan jam kerja dan kesetaraan gaji dengan laki-laki. Gagasan tentang HPI pun bergulir.
Pada 1910 di Denmark, gagasan itu diangkat oleh Clara Zetkin, tokoh perempuan Partai Sosial Demokrat Jerman,dalam Konferensi Internasional Pekerja Perempuan yang dihadiri utusan 17 negara. Kontan HPI menjadi simbol baru gerakan perempuan dan diperingati mula-mula pada 19 Maret 1911 di Austria, Denmark, Jerman dan Swiss.
Pasang-surut gagasan tentang HPI itu berlangsung sejak saat itu melintasi batas negara, berkelindan dengan isu politik, perdamaian pasca perang danemansipasi. PBB selama beberapa tahun juga mengadakan konferensi internasional terkait dengan HPI. Tujuannya untuk mengkoordinasikan upaya internasional guna mendorong aksentuasi hak-hak perempuan. PBB juga menjadikan tahun 1975 sebagai “Tahun Perempuan Internasional” dengan tujuan yang sama, dan bergulirlah semangat untuk menjadikan suatu hari sebagai HPI. Ringkasnya, tanggal 8 Maret terpilih menjadi HPI.
Sampai hari ini sebagian kita di Indonesia masih berada pada paradigma berpikir/bertindak yang menempatkan perempuan sebagai konco wingking. Tidak mudah merubah hal itu karena terinternalisasikan secara intensif melalui budaya, tradisi dan agama. Debat pro-kontra tentang itu masih terus berlangsung dan bukan hal yang akan diangkat di sini.
Paradigma Angsa Hitam
Faktanya, perempuan diakui sebagai pihak yang posisinya lemah. Dalam kegiatan KPU, misalnya, perempuan diletakkan berada pada posisi rentan, bersama-sama kelompok keagamaan, difabel, kaum marjinal dan pemilih pemula. Semangatnya adalah secara politik mereka harus diberdayakan agar dapat berpartisipasi lebih aktif.
Dalam PNPM (Progran Nasional Pemberdayaan Masyarakat), program nasional yang secara keliru pernah diklaim milik salah satu partai, perempuan juga secara khusus diberdayakan. Alasannya bukan hanya ‘ideologis’, namun juga faktual: pekerja perempuan dalam usaha kecil itu relatif lebih tekun, konsisten dan taat azas dibanding rekannya yang berjenis laki-laki.
HPI perlu diapresiasi dan disemarakkan di Indonesia sekarang untuk satu alasan: penghargaan bagi perempuan, agar ditularkan pada hari-hari lain sepanjang tahun. Tentu saja itu bukan satu-satunya cara. HPI sudah dijadikan hari libur nasional setidaknya di 27 negara. Beberapa negara seperti Madagaskar, Nepal, dan Cina menetapkannya sebagai hari libur khusus untuk perempuan. Jika diterima, HPI ini merupakan salah satu kiat untuk terus-menerus (bersama hal-hal lain) mendedahkan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Ini juga akan menjadi inisiasi “proses angsa hitam”bagi masyarakat kita.
Seperti halnya orang yang tahunya angsa itu berbulu putih —padahal ada yang hitam— sebagian masyarakat kita masih belum bisa menerima ide kesetaraan. Banyak yang terkondisi untuk memperlakukan perempuan tidak sederajat dengan laki-laki, betapapun tinggi tingkat pendidikan dan ketrampilan yang dimiliki perempuan. HPI bisa menjadi salah satu pembawa proses adanya gagasan lain itu, yakni kesetaraan yang utuh laki-laki dan perempuan, sementara peringatan Hari Ibu cenderung untuk ‘mapan’.
Akhirnya terpulang kepada kita semua dan aktivis pemberdayaan perempuan untuk menyikapi semua ini.●
Farid B Siswantoro
(Pegiat pemberdayaan masyarakat; sekarang Komisioner KPU DIY)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H