Mohon tunggu...
voice of unheard
voice of unheard Mohon Tunggu... Seniman - Pekerja serabutan

Need to be an extraordinary and be a voice of unheard

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Regenerasi, sudah saatnyakah?

27 November 2013   08:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:38 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Well, berapa banyak remaja Indonesia yang berhasil dikancah regional, nasional, bahkan Internasional? Bisakah kita bandingkan dengan jumlah yang terdesak ekonominya, yang hilang kesempatannya, yang musnah mimpinya? Tergerus oleh zaman yang semakin egoist, oleh manusia-manusia yang semakin materialistis. Banyak orang yang mampu bicara kawan, tapi sangat sedikit sekali yang bisa bertindak. Banyak yang menghujat, tapi sangat, sangat sedikit sekali yang bisa menyelesaikan masalah. Tanpa, sekali lagi tanpa merendahkan kualitas bangsa dan umat didalamnya. Ditilik dari perspektif manapun, sudah seharusnya remaja (termasuk saya didalamnya) bangkit dan jika dirasa sudah siap dan mampu untuk menggantikan generasi “tua”. Kalimat saya barusan jangan diartikan terlalu eksplisif, saya sama sekali tidak ingin mengesampingkan peranan generasi “tua” dalam kemajuan bangsa kita, They did well. Tapi, bukankah ada yang namanya regenerasi, perputaran. Dimana yang tua digantikan yang muda, yang layu digantikan yang segar, yang kusut digantikan yang rapi, dan seterusnya, dan seterusnya. Ini semua tidak melulu soal pengalaman. Beranggapan bahwa yang tua lebih berpengalaman, sehingga sudah layaknya untuk selalu berada di depan, sedang yang “muda” atau yang “krucil“, cukup berada dibelakang, melihat, mempelajari, dan mengawasi. Hendaknya statement yang seperti ini, kita rubah. Tidak selamanya yang “hijau” harus terus berada dibelakang. Jika dibiasakan demikian, mereka akan menjelma menjadi manusia yang kagok, manusia yang takut mengambil langkah baru, manusia yang hanya bisa bersandar, dan yang parah, menjadi manusia yang pragmatis. Menganggap kepentingan dirinya sendirilah diatas segala-galanya, sedang kepentingan yang lain? kepentingan umat?” Nanti dulu laaah…” Semua butuh waktu. Itu alasan klise yang selalu diucapkan, setidaknya orang-orang disekitar saya. I knew that. Tapi pertanyaannya sampai kapan? Apa mau menunggu nanti sampai kiamat? Atau…menunggu nanti sampai negara Indonesia sudah tidak lagi tercetak dipeta dan globe? Curious. Simplenya seperti ini saja, jika kita tidak pernah tahu bagaimana dan kapan untuk memulai, kita juga tidak akan pernah tahu kapan dan bagaimana untuk mengakhiri sesuatu. Jika kita tidak tahu kapan dan bagaimana memulai untuk merubah bangsa, membawa perubahan, maka…sepanjang itulah, kita tidak akan pernah tahu sampai kapan bangsa kita ini terus berada dalam keterpurukan, terus mendekap dalam kegelapan. “Okay, so how the way” Bagaimana caranya. Dengan berbagai macam caranya, ratusan, ribuan, bahkan jutaan cara men. Allah sudah karuniakan otak untuk berfikir, dan hati untuk menimbang. Kita semua bisa memulai dari hal-hal yang kecil terlebih dahulu, dari hal-hal sepele saja.  Coba perhatikan lingkungan disekitar kita, orang-orang disekitar kita. Jika lingkungan kita menjadi carut marut karena sampah, hendaknya kita punya inisiatif, dan action bagaimana menjadikan sampah tersebut, menjadi “sesuatu” yang bisa dimanfaatkan, lalu, jika orang-orang disekitar kita, khusunya anak-anak, banyak yang buta huruf, seharusnya muncul inisiatif (sekali lagi, disertai action) bagaimana membumi hanguskan kebutaan huruf tersebut, dengan mengajarkan baca tulis gratis kek, dengan mendirikan TPA, dan lain sebagainya. simple. Kalau itu dirasa itu semua masih terlalu “besar”, atau terlalu “hebat”, coba tanyakan pada diri kita, pada nurani kita, “apa yang seharusnya saya lakukan? apa yang mampu saya berikan” Jangan hanya mampu menjadi manusia yang pasif, yang teronggok kaku macam batu saja, setidaknya, kita harus bisa memanfaatkan diri kita untuk bisa bermanfaat buat orang lain. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain? Jika kalian ingin menganggap saya terlalu Idealist, monggo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun