Di dalam prakteknya, dokumen sejenis ini cukup kuat dijadikan dasar permohonan hak atas tanah atau sertifikat, karena pada dasarnya hukum tanah kita bersumber pada hukum tanah adat yang tidak tertulis. Hal ini dapat dilihat pada pasal 5, Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960. Ini untuk memastikan bahwa orang yang bersangkutan benar-benar menguasai secara fisik tanah tersebut dan menghindari terjadi dua penguasaan hak yang berbeda yaitu hak atas (fisik) dan hak bawah (surat). Hal ini penting di dalam proses pembebasan tanah, khususnya dalam pelepasan hak atau ganti rugi, dan untuk memastikan bahwa si pemegang surat (sertifikat) tersebut tidak menelantarkan tanah tersebut karena adanya fungsi sosial tanah.....
Saya sebenarnya masih belum yakin bahwa dengan modal SPPT dapat menggusur rumah saya dan sebagian warga di Desa saya..... Namun saya sekeluarga dan masyarakat tetap waspada terhadap praktek-praktek seperti ini..... Pelajaran yang mungkin bisa diambil dari pengalaman saya dan sekeluarga,, berhati-hatilah dengan praktek makelar tanah seperti ini,, jangan sampai nanti kehilangan tanah gara-gara praktek semacam ini,, praktek seperti ini katanya lumrah terjadi di pedesaan yang akan di bangun perumahan,, karena masyarakat desa pengetahuannya masih belum tinggi dan sebagian besar tanah masih belum di sertifikasi,, entah kalau di perkotaan prakteknya seperti apa....... Kami pun masih belum tenang,, karena permasalhaan ini masih terus berlanjut di Desa saya,, banyak orang yang sudah terlanjur mengumpulkan SPPT dan entah nasibnya seperti apa...... Harapan kami dan warga tentunya tidak ingin ada yang menggusur rumah kami.......
Mohon maaf jika ada kesalahan....
Salam.....
Jikalau ada tambahan informasi dari rekan-rekan pembaca saya berterimakasih sekali........ :-)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H