Semoga penelitian ini dapat berkontribusi pada pemahaman yang lebih luas tentang kompleksitas isu-isu etnis dan politik di kawasan Asia Tengah, serta membantu mencari cara-cara untuk mendorong dialog, perdamaian, dan harmoni di antara beragam kelompok etnis yang hidup di wilayah ini.
Pembahasan
Etnis Uighur memiliki sejarah yang panjang di wilayah Xinjiang, Tiongkok. Pada abad ke-8 hingga 9 Masehi, Kekaisaran Uighur Khaganate memimpin Xinjiang. Namun, istilah orang Uighur belum lazim digunakan dan mereka kerap dijuluki 'Orang-orang Turkik'. Pusat kotanya disebut Urumqi. Kemudian Pada tahun 1884, Cina berkuasa di Xinjiang. Etnis Han pindah ke Xinjiang pada tahun 1950-1990 setelah Cina mendirikan Daerah Otonomi Xinjiang Uighur, dan sekelompok besar orang Cina Han menjadi penduduk tetap di provinsi tersebut.Â
Pada 1990-an, warga Uighur mulai memprotes penindasan dan perlakuan tidak adil di tangan pemerintah dan otoritas Cina. Saling benci antara populasi Uighur dan Han menyebabkan protes dan pecahnya kekerasan. Pada tahun 2009, terjadi kerusuhan di Urumqi, Xinjiang, yang menewaskan lebih dari 200 orang. Kelompok separatis Uighur menuduh pemerintah Tiongkok melakukan diskriminasi terhadap etnis Uighur
Pemerintah Tiongkok telah memberlakukan kebijakan-kebijakan yang dianggap merugikan etnis Uighur, seperti memaksa etnis Uighur untuk mengadopsi budaya dan bahasa etnis Han jika ingin mendapatkan pengakuan, dan memaksa perubahan sistemik penggunaan aksara Arab di hampir segala lini kehidupan, utamanya dalam literasi.Â
Produksi kebudayaan Uighur dilimitasi dan kebebasan berekspresi etnis Uighur dibungkam. Kebijakan Sinicization ini menciptakan sentimen anti-Han di kalangan etnis Uighur dan etnis minoritas lainnya. Konflik antara pemerintah Tiongkok dan etnis Uighur di Xinjiang sudah berlangsung puluhan tahun sejak mereka mengupayakan kemerdekaan dari Tiongkok. Kelompok separatis Uighur mengklaim bahwa mereka ingin memperjuangkan hak-hak politik, ekonomi, dan budaya mereka yang dianggap diabaikan oleh pemerintah Tiongkok.
Dugaan persekusi terhadap etnis Uighur di Xinjiang oleh pemerintah Tiongkok telah menarik perhatian dunia internasional. Baru-baru ini, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Inggris menyatakannya sebagai genosida. Beberapa negara juga telah memboikot ekspor kapas China yang datang dari Xinjiang dan menghukum pejabat China yang dituduh sebagai arsitek penindasan atas Uighur.
1. Dampak yang ditimbulkan terkait permasalahan Uighur
Sejak runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, sekitar 200.000 etnis Kazakh dari China telah pindah ke Kazakhstan dan menjadi warga Kazakh. Selain itu, puluhan ribu warga Cina Kazakh lainnya tinggal di Kazakhstan sebagai penduduk tetap. Migrasi ini telah menciptakan populasi Uighur yang signifikan di Kazakhstan. Sselanjutnya Pemerintah Kazakhstan telah mencoba untuk menemukan keseimbangan antara kemarahan rakyat terhadap perlakuan China terhadap Uighur dan memperdalam hubungan dengan Beijing. Pemerintah telah berhati-hati dalam tindakannya, karena tidak ingin merusak hubungan dengan China.Â
Kazakhstan telah menyatakan dukungan untuk langkah-langkah China di Xinjiang, di mana Beijing dituduh melanggar hak-hak terhadap Uighur dan kelompok etnis asli lainnya. Kementerian Luar Negeri Kazakhstan telah menyatakan pemahaman dan dukungan terhadap posisi China dalam mengatasi terorisme, separatisme, dan ekstremisme di Xinjiang.
Meskipun Kazakhstan tidak berbagi koneksi budaya atau etnis dengan China seperti yang dilakukan dengan Rusia, kedua negara telah berinvestasi dalam hubungan jangka panjang. Namun, ikatan budaya dan etnis antara Kazakhstan dan penduduk Uighur telah mempengaruhi suasana hati publik dan menciptakan situasi yang sensitif bagi pemerintah Kazakhstan. Perlakuan pemerintah China terhadap Uighur, termasuk laporan pelanggaran hak asasi manusia dan operasi kamp internasi, telah menimbulkan kekhawatiran di seluruh dunia. Kamp di Xinjiang tidak membantu reputasi China di Kazakhstan, di mana ada populasi Uighur yang signifikan.