Pasca berakhirnya rezim orde lama, lahirlah orde baru sebagai pengganti pemerintah sebelumnya yang disambut dengan harapan besar oleh kalangan umat islam. Dengan runtuhnya orde lama dan munculnya orde baru, umat  Islam mengharapkan kekuatan Islam kembali ke panggung politik nasional. Dalam konteks ini, Lingkaran Islam Modernis, mempunyai keinginan untuk membangun kembali Mashmi yang telah dibubarkan di bawah Demokrasi pimpinan Soekarno. Sehubungan dengan itu, didirikanlah Pusat Koordinasi Islam (BKM)  yang terdiri dari  16 ormas Islam pada tanggal 16 Desember 1965. Maka mereka mendekati pemerintah dan membuat pernyataan tentang perlunya rehabilitasi Masumi.
Tentu saja keinginan untuk melakukan pemugaran Masyumi dilarang oleh pemerintah, hal ini tentu mengecewakan kalangan umat Islam, khususnya kalangan Islam modernis (Parmusi). Memang pemerintah mencatat bahwa partai-partai Islam saat ini (NU,PSII dan Perti) belum menyambut baik kaum modernis, karena NU dan Perti mempunyai orientasi tradisional dan PSII, walaupun condong ke arah modernisme, namun kurang dikenal. Dengan berdirinya beberapa partai Islam dan dalam beberapa kebijakan politik, pemerintahan Orde Baru melakukan reorganisasi dan restrukturisasi fungsi, juga pada tataran suprastruktur politik, kebijakan pembangunan politik dan ekonomi .Bagi Orde Baru, stabilitas politik merupakan prasyarat bagi pembangunan. Pada masa Orde Baru, pembangunan dapat tercapai jika ada stabilitas politik.Terkait dengan hal tersebut, langkah yang dilakukan Orde Baru adalah dengan melakukan simplifikasi (penggabungan) partai-partai utama partai politik, seperti Partai Persatuan Pembangunan lahir. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adalah sebuah partai politik Islam di Indonesia, partai ini dideklarasikan pada tanggal 5 Januari 1973 di Jakarta. PPP merupakan hasil penggabungan (merger) empat partai politik Islam warisan pemerintahan Orde Lama: Parti Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Tarbiyah Indonesia (Perti), dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).
Konflik internal di KPBU saat restrukturisasi. Pasca penggabungan PPP pada tahun 1973,  seluruh partai politik yang berlatar belakang ideologi Islam  yaitu NU, PSII, Perti, dan Partai Islam  Indonesia (Palmusi), bergabung membentuk PPP. Partai Islam kembali menjadi partai super ideologis  yang terdiri dari sayap  Islam modernis dan tradisionalis. Fragmentasi tidak dimungkinkan dengan kebijakan ini. Namun, PPP, dan khususnya, mengalami konflik internal yang berkepanjangan menjelang pemilu pada tahun 1970an dan awal tahun 1980an. Hal ini disebabkan adanya persaingan antara unsur , khususnya unsur NU yang mewakili kelompok tradisionalis  dan Palmshi yang mewakili kelompok modernis (Syamsuddin Haris, 1991).Â
Kedua faksi tersebut ingin meningkatkan pengaruhnya di dalam partai, dan diberi posisi strategis sebanyak-banyaknya, terutama untuk memperoleh tambahan 4 kursi di parlemen. Meski  NU merupakan unsur terbesar PPP , Palmusi mampu memimpin partai cukup lama sehingga meredam pengaruh NU . Pada tahun 1982, NU memutuskan keluar dari PPP setelah muncul serangkaian kebijakan tidak adil yang mana Palmusi mendukung . Namun NU memperbolehkan anggotanya untuk aktif dan berpartisipasi dalam PPP. Pada tahun 1985, PPP dipaksa oleh pemerintahan Orde Baru  untuk mengadopsi Pancasila sebagai ideologi partainya dan mengganti Ka'bah dengan bintang sebagai simbolnya.Â
Situasi ini melemahkan citra PPP sebagai  partai Islam, sekaligus memberikan peluang bagi Golkar  untuk menjadi pesaing kuat dalam menarik  pemilih Muslim dalam jumlah besar. Seiring berjalannya waktu, peran KPS dalam kancah politik nasional cenderung semakin berkurang dan hanya dilihat sebagai elemen pelengkap  dalam sistem politik nasional. Menurut Syamsuddin Haris (1991), satu-satunya saat PPP  mengalami konflik internal yang  serius adalah menjelang pemilu tahun 1982, ketika unsur NU dari Fraksi Persatuan Pembangunan di DPR keluar dari konferensi ratifikasi perjanjian tersebut. Pasalnya, UU Pemilu  DPR  menolak dokumen RUU yang disetujui  unsur MI, SI, dan Perti. Konflik internal PPP mencapai puncaknya  ketika Nafdriyin akhirnya  memutuskan  keluar dari PPP dan kembali ke Kitta tahun 1926 pada tahun 1984 melalui pertemuan NU di Situbondo, Jawa Timur. Penyebab utama konflik tampaknya  adalah kekecewaan kalangan NU terhadap komposisi daftar calon DPR sebelum pemilu 1987, namun akibatnya banyak anggota Nadliyin yang cenderung beradaptasi dengan kekuasaan baru DPR yang tertinggal. Selain campur tangan pemerintah dalam melembagakan konflik, tatanan ini juga menjadi salah satu faktor kunci konflik internal PPP, sehingga lambat laun pula kehilangan pamor partai Islam ini. Akibatnya,  perolehan suara PPP anjlok dari 27,11 persen menjadi 4 persen, dan dari persen pada pemilu 1977 menjadi 19,29 persen.
Pasca reformasi, perolehan suara PPP tidak sebanyak pada era sebelumnya dan harus berjuang ketat dengan persaingan antar partai. Suara PP pada pemilu yang pertama kali yang diadakan pasca reformasi masi tergolong relative aman dengan persentase 10,71. Namun, seiring berjalan pemilu selanjut mulai dari tahun 2004 mulai merosot walau dapat melewati ambang batas yang disediakan hingga pemilu 2019. Puncak dari kemerosotan partai PPP terjadi pada pemilu tahun 2024 ini yang hanya mendapatkan suara 3.84% dari amabang batas yang diberikan yaitu 4%. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi stagnasi dari partai yang berjuluk partai ka'bah ini antara lain.
Kegagalan Kaderisasi
PPP, sebagai partai Islam peninggalan era Orde Baru, memiliki modal besar saat Reformasi dimulai. Namun, kegagalan dalam menghasilkan kader-kader yang kuat dan berintegritas telah mempengaruhi posisi politiknya. Kaderisasi yang lemah menghambat pertumbuhan dan daya saing partai ini. Kaderisasi yang efektif adalah kunci untuk memperkuat partai dan memastikan kesinambungan kepemimpinan yang berkualitas.
Konflik Internal
PPP menghadapi konflik internal yang mempengaruhi stabilitasnya. Perselisihan antara faksi-faksi internal sering mengalihkan perhatian dari agenda politik yang lebih luas. Konflik ini dapat menghambat koordinasi dan mengurangi daya tarik partai bagi pemilih.
Terpecahnya Suara Pemilih
PPP bersaing dengan partai-partai lain, termasuk partai Islam lainnya. Terpecahnya suara pemilih antara partai-partai ini mengurangi peluang PPP untuk mencapai ambang batas parlemen. Dalam sistem pemilu terbuka proporsional, partai harus memperoleh suara di atas ambang batas tertentu untuk mendapatkan kursi di parlemen.
Kegagapan Menggaet Pemilih Muda
PPP menghadapi tantangan dalam menarik pemilih muda. Perubahan sosial, teknologi, dan isu-isu generasi muda mempengaruhi preferensi pemilih.Strategi yang relevan dan komunikasi yang efektif diperlukan untuk memperluas basis pemilih.
Kesimpulan PPP, sebagai partai Islam yang memiliki sejarah panjang, harus melakukan evaluasi dan perubahan untuk mengatasi stagnasi. Kaderisasi yang kuat, rekonsiliasi internal, dan fokus pada pemilih muda akan menjadi langkah-langkah penting untuk mengembalikan PPP ke panggung politik yang relevan dan berdaya saing.
Â