oleh Pujangga 90 (Fazl A. Habib) Memasuki ruang jemu penuh sesak, aku dan kau. Pelataran manusia diantara kedua pandangan kita. Berjalan sejenak diantara lantai-lantai kusut kering dan dingin tak menyerbak sampai ke kedua kaki kita. Sejenak pandangan kita terpaku pada satu corak sandang tak seberat karat emas. Hirauan kita pada jumlah oksigen yang semakin menipis kala itu juga, membuat kita keluar tanpa melihat detak dan dentum jarum jam yang mengusik telinga kita berdua. Perlahan kita salah arah dan menjauh dari arah yang sebenarnya. kembali padaku haluan yang seharusnya kupegang dan kutuntun perjalanan ini. tanpa ragu kita melaju. arungi udara-udara yang mengetuk-ketuk pelipis kita sebagaimana derasnya air segar sungai pegunungan yang meminta kita untuk terpancing berteriak entah indah atau hah, kecewa. Sedikit aku melepasmu dan melangkah sedikit jauh dari tempatmu berhenti. kau telah memberitahuku untuk berhenti, hanya aku yang tak tahu diri, terus memimpin jalan ini agar seampainya di sana dengan segera mungkin. Raguku, mungkin itu bukan ragu, tapi kekhawatiran akanmu yang belum sanggup kupegang erat dari setiap sela jemarimu dan melangkah ke arah yang membuatku gila untuk menemukanmu lagi. dan dengan sesekali akupun menorehkan wajahku yang kusut akan angin lalu ini ke belakang hanya untuk memastikan kau tetap bersamaku diatas permukaan bumi yang sama. Kita kemudian, meletakkan segala resah di samping masjid yang sama. berjalan sesuai adanya Tuhan mengkultuskan kedua panjatan tangan kita yang aku rasa memang ramah. Entah bau apalagi yang mengusik perbincangan kita di sana. tapi, ini bagian perjalanan kita. Rambutku yang masih panjang ini tersapu angin yang berkutat diantara rumah-rumah tak kita tahu siap tuan tanahnya. Mungkin di benakmu, aku hanya seniman tak berpoles karyanya. aku juga orang yang sedang belajar jatuh cinta dengan adanya dirimu. Semula kita yang berada di beranda di luar pagar seberat girah orang menginginkan emas menghiasi pergelangannya atau semaunya, Tuhan mengmbalikan kita pada keadaan yang sepi dan di bawah mendung yang ramah, lagi, lagi, lagi. Secangkir ombak ditumpahkan malaikat-malaikat yang berada di sana. Untung semuanya tak pernah diberi rasa sepahit kopi, meski kadang terciprat kepahitan. Ketakuatn kita akan mendung yang ramah, dan tumpahan yang kita rasa sedikit keterlaluan di kala itu juga, membuat kita berdua merasa resah. dan ragu untuk melangkah dengan lanjutan kisah, entah biasa atau yang lainnya. Terhenti sejenak untuk memastikan kita mampu menyegerakan untuk menghapuskan percikan-percikan api ragu ini untuk melangkah. Kitapun mencoba terbang, ya, hannya melangkah sedikit diatas diantaranya butiran-butiran batu yang menghalus itu dan tetap orang-orang lain yang bersama dengan lainnya. Kembali kita mencoba terbang lebih tinggi diantara segala yang berda di atas permukaan yang sama. Kembali lagi, aku meragu akan perjalanan ini, akan aku sanggup memperhatikanku jika aku tak melihatmu untuk di saat yang bersamaan aku yang sedang denganmu. Sayap tak bertulang dan tak berbulu seindah elang melankolis ini tetpa membawa kita bersandar tegak di atas awan. Sekedar perbincangan tentang aku dan kau, yang juga memperlibatkan teman-teman kita diantara kalimat-kalimatnya. Ini keadaan yang sempurna untuk kita saling menyelami hati kita masing-masing yang tak cair dan tak berair, yang dengan sedikit sentimeter diameternya dan tenggelam dalam kebaikan kata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H