Mohon tunggu...
Fazil Abdullah
Fazil Abdullah Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu berat, Sayang. Kau harus sediakan waktu dan dunia, yang seringnya tidak bersahabat.

Cerpen Perempuan yang Meminta Rokokmu dan Mogok di Hutan mendapat penghargaan dari Kompasiana (2017 dan 2018). _____________________________________________ linktr.ee/fazilabdullah 👈 merupakan pintu masuk menuju dunia karya saya. silakan masuk dan jelajahi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Panggung untuk Abu Zan

16 Agustus 2024   22:20 Diperbarui: 16 Agustus 2024   22:23 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Abdul dipaksa Abu Zan ikut menemaninya ke Banda Aceh. Abdul sudah seperti ajudan Abu Zan. Harus setia dan tunduk pada Abu Zan. 

*

Di warung kopi cafe Banda Aceh, bersama teman-teman seperjuangannya semasa konflik Aceh, Abu Zan kembali mengulang kisah kesuksesannya di negeri jiran. Kisah kesuksesannya bercampur nostalgia ke masa lalu. Selagi bercerita, Abu Zan menyisipkan pamer barang-barang koleksi yang dimilikinya; cincin berlian, jam tangan, gelang giok, dan mobil maticnya yang canggih.

Lalu, cerita beralih layar tentang keburukan orang Aceh, khususnya di kampung: suka iri, dengki, ku'eh, menjelekkan dan menghakimi orang lain, dan berbagai macam masalah-masalah lain di Aceh. "Nanggroe Syariat, tapi akal dan perbuatan lebih brok dari Yahudi," sembur Abu Zan.

Abdul menyimak dengan hati teriris. Ia ingin membantah, ingin menawarkan perspektif berbeda, namun suaranya tertelan oleh kekuatan superioritas dan serangan Abu Zan. Teman-teman pamannya, yang seharusnya setara, tak menyanggah apa-apa. Mereka seperti tersihir, mengangguk setuju pada setiap kesimpulan Abu Zan. Frustasi menggerogoti jiwa Abdul. 

"Di sini, sama saja seperti di warung kopi kampung," batin Abdul getir. "Tidak ada diskusi, hanya pidato Paman Abu Zan. Semua harus mendengar dan mengiyakan." Jika membantah, maka akan terjadi perang menyerang pribadi bukan pendapat. Abdul pernah melihat itu terjadi di kampung bila ada yang berdebat dengan pamannya Abu Zan.

Abdul merasa kepalanya berdenyut. Ia menyesal ikut ke Banda Aceh. Abdul memijat kepalanya, melirik jam dinding yang sudah dini hari, berharap segera bisa pulang tidur. 

Tiba-tiba, salah seorang teman Abu Zan melontarkan ide yang membuat kepala Abdul berdenyut semakin keras. "Jan, Pojan, dengan kemampuanmu bercerita, kau cocok jadi calon bupati atau walikota. Daftarlah sebagai calon independen. Kami siap jadi tim suksesmu. Yang penting kau kau siapkan modal minimal 2 milyar!"

Ide itu disambut teman-teman lain Abu Zan seperti ledakan kembang api.  Mereka mendukung. Aceh akan lebih baik, maju, dan hebat di bawah kepemimpinan Abu Zan, begitu mereka memuji. 

Mata Abu Zan berbinar, senyumnya mengembang. Ia merasa menemukan panggung yang sesuai, tempat di mana ia bisa menunjukkan kebesaran dirinya tanpa ada yang berani meremehkan. Bila nanti ada yang berani meremehkannya, tinggal ia sentil dan campakkan dengan kuasa yang telah digenggamnya.

Sementara mata Abdul berkunang-kunang, bibirnya meringis. Kepala Abdul berdentum-dentum. Ia ingin pergi, ingin menghindar dari panggung absurd ini, ingin mencari udara segar di luar sana. Namun, kakinya tak mampu lagi menopang tubuhnya yang hoyong. Ia ambruk, pingsan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun